webnovel

Gadis Bermata Biru

"Ring...ring...ring..." Bel tanda pelajaran terakhir selsai berbunyi, para siswa siswi berhamburan keluar kelas.

Azra yang kini tengah mengutak atik tas nya di dalam kelas terlihat kebingungan.

"Aduh dimana sih alat perekamnya? perasaan udah ku taruh dalam tas deh." Desah Azra dan mengeluarkan seluruh isi tasnya ke atas meja, namun barang yang ia cari tak ditemukan.

Mini voice recorder yang kini ia cari terjatuh entah dimana, itu adalah barang kesanyangannya, ia tidak perna lupa untuk membawanya. Di dalam alat perekam itu ia telah menyimpan puluhan rekaman suaranya, Azra memang hobi bernyanyi karna hanya itu hiburannya dalam kesendirian. Azra juga menciptakan beberapa lagu.

Azra hanya bisa pasrah dan merelakan alat perekamnya yang hilang itu, ia akan membeli yang baru lagi nanti.

*

Dalam sebuah Mobil sport mewah Afnan mengamati Mini Voice Recorder yang berada di tangannya. Ia menemukannya tadi pagi ketika ia sedang berjalan menuju kelasnya, alat perekam itu tergelatak di lantai dekat tempat sampah.

Afnan mengambil headset dari dalam tasnya dan menyambungkannya ke alat perekam itu, ia mulai memutar salah satu rekaman di dalamnya.

Suara lembut dan halus seorang perempuan yang tengah bernyanyi di iringi dengan petikan gitar yang merdu memenuhi telinganya, tanpa ia sadari jari-jarinya bergerak membentuk irama mengetuk bagian pegangan pintu. Lagu demi lagu ia dengarkan dengan seksama ia seakan enggan untuk berhenti mendengarkan, sampai pada akhirnya ia terlelap di kursi belakang mobil.

*

Azra berjalan dengan langkah lesu menuju pintu gerbang sekolahnya, bagaimana tidak ia masih memikirkan alat perekamnya yang hilang itu.

Belum sempat ia mencapai gerbang sekolah ia di hadang oleh tiga orang siswi, mereka lalu mendekat dan memberikan tatapan yang menghina pada Azra.

Azra hanya memperhatikan mereka dengan wajah datar.

"Hey orang udik, masih ingat nggak kamu sama Andhyra? kamu udah berani mempermalukan Andhyra di depan umum." Kata Chya sambil mendorong bahu kiri Azra.

"Ia, berani sekali kamu mempermalukan Andhyra di kantin tadi siang, kamu nggak tau dia itu anak donatur terbesar di sekolah ini? ngeluarin orang udik kayak kamu segampang kita lagi ngupil, terus di tempelin di bawah meja." Ucap Mhuty arogan.

"Ih thy... Bahasamu jorok amat!" kata chya jijik dan melihat Muthy.

"Emang bener kan, habis ngupil itu di tempelin di bawah meja. Soalnya kalau di buang nggak bisa, upilnya kan suka banget nempel di jari.!" balas Muythy nggak mau kalah.

"Arggh...hentikan! kalian berdua ini malah bahas upil, dasar bego." Andhyra pun melangkah mendekati Azra yang sejak tadi cuma memperhatikan mereka dengan malas.

"Eh kamu... Minta maaf sambil berlutut dihadapanku, jangan harap kamu bisa bangun sebelum aku memaafkan mu!" Perintah Andhyra pada Azra.

Namun Azra hanya memandangnya dengan ekspresi yang datar.

"Kenapa? kamu saking takutnya jadi bggak bisa gerak? cepat berlutut di hadapanku jangan sampai aku mengucapkannya untuk yang ketiga kalinya!" Ancam Andhyra dengan ekspresi yang angkuh.

Azra tak memperdulikan peringatan Andhyra dan hanya melangkah pergi, baru dua langka ia berjalan tiba-tiba ia merasa sesuatu mendorongnya dengan keras hingga ia hampir terjatuh.

"Mau lari kemana kamu? jangan coba-coba kamu menghindar dariku!" Geram Andhyra pada Azra, ia merasa puas telah mendorong Azra namun ia sedikit kesal karna Azra tidak terjatuh.

Azra hanya mengepalkan tangannya dan meneruskan langkahnya, ia berusaha menahan emosinya. Hal itu membuat Andhyra semakin geram, Andhyra mengambil sebuah batu yang lumayan besar di dekat pot bunga di sampingnya dan melemparkannya ke arah Azra.

Merasa ada sesuatu yang mendekat di belakangnya Azra berbalik dan seketika Azra melihat sebuah batu yang melayang ke arahnya. Dengan sisa jarak lima cm dari wajahnya batu itu terhenti dan melayang selama tiga detik sebelum batu itu berbalik arah dan melayang ke arah Andhyra.

Andhyra, Mhuty dan Chya yang melihat kejadian itu terkejut membuat mata mereka melotot tak percaya. Tepat sekian detik batu itu terlempar ke arah Andhyra dan melewati samping kanan telinganya yang hanya menyisahkan jarak setengah cm.

Tiba-tiba kaki Andhyra bergetar dan terkulai lemas di tanah, kakinya tidak sanggup menahan beban dari tubuhnya akibat shock yang hebat. Mhuty dan Chya hanya saling memandangi dengan mulut mereka yang masih terbuka lebar.

Dengan ekspresi dingin Azra membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan tiga orang yang hilang kesadarannya di belakang.

"Nenek Sihir!" Ucap Muthy lirih.

*

Azra membaringkan tubuhnya dengan kasar di atas kasur, ia mengumpat pada dirinya sendiri yang telah memperlihatkan kekuatannya pada tiga orang yang menjengkelkan tadi. Ia refleks mengeluarkan kekuatannya ketika batu itu hampir mengenai wajahnya.

"Bagaimana ini, mereka telah melihat kekuatanku dan mungkin saja mereka akan menyebarluaskannya ke seluruh sekolah." Azra menggosok kepalanya dengan frustasi.

"Mungkin aku harus memberikan mereka peringatan, agar mereka tidak berani untuk membocorkannya ke satu sekolahan." Pikirnya.

"Argg... tapi bagaimana caranya?" Azra merasa semakin frustasi memikirkannya. Bagaimana tidak hari ini ia melihat sahabatnya di sakiti, alat perekamnya juga hilang, lalu tiba-tiba datang tiga orang siswi menghadangnya dan memaksanya untuk berlutut minta maaf di bawa kakinya. Sungguh hari yang begitu sial.

*

Afnan terbangun dari tidurnya ketika sang supir memanggil namanya dari kursi pengemudi.

"Tuan Muda sudah bangun? kita sudah sampai di rumah Tuan!" Ucap Pak Joni sang supir pribadi Afnan, ia sedikit takut karna telah berani membangunkan tuan muda dari tidurnya.

Afnan memperbaiki posisi duduknya dan keluar dari mobil setelah Pak Joni membukakan pintu mobil untuknya.

Afnan memasuki rumah dua tingkat yang sangat megah, dimana hal pertama yang dirasakannya adalah kesunyian. Rumahnya memang besar namun kedua orang tuanya jarang berada di rumah, mereka lebih sering berada di luar negeri untuk mengurus bisnis keluarga. Sedangkan kakak perempuan Afnan memilih untuk kuliah di Inggris.

Rumah Afnan hanya di huni oleh beberapa orang pembantu dan satpam serta seorang supir pribadi.

Afnan melangkah ke arah tangga dan menuju kamarnya di lantai dua, ia melemparkan tas nya di atas sofa dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.

kamar Afnan begitu luas ia bahkan memiliki ruangan khusus untuk bermain band dan disampig ruangan tersebut masih ada ruangan khusus untuk menyimpan pakaian dan segala macam aksesoris.

Kasur yang berukuran King itu menambahkan kesan Sempurna untuk kamar seorang Pangeran dengan berbagai macam hiasan dengan harga yang sangat mahal.

Afnan yang sedang berbaring memalingkan wajahnya di atas meja yang ada di sampingnya.

Ia bangkit dari atas kasur dan mengambil buku itu lalu membukanya, hal pertama yang ia lihat adalah lukisan seorang wanita yang memiliki mata berwarna biru.