1 Gadis Tepian

Dusun Lampar Lama, tahun 1870. Matahari baru saja menampakkan wajahnya di ufuk Timur. Suasana dusun mulai ramai oleh cericit suara burung di pepohonan yang tumbuh subur di sekeliling dusun. Pagi itu bukan main indahnya.

Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang lenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk.

Cahaya kuning emas yang membawa kehangatan, keindahan, dan penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.

Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun. Namun.kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana-sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala macam warna terutama oleh warna dasar merah, kuning dan biru. Indah!

Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa. Keindahan yang baru dan yang senantiasa akan tampak baru biar pun andai kata dilihat setiap hari. 

Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap.

Yang mula-mula membangunkan warga desa itu adalah kokok ayam jantan nyaring sekali. Kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul-menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka di bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka. Kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas.

Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! 

Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukah keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu.

Di tepian mandi, di pinggir Sungai Musi, yang berada di pinggir Dusun Lampar, seorang gadis cantik tengah mandi. Dia mengenakan kain basahan sebatas dada. 

Kecantikannya menambah keindahan pagi itu. Bagaikan setangkai bunga, gadis itu adalah bunga dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi dan sukar didapatkan.

Wajahnya kemerahan, berseri-seri dan pada kedua pipinya yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu) itu, tampak lesung pipit menghias senyum dikulum. Rambutnya 

yang hitam gemuk dibiarkan menggantung terurai, bergantung di belakang punggung, halus melambai tertiup angin.

Tubuhnya amat ramping, pinggangnya kecil sekali hingga agaknya dapat dilingkari jari-jari tangan, terbungkus kain panjang yang dipakai mandi, ketat mencetak bentuk tubuh yang padat berisi karena terpelihara semenjak kecil. 

Cantik tak terlukiskan! Menyaingi bidadari surga dengan gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok.

Suasana pagi yang cerah dan indah membuat si gadis asyik mandi sambil bermain air. Sesekali dia menyelam, timbul kembali, lalu membasuh rambutnya yang dibiarkan terurai hingga ke pinggul.

Karena asyik menikmati sejuknya air sungai di pagi hari, dia tidak menyadari ada sepasang mata mengintai dari balik rimbun dedaunan pohon. Sepasang mata itu milik seorang lelaki berkulit sawo matang, bertubuh kekar, mengenakan setelan baju dan celana berbahan belaju kasar. 

Siapa gerangan sosok lelaki itu?

Sejenak lelaki itu seakan-akan dalam keadaan tertotok jalan darah di seluruh tubuhnya, tak dapat bergerak seperti patung batu! 

Belum pernah selama hidupnya ia terpesona oleh kejelitaan seorang wanita seperti saat itu.

Mata itu! Bening bersih gilang-gemilang tiada ubahnya sepasang bintang, kerling tajam menggores jantung, kedip mesra membuat bingung. 

Bulu mata lentik berseri bagai rumput panjang di pagi hari, sepasang alis hitam kecil melengkung menggeliat-geliat malas di kedua ujung!

Sementara itu, di sebuah hutan tak jauh dari Dusun Lampar Lama, ada serombongan orang terdiri dari lima lelaki gagah tengah beristirahat.

Mereka mendirikan bivak, tempat berteduh darurat, yang terbuat dari dahan pohon dan diberi atap dedaunan. 

Ada beberapa ekor anjing bersama mereka. Para lelaki itu semuanya membawa tombak, golok, dua orang diantaranya membawa senjata api locok. Satu dari dua lelaki yang bersenjata api tampak berwibawa. 

Lelaki ini mengenakan pakaian lebih bagus, rapi dan bersih. Tubuhnya tinggi gagah, berkulit bersih dan berdahi lebar.

Penampilannya menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa.

Dia adalah Depati Ahmad bin Nerodin Pangeran Natayuda. Depati ini dikenal dengan panggilan Depati Kecik. Depati Ahmad atau Depati Kecik adalah Pasirah Kepala Marga KM. Lintang. Depati Kecik memerintah dari tahun 1874 sampai 1881. Beliau menggantikan ayahandanya Nerodin yang bergelar Pangeran Muda alias Pangeran Natayuda.

Kepala marga pada masa itu berkuasa penuh atas urusan pemerintahan, adat, dan hukum di wilayahnya. 

Dalam urusan pemerintahan dan hukum, Pasirah berada langsung dibawah kekuasaan Sultan atau sunan Palembang.

Pusat pemerintahan Marga Kejatan Mandi (KM) Lintang berada di Dusun Gunung Meraksa. Letaknya di muara Ayek (sungai) Lintang Kanan dan Lintang Kidau. Berjarak kurang lebih 30 Km dari tempat mereka beristirahat saat ini. Marga K.M. Lintang membawahi 13 dusun.

Saat ini Depati Kecik dan rombongan kecilnya tengah beristirahat dari berburu. Dua hari dua malam mereka meninggalkan Dusun Gunung Meraksa untuk berburu rusa. 

Mereka sudah mendapatkan seekor rusa jantan pada malam pertama mereka berburu.Mereka masih meneruskan perburuan, karena seekor rusa belum cukup untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh bagi keluarga masing-masing.

Daging rusa hasil buruan yang pertama didapat ini, untuk bekal mereka selama berburu. Agar tidak membusuk, setelah dicuci bersih, daging rusa dibumbu rempah dan garam, lalu dipanggang.

Pagi hari itu rombongan Depati Kecik tengah bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Mereka sudah cukup beristirahat semalaman di hutan itu. Tetapi, sebelum melanjutkan perjalanan, seperti biasa dalam setiap perjalanan atau perburuannya, Depati Kecik selalu mengutus seseorang bertindak selaku penyelidik (telik sandi).

Tugas penyelidik ini adalah mengamati daerah sekitar dalam jarak kurang lebih 1 sampai 2 kilometer dari rombongan. Penyelidik adalah orang pilihan. Dia harus kuat secara fisik, mampu bergerak cepat dan lincah di segala medan. Yang tak kalah penting adalah pandai membaca jejak. Dalam rombongan berburu ini seorang penyelidik merangkap sebagai penjejak hewan buruan.

Kita kembali ke tepian mandi Dusun Lampar. Gadis cantik yang sedang mandi tadi rupanya sudah menyelesaikan mandinya. 

Sementara sosok lelaki pengintai tadi semakin merapatkan tubuhnya ke sebatang pohon besar.

Dia tak ingin terlihat oleh gadis itu. Dia ingin tahu lebih banyak tentang gadis itu. Pertanyaan bermunculan dalam kepalanya. Siapa gadis itu? Dimana rumahnya? Apa nama desa tempat tinggal gadis ini? Dan siapa orangtuanya?

"Aku harus tau galo sebelum melapor ke Tuan 

Depati," kata lelaki itu membatin.

Dia terus mengikuti sambil menjaga jarak ketika si gadis cantik meninggalkan tepian mandi menuju induk desa. Dia menuju ke sebuah rumah berukuran cukup besar untuk ukuran pada masa itu. 

Rumah itu berjarak kurang lebih seratus meter dari tepian mandi. Kedua orang tuanya tengah menunggu di rumah.

Dari hasil penyelidikannya diketahui bahwa gadis cantik itu bernama Majedah. Dusun tempat tinggal gadis itu bernama Dusun Lampar.

Setelah tahu posisi rumah gadis cantik itu, lelaki pengintai tadi cepat-cepat pergi menuju hutan di belakang desa. Gerakannya gesit setengah berlari. 

Dengan lincah dia menghindari semak berduri, sesekali melompat, kadang merunduk. Sebentar saja dia sudah sampai di tempat beristirahat rombongan Depati Kecik.

Kedatangannya disambut gembira anggota 

rombongan. Ada yang setengah berteriak:

"Nah! Itu Tagun, la datang! (Nah, itu Tagun sudah datang)." Rupanya lelaki pengintai tadi bernama Tagun. 

Dia segera mendekatiDepati Kecik, melaporkan apa yang dilihatnya di Dusun Lampar. Penuh semangat dia menceritakan tentang seorang gadis cantik di desa itu, tentu saja lengkap dengan bumbu-bumbunya. 

Kepandaian Tagun bercerita disertai deskripsi lengkap tentang sosok si cantik, membuat Depati Kecik tertarik.

Setelah mendengarkan dengan cermat laporan Tagun tentang gadis cantik dan Dusun Lampar, Depati Kecik mengajak rombongannya bermusyawarah, untuk memutuskan apakah meneruskan berburu atau mengunjungi Dusun Lampar. Sebab, sosok gadis cantik yang dilaporkan Tagun membuat penasaran Depati Kecik.

Meskipun sempat diwarnai adu argumen,akhirnya diputuskan rombongan singgah dulu di Dusun Lampar. Bahkan, jika diizinkan mereka akan bermalam satu atau dua malam.

Setelah sarapan pagi dengan lauk daging rusa bakar, Depati Kecik memerintahkan Tagun kembali ke Dusun Lampar. Tetapi, kali ini kedatangannya ke Desa Lampar. bukan sebagai telik sandi, melainkan sebagai utusan Depati Kecik.

Dia diperintahkan menemui Gindo (Kepala Dusun) Lampar, melaporkan bahwa ada rombongan Depati Kecik, Pasirah Kepala Marga K.M. Lintang, yang tengah berburu ingin singgah di Dusun Lampar.

Singkat cerita, Tagun sudah tiba di Dusun Lampar. 

Dia langsung menuju sebuah paling besar dan bersih. Itulah rumah Gindo Dusun Lampar. Setelah bertemu Gindo, 

Tagun menyampaikan pesan Depati Kecik. Gindo Dusun Lampar sangat gembira mendengar bahwa ada seorang pasirah ingin mampir ke desanya. Dia mempersilakan seluruh rombongan Depati Kecik memasuki desanya, dan dia akan menjamu mereka selama mereka menjadi tamu di desa itu.

Dengan hati berbunga-bunga, Tagun kembali ke tempat rombongan Depati Kecik yang menunggu di hutan. 

Setiba di hadapan Depati Kecik dia melaporkan kesediaan Gindo Dusun Lampar menerima mereka sebagai tamu kehormatan.Tanpa menunggu lama mereka langsung bergerak menuju Dusun Lampar. 

Di Dusun Lampar, Gindo sudah menunggu di halaman rumahnya. Dia ditemani beberapa tokoh masyarakat.

Meskipun Dusun Lampar tidak masuk dalam teritori pemerintahan Marga K.M. Lintang, tetapi bagi Gindo Dusun Lampar, Depati Kecik tetap seorang kepala marga yang patut dihormati. 

Dusun Lampar ini berada wilayah Marga Musi Ilir, yang berpusat di Talangpadang.

avataravatar
Next chapter