1 Mata Safir

Sendai-Japan, November 2012.

***

"Tania-san, roku-ban no terburu onegaishimasu!" perintah Onodera-san, atasanku, untuk mengantarkan makanan kepada pelanggan di meja nomor enam. Aku pun segera mengambil nampan berisi pizza Margherita dan squid ink spaghetti dengan sangat hati-hati karena cukup berat. Tentu saja, aku tidak ingin menjatuhkannya dan kehilangan pekerjaan yang dengan susah payah aku dapatkan, bukan?

Mencari pekerjaan sambilan, atau arubaito (baito), di Sendai tidaklah mudah bagi orang asing sepertiku. Aku harus bersaing dengan puluhan orang asing pencari baito lain dari berbagai negara. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Beberapa hari lalu Yuki-chan, temanku di Sendai Culinary School, mengabarkan padaku bahwa restoran Saizeriya, membutuhkan pramusaji wanita yang bisa berbahasa Jepang dan Inggris. Segeralah aku mendaftar dan keberuntungan pun berpihak padaku.

Saizeriya merupakan restoran Italia kelas menengah yang terletak di kawasan Sendai-Eki, stasiun kota Sendai. Lokasinya memang tidak jauh dari apato tempatku tinggal dan gajinya sangat cukup karena jam kerjanya juga cukup panjang.

Perlu kalian ketahui, sistem upah untuk baito di Jepang adalah per jam. Semakin lama aku bisa bekerja, semakin banyak upah yang akan kudapatkan. Apalagi upah standar untuk pelayan restoran cukup tinggi, 1000 yen per jam. Bila aku bekerja enam jam setiap hari, jumlahnya akan sangat cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sisanya bisa aku tabung untuk membiayai biaya sekolah.

"Omatase shimashita ...," sapaku kepada kedua pelanggan pria di meja nomor enam dengan senyuman super ramah, sesuai etika bisnis di Jepang. Apa pun mood kamu, bila kamu bekerja dalam bidang pelayanan di Jepang, kamu tetap harus tersenyum dan bersuara riang. Tidak hanya itu, standar suara yang kamu keluarkan pun harus suara yang sengau dan dikecilkan. Jangan heran bila kamu menjumpai pelayan wanita paruh baya bersuara kecil seperti anak SD yang dijepit hidungnya saat berbicara dengan pelanggan. Lucu? Pertama kali iya. Namun, lama kelamaan aku juga terbiasa dengan hal ini.

Kuletakkan piring pizza dan spaghetti di meja dengan hati-hati, tetapi cepat, sambil mengkonfirmasi ulang pesanan mereka, apakah sudah benar atau tidak. Sekilas, kuamati kedua pelanggan tersebut. Mereka tampak seperti pelajar. Mungkin pelajar asing di Tohoku Daigaku.

Salah seorang dari mereka adalah orang ... Pakistan? ... India? ... entahlah. Aku belum bisa membedakan orang-orang dari negara Asia Selatan karena belum terbiasa. Namun, masih bisa memastikan kalau dia bukan berasal dari Bangladesh atau Nepal.

Sedangkan pelanggan di sebelah kiriku adalah bule, bermata biru jernih, dan—tampan sekali. Apalagi saat dia membalas senyumanku dengan senyuman yang tak kalah manisnya—terlalu manis bahkan—sampai-sampai aku takut akan terkena diabetes bila berlama-lama memandang matanya. Bagaimana aku menjelaskannya pada kalian? Hmm ... mata birunya tampak bagaikan batu safir yang terpasang di mahkota emas.

"Uhukk ...," si bule berpura-pura batuk pelan membuyarkan lamunanku. Sepertinya dia menyadari bahwa aku sedang mengamatinya. "Do you speak English, ... er ... Ta-ni-a-san?" tanyanya, menanyakan apakah aku berbahasa Inggris atau tidak, sambil mengeja namaku yang tertulis dalam huruf Katakana. Ternyata dia belum mahir berbahasa Jepang.

"Yes, I do," jawabku dengan masih malu-malu mengiyakan.

Dia kembali memandangiku sambil tersenyum makin lebar, tampak sangat senang melihat ada karyawan asing di restoran Jepang yang pastinya bisa berbahasa Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa misi utama restoran ini untuk merekrutku berhasil. Aku berani bertaruh, sepulang dari sini dia akan mengabarkan kepada semua teman-teman asingnya bahwa mereka akan bisa makan di Saizeriya tanpa kesulitan.

Sebenarnya, orang yang tidak bisa berbahasa Jepang pun akan bisa memesan makanan dengan memakai bahasa Tarzan ... menunjuk-nunjuk menu yang ingin dipesan ... kemudian bayar. Namun, permasalahan muncul ketika pelanggan tersebut memiliki alergen atau pantangan makan-makanan tertentu seperti babi dan alkohol untuk orang Islam ataupun kandungan hewani secara umum untuk vegetarian. Oleh karena itu, keberadaan pramusaji sepertiku akan sangat membantu mereka yang tidak bisa berbahasa Jepang dengan baik.

Untuk menghilangkan rasa malu dan canggung yang masih tersisa, aku pun segera menanyakan apakah mereka akan memesan makanan lagi. Si India atau Pakistan itu memesan Oreo cheese cake untuk dessert. Sedangkan si bule memesan tiramisu.

"Do you put alcohol in tiramisu?" tanya si bule memastikan apakah pesanannya mengandung alkohol.

"Yes, we use kahlua for tiramisu. If you don't want it, I can recommend other desserts for you," jelasku sambil membuka buku menu, mencari kolom makanan penutup untuk merekomendasikan menu lain. Aku sedikit heran karena ada bule yang tidak mengkonsumsi alkohol. Mungkinkah dia alergi?

"All of ice cream varieties are alcohol free. Which one do you like?" tanyaku padanya, berharap dia segera memilih es krimnya agar aku bisa segera kembali ke dapur. Karena tampak bingung, aku pun membantu menjelaskan padanya. "The chocolate lava cake is melting in your mouth. It's softness and a little bit bitterness will go well with sweet vanilla ice cream," jelasku panjang lebar menunjuk dessert yang menjadi primadona bulan ini, chocolate lava cake yang berpadu sempurna dengan es krim vanilla.

Dia tampak sedikit terkikik mendengar penjelasanku. Mata indahnya kembali menatapku dengan pandangan kagum atau iseng? Entahlah. Aku juga tidak mengerti.

"How about mango pudding?" tanyanya lagi menunjuk varian es krim lain, puding mangga dengan es krim vanilla.

Aku menelan ludah dan menjawab, "It's very soft and creamy. The taste is rich due to the finest ingredients. You will love the combination of tangy and sweet taste," jelasku lagi, memberi opini, berharap agar dia segera memesan sehingga aku bisa cepat pergi dari sini.

"Okay, then give me both ...," dia menatapku lagi, kali ini dengan sangat intens.

Ya, Tuhan ... apakah dia ini model yang keluar dari poster di outlet fashion GAP di seberang sana? Ataukah seseorang mengedit mata birunya hingga tampak begitu cemerlang?

"Are you okay, Miss?" tanyanya memastikan apakah aku baik-baik saja, karena aku hanya berdiri terpaku di depannya. Tidak menjawab, tidak pula beranjak pergi.

"Oh ... oh, yeah, sure. I-I will proceed your order," jawabku tergagap karena saking malunya. "Please ring the bell if you need other stuffs," terangku sambil menunjuk bel yang terduduk manis di meja.

Aku pun segera melangkah pergi, setengah berlari karena sangat malu. Sekilas, tampak si bule dan temannya menertawakan sesuatu yang kemungkinan besar adalah diriku. Aah, betapa bodohnya aku ....

avataravatar
Next chapter