2 Stalker

Setelah beberapa saat, pesanan dessert si bule dan temannya sudah siap. Aku segera membawa nampan berisi Oreo cheese cake, chocolate lava cake, dan mango pudding ke meja nomor enam. Kali ini, aku bertekad untuk menundukkan pandangan, agar tidak tersihir lagi oleh pandangan matanya.

"Omatase shimashita ..., one Oreo cheese cake, one chocolate lava, one mango pudding," kataku sambil meletakkan porsi demi porsi hidangan penutup tersebut di meja. "Anything else?" kali ini aku memilih untuk menatap si bule sekilas saja dan lebih banyak menghadap ke temannya.

"No, thanks. We will call you if we need a help," terangnya dengan kecepatan bicara yang sangat cepat, secepat Shinkansen. Telingaku yang belum terbiasa mendengarkan gaya bicaranya, agak terlambat merespons. Huh, harusnya aku memilih tetap berbicara dengan si bule.

Saat hendak meninggalkan meja, teman si bule memanggilku, "Tania-san, when will you finish your shift?" selidiknya dengan tempo yang lagi-lagi sangat cepat, hampir-hampir tak kutangkap apa maksudnya.

Aku tak langsung menjawab karena merasa tersinggung. Di Jepang, menanyakan hal seperti itu kepada orang yang tidak dikenal adalah termasuk perbuatan pelecehan. Namun, manajer restoran tidak akan menindak tegas pelanggan seperti itu karena mereka mengutamakan profit. Hal seperti ini yang menyebabkan semua pelayan wanita dan karyawati pada umumnya harus pandai-pandai menolak dengan halus, tanpa berbuat kasar pada pelanggan.

"Sorry, I am not sure about that, Sir," jawabku sambil tetap tersenyum semanis mungkin. "Looks like today will be very busy. Maybe the manager is going to make me work overtime," tambahku berbohong.

Mendengar jawaban dariku, dia terkikik, menaikkan alisnya, dan memandang si bule penuh arti. "See ... you have to work hard, dude ...," ujarnya pada si bule. Mereka kemudian lagi-lagi tertawa kecil bersama, tentunya tanpa menggangu pelanggan lain. Jika tidak, mereka bisa dianggap mengganggu dan dipaksa keluar dari restoran.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku berpamitan dan segera meninggalkan meja mereka untuk melayani pesanan selanjutnya. Ternyata, kebohonganku menjadi kenyataan. Aku sangat sibuk, hingga harus bekerja satu jam lebih lama daripada seharusnya. Ini berarti, aku akan pulang larut sekali.

***

Jam di smartphone menunjukkan pukul sebelas malam. Aku sudah selesai bekerja dan membantu beres-beres pekerjaan dapur. Setelah aku mengemas barang-barang ke dalam tas dan berpamitan kepada manajer dan karyawan lain, aku segera berlari pulang agar tidak kemalaman.

Jalanan sudah sepi. Pada jam-jam sekian, hanya daerah hiburan malam serta tempat penjual sake (arak Jepang) saja yang masih terlihat ramai. Aku sengaja menghindar dari tempat seperti itu karena takut terjadi apa-apa.

Agak jauh di belakang, ada pria Jepang paruh baya yang terlihat sedang mabuk, menyanyi-nyanyi dengan keras sepanjang jalan. Aku mempercepat langkahku agar semakin menjauh darinya. Entahlah. Walaupun orang mabuk di sini relatif lebih 'sopan' daripada orang mabuk di Indonesia, atau bahkan di belahan bumi yang lain, tetap saja aku tak nyaman dan merasa takut.

Tiba-tiba, orang mabuk itu melihatku dan mempercepat jalannya—ke arahku—buruk. Kontan saja aku berlari semakin kencang. Dia pun dengan sempoyongan berusaha berlari mengejarku. Tanpa menoleh ke belakang lagi, aku pun mempercepat lariku seolah hidupku bergantung pada setiap detik yang aku punya. Dan tiba-tiba, sebuah tangan menarik lenganku.

"Heeelpp!!! Tasuketee!!! (Tolong)."

Aku berteriak-teriak minta pertolongan, berharap ada orang yang mendengarnya, sambil meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman lelaki itu. Namun, tenaga lelaki itu lebih kuat. Dia menarik tubuhku ke belakang, menghantam badannya yang kekar, dan membungkam mulutku. Aku pun semakin meronta-ronta, kali ini disertai tangisan yang tak bisa kutahan. Ya Tuhan ... apakah begini akhir hidupku?

"Mmmhhh!! Heeppphh!" pekikku tak terdengar karena mulutku tersumbat tangan besar nan kekar. Aku berusaha memukul pria itu dengan tanganku yang masih bebas, tapi hanya sakit yang kurasakan karena badan lelaki itu begitu keras seperti kayu.

"STOP!! I said, stop!" hardik lelaki itu. Mendengar suara yang tak asing di telingaku, aku pun berhenti meronta dan menolehkan kepalaku ke belakang untuk memastikan pendengaranku. Mataku pun terbelalak karena melihat mata biru safir yang sangat familiar.

"Y-you ...!" ucapku gemetar dan terbata-bata melawan kelunya lidah. Namun, perasaan lega menyelimutiku karena ternyata orang yang menarikku tadi adalah si bule, pelanggan meja nomor enam. Bukan orang mabuk tadi.

Kuamati si bule yang terengah-engah dan berkeringat. Sepertinya dia berlari sangat kencang agar bisa mengejar dan menghentikanku.

"You dropped it," katanya sambil menyodorkan ponselku. Aku cek resleting tas yang ternyata terbuka. Mungkin saja aku lupa menutup resleting karena terburu-buru.

"Thank you very much," balasku berterimakasih padanya. Tak terbayang bila sampai aku kehilangan ponsel itu. Tentu akan sangat kerepotan, walaupun sudah menjadi rahasia umum bahwa sembilan puluh lima persen barang hilang di Jepang pasti akan ditemukan kembali oleh pemiliknya.

"Thank him!" sanggahnya, menunjuk pria mabuk yang mengejarku tadi, yang kini sedang sibuk menyanyi, larut di dunia halusinasinya sendiri.

"That man was ... he just wanted to give you this."

Aku pun mengambil ponselku dari tangannya sambil menundukkan muka karena sangat malu. Kurasakan wajahku memanas seakan keluar asap. Apa yang telah kulakukan? Mereka hendak menolongku, tapi aku malah mengira yang bukan-bukan. Bahkan sampai membuat mereka kelelahan karena mengejarku.

Si bule itu pun menarik lenganku, membawaku menuju lelaki mabuk yang berada agak jauh dari tempat kami berdiri. Saat berada di dekatnya, bau sake yang begitu tajam menyeruak masuk ke hidung dan mulutku yang sedikit terbuka. Aku agak ragu-ragu hendak mengucapkan terimakasih pada pria mabuk itu karena kupikir dia juga tak akan mengingatnya, dan ... tentu saja karena aku masih merasa takut.

Aku hendak melarikan diri dari tempat itu, namun tangan si bule yang menahanku agar tidak pergi. "It's fine. Do it!" perintahnya meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja karena ada dia yang menjagaku.

"Sumimasen ... ano ... honto ni ... arigato gozaimashita!" kataku mengucapkan terimakasih kepada si pria mabuk sambil gemetaran. Pria mabuk itu hanya mengangguk sambil tersenyum membuat mata sipitnya semakin tampak sipit. Kemudian dia berlalu, bernyanyi-nyanyi sendiri, meninggalkanku dan si bule yang masih berdiri di tempat yang sama.

Beberapa saat kemudian, kami masih belum beranjak juga dari sana. Tidak pula berkata-kata karena suasana begitu canggung. Sangat sunyi, sebagaimana seharusnya suasana Sendai di malam hari.

Tiba-tiba, kesadaran akan satu keanehan menamparku. Ketenangan yang kurasakan setelah berlalunya pria mabuk itu berubah menjadi ketakutan yang lain. Iya, benar! Pertanyaan yang berada di benakku, sama dengan yang ada di kepala kalian. Bagaimana mungkin si bule yang sudah pulang sejak jam delapan tadi, bisa berada di sekitar sini saat tengah malam? Terlebih lagi, bagaimana mungkin dia menolongku dan meluruskan kesalahpahaman antara aku dan pria mabuk tadi?

Hanya ada satu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

"Are you stalking me?"

avataravatar