webnovel

3. Dua Elang

"Karen...Karen..." Panggil seorang anak laki-laki pada Della kecil.

"Cepaat!" Suruhnya, dan Della menurut mengejar anak itu.

Mereka memasuki sebuah kamar yang seluruh isinya berwarna biru dan bersembunyi di balik tirai biru panjang yang menghalangi teriknya matahari menembus kamar itu.

"Nih!" Kata anak itu dan menunjukkan sepasang cincin yang tampak sama dengan milik ibu Della. "Kata ayah, suatu saat cincin ini jadi punya kita."

"Kamu mencuri?"

"Kalau kita ngambil sesuatu yang memang punya kita, itu kan bukan mencuri."

****

Della terbangun.

Tubuhnya dipenuhi keringat dingin dan dahinya terasa seperti sedang diremuk.

Lagi-lagi anak itu. Sejak kematian ibunya, anak itu kerap kali muncul dalam mimpi Della, dan semuanya tampak berkesinambungan bagai pecahan puzzle yang minta disusun. Dan yang paling aneh adalah anak itu selalu memanggilnya dengan nama ‘Karen’.

Della masih berbaring dengan kepala berdenyut. Terlalu malas untuk bangun, karena dia tahu pasti semalam Kaz mengunci pintu kamarnya dari luar.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Della bangkit dan duduk bersandar di tempat tidur. “Iya.” Sahutnya.

Pintu terbuka dan Kaz masuk dari sana membawa nampan berisi makanan, dan dia meletakkan nampan itu di atas meja. “Kamu baru bangun?”

“Iya.” Jawab Della setengah suara. Tubuhnya selalu terbangun dengan lemas tiap kali memimpikan anak itu.

“Sana sarapan dulu.” Suruh Kaz, tapi Della tidak menyahut. Gadis itu mengambil ponsel yang dia selipkan di balik bantal dan mengutak-atik benda itu.

“Della?” Panggil Kaz.

“Iya, bentar…” Sahut Della sambil lalu karena sibuk mengetik di ponsel.

Kaz mulai kesal. Dia menarik ponsel Della, dan…

“Siapa ini?” Bentak Kaz dengan nada ngotot, tahu ternyata sejak tadi Della saling bertukar pesan yang isinya sangat akrab dengan seorang pria.

“Temanku pas di sekolah.” Jawab Della sambil lalu dan merebut ponsel itu dari tangan Kaz. Tiba-tiba benda itu berdering dan Della mengerjap mengangkat sebuah panggilan video.

“SAAAYYAAAANNGGKUUUUU!!!!!!” Terdengar suara teriakan histeris dari speaker ponsel Della.

Kaz yang tadinya hendak berlalu menjauhi ranjang langsung melompat merebut kembali ponsel Della tanpa sempat gadis itu menyahut balik panggilan dari pria dibalik ponsel.

“Kaz!!” Panggil Della dengan suara setengah berbisik sambil coba merebut ponsel itu, tapi dengan cepat Kaz beranjak menjauhi ranjang. Dia mengernyit melirik ponsel yang panggilan videonya sedang tersambung dengan si pria yang ber-chatting ria dengan Della tadi.

“Siapa kamu?” Tanya Kaz dengan nada mengintimidasi.

“Rema...” Jawab pria di ponsel dengan wajah bingung.

“Ada urusan apa Anda nelpon tunangan saya sepagi ini?” Tanya Kaz lagi, masih dengan nada mengintimidasi.

Della mengerjap bangkit dan coba merebut kembali ponsel itu, tapi Kaz mengangkatnya tinggi-tinggi hingga Della tak dapat mencapainya.

“Kaaaazzz!!!” Geram Della dengan gigi digertakkan.

“Sana kamu, aku masih belum selesai.” Hardik Kaz mengusir Della.

“Mau ngomong apa kamu sama dia?”

“Ini urusan laki-laki!”

“Tapi Rema itu...”

Kaz tak mempedulikan dalihan Della. Dia menjauhi tubuh gadis itu dan kembali mengarahkan layar ponsel didepan wajahnya untuk melihat wajah pria bernama Rema itu.

“Ada perlu apa sama tunangan saya” Tanya Kaz lagi pada Rema.

“Apa ya?” Gumam Rema dari balik ponsel. “Lupa deh aku ada perlu apa sama Della.” Ucapnya. “Kalau...perlunya sama mas aja gimana?”

Della yang tak tahan malu dengan situasi ini kembali mengerjap secepat kilat ke arah Kaz dan melesatkan telunjuk diatas layar ponsel untuk memutuskan sambungan dengan Rema.

“Kaz.....” Panggil Karen dengan nada yang sangat lembut, berharap bahwa pria itu akan mendengarkannya kali ini. “Rema itu cuma teman aku.” Katanya.

“Teman manggil 'sayang'?” Hardik Kaz.

“Itu hal biasa.” Dalih Della.

“Biasa?” Ucap Kaz mengulang kata yang diucapkan Della.

“Maksud aku...” Kalimat Della terputus. Dia pun mendesah, tak tahu harus menjelaskan dengan cara apa.

Sementara itu Kaz menatapi wajah tunangannya dengan mata tajam. Mana mungkin dia bisa terima ada pria lain yang memanggil tunangannya dengan sebutan 'sayang' sementara dia sendiri bahkan belum pernah melakukannya.

“Rema itu cewek!” Ucap Della akhirnya.

Kaz mengernyit bingung. “Maksudnya?” Tanya pria itu, tak mengerti. “Ya...Rema itu cewek tomboy! Muka sama suaranya aja yang kayak cowok. Tapi dia itu perempuan.” Jelas Della akhirnya.

****

Della duduk di balik meja makan dengan wajah kesal akibat kalah malu pada Siti, sahabatnya di SMA dulu. Sementara Kaz yang duduk di seberang meja hanya diam mengamati wajah tunangannya dengan rasa bersalah.

“Mau sampai kapan kamu lihatin aku dan bukannya sarapan?”

Della berdecak lidah. Diliriknya sandwich di atas meja tanpa selera. “Malas aku makan. Udah kalah malu. Dan itu gara-gara kamu!”

Kaz bangkit dari kursinya dan berpindah ke kursi yang berada tepat di samping Della. Dia pun duduk dengan tubuh mengarah ke gadis itu. “Ya udah maaf ya.” Bujuknya, lalu mengambil sepotong sandwich disana, menyodorkannya ke mulut Della. “Sekarang kamu makan, oke?”

“Ya udahlah, lupain aja!” Ucap Della jual mahal. “Aku malas juga mikirin hal sepele.”

Kaz kembali sandwich tadi di atas piring dan melirik Della dengan alis berkerut. “Intinya, kamu udah belajar bahwa kamu dilarang mengucapkan kata sayang ke orang lain.”

Ah, itu lagi alasannya. Kan sudah jelas kalau Rema itu perempuan. Dan lagi pula memangnya kenapa kalau ada pria lain yang memanggil gadis itu dengan sebutan sayang? “Kok kamu jadi kayak orang cemburu gitu?”

“Cemburu?” Kaz mendesah tawa. “Itu cuma buat manusia lemah. Aku bukan manusia lemah!”

“Oh ya? Kalau gitu ya jangan sewot dong kalau aku dipanggil sayang.”

“Asal kamu tau... Panggilan sayang itu rendahan. Dan hanya aku yang boleh merendahkan kamu kayak gitu.”

Ha! Terbaca sudah keegoisan pria itu! Hanya dia yang boleh merendahkan, katanya? Maksudnya hanya dia yang boleh....

Della diam menatap wajah Kaz. Tangan pria itu selalu dingin seperti sikapnya. Tapi mengapa mata tajamnya membuat jantung Della terasa hangat?

Di tengah keheningan, terdengar suara ketukan pintu dan beberapa detik kemudian seorang pria tampan yang tampaknya seumuran dengan Kaz masuk melalui pintu itu.

“Maaf lama.” Ucap pria itu. Dia berjalan ke arah meja makan dan berdiri di samping Della. “Liam.” Ucapnya memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan, Della membalas. "Kaz pasti udah cerita tentang aku kan?” sambung pria itu.

Della teringat ucapan Kaz tentang seorang temannya yang akan menjaga Della selama pria itu pergi. “Kamu mau kemana?” Tanya Della pada Kaz.

“Ke hutan, sebentar.”

“Ngapain?”

Kaz tidak menampik. Dia bangkit berdiri, tapi Della meraih ujung bajunya.

“Mau kemana, sih?" Tanya Della jengkel. Bukankah jelas bahwa kalau Kaz pergi maka dia yang terkurung bahkan tak akan punya teman mengobrol pula?

Kaz tersenyum dengan sebelah alis terangkat. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Della, dan menatap kedua mata gadis itu dengan lurus. “Bukannya kamu malas memikirkan hal sepele?” Timpalnya.

Della menggertakkan menahan emosi. Siapa sangka ternyata Kaz mengulang kalimat yang baru Della ucapkan—dan mendengarkan kalimat itu keluar dari mulut pria itu—ternyata sungguh menyebalkan. Tapi Kaz merasa bahwa wajah jengkel Della sangat menghibur, jadi dia tersenyum puas.

Kaz pun bangkit dan menepuk pundak Liam sambil lalu. “Aku serahkan sama kamu.” Katanya, lalu meninggalkan mereka.

****

“Nih!” Ucap Liam sembari memberi senter berwarna silver dan Della mengambilnya. “Nyalakan senter ini kalau ada yang berusaha menyakiti kamu.” Ujarnya lalu duduk di samping gadis itu.

Della menekan tombol 'ON' pada senter itu dan mengarahkan cahayanya yang berwarna biru ke wajah Liam. Dengan cepat pria itu langsung memalingkan wajah sambil menutup matanya dengan punggung tangan.

“Maaf maaf!” Della mematikan senter, “Cahayanya bikin orang sakit mata ya?”

Liam tertawa pelan. “Mungkin.”

Della memutar-mutar benda itu dan menemukan sebuah tombol besar dibagian bawahnya yang terukir kata 'DON'T PRESS'. “Yang ini apa?”

“Nah, itu...” Liam berdeham, tampak kesulitan menjawab pertanyaan barusan. “Intinya, yang itu hanya boleh ditekan kalau kamu dalam situasi bahaya. Oke?”

Della mengernyit tak mengerti. Situasi bahaya apa memangnya yang akan menghampiri seorang gadis yang terkurung rapat dalam kamar? Pikir Della.

“Ingat ya. HANYA DALAM SITUASI BBAHAYA” Ucap Liam kemudian dengan penekanan nada, Della mengangkat bahu tak acuh.

“Oh, ya.” Kata Liam sambil menjentikkan jari. “Kaz bilang kamu punya masalah dalam menemukan hobi ya?”

Kalimat itu sentak membuat Della melototi Liam. Yang benar saja! Bahkan Kaz memberitahu pria ini tentang hal yang tidak penting sekalipun? Kemana perginya privasi?

“Gimana kalau baca buku? Main musik? Berburu?” Celoteh Liam menawarkan berbagai aktivitas dengan nada semi memaksa.

Della mulai jengkel dan meletakkan senter pemberian Liam di atas meja. “Segitunya ya kalian pengen aku punya hobi?”

“Bukannya bermaksud kasar... Tapi aku butuh tidur saat kamu lagi butuh beraktivitas jam segini.”

Della mendesah panjang. Lagi-lagi masalah tidur siang. Sepenting apa bagi mereka bermalas-malasan di siang hari? Dia itu memalingkan wajahnya dari Liam dan tak sengaja melirik tirai yang menutupi pintu balkon kamar. Dan..

Sebuah ide gila muncul di otaknya.

“Aku suka lompat tali!” Jawab Della akhirnya.

Liam mengernyit.

“Iya.” Angguk Della sambil senyum. “Tapi talinya harus yang panjang gitu, sampai sepuluh meter.”

“Oke. Tunggu di sini.” Ucap Liam, lalu meninggalkan kamar Della.

Segera setelah Liam mengunci pintu kamarnya, Della mulai tertawa sambil membayangkan wajah sinting Kaz saat tahu Della melanggar peraturannya.

****

Liam pamit beristirahat dan menggantikan tugas Kaz untuk mengunci Della.

Segera setelah kepergian pria itu, Della langsung ke balkon kamarnya yang terletak di lantai empat. Gadis itu mengikat ujung tali di kaki balkon sekencang yang dia bisa, dan dipasangnya simpul di perut dengan ujung satunya lagi.

Simpul yang sempurna! Beruntunglah dia pernah ikut pramuka selama sekolah dulu. Siapa sangka ternyata ilmu pramuka sangat berguna disaat seperti ini? Simpul, oke. Ikatan di balkon, oke. Senter 'anti bahaya tralala' pemberian Liam, oke.

Persiapan sudah mantap dan saatnya beraksi. Pertama Della memanjat balkon, lalu dipegangnya tali sekuat tenaga sementara kakinya melompati dinding kastil. Gadis itu bergerak perlahan, sesenyap mungkin yang dibisanya.

Lantai tiga berhasil dilewati Della. Tak ada balkon di lantai itu hingga dia dapat melewatinya tanpa takut ketahuan.Sedikit lagi dan Della akan sampai di lantai dua. Tampaknya juga tak ada balkon. Ah, beruntungnya.

Di tengah pelariannya, samar terdengar suara biola yang merdu dari tempatnya bergantungan. Sempat Della terpukau. Tapi sayangnya ini bukan saat yang tepat untuk memuja seni. Kaki gadis itu bahkan belum mendarat di atas tanah.

Della pun coba kembali fokus dan lanjut melompati dinding, tapi entah kenapa tak ada apa pun yang dapat dicapainya dengan pijakan kaki.

Tunggu dulu! Mungkinkah tempat kakinya mencari pijakan adalah sebuah jendela yang sedang terbuka? Gadis itu masih mencari tempat untuk mendaratkan kaki mungilnya, dan....

BRRAAAAAK!!

Dia terjatuh.

****

Kael sedang berbaring di sebuah ruangan yang dipenuhi alat-alat musik akustik. Tubuhnya dia letakkan begitu saja diatas lantai tanpa alas apa pun. Tidak peduli walau debu mengotori rambutnya. Matanya menatap ke arah langit-langit ruangan yang dihiasi lukisan bunga oleander.

Entah sudah berapa lama dia berdiam seperti itu. Bahkan kehampaan yang menghantuinya kini mulai terasa akrab. Dia bangkit dan menggaruk kepala, berharap dengan begitu rasa stres dapat menghilang. Tentu saja, tak berhasil.

Kael mengambil sebuah biola akustik Vladimir dan mulai memainkan not lagu klasik yang dapat dilakukannya tanpa melihat partitur sekalipun. Tapi tiba-tiba tampak sebuah kaki bergelantungan didepan jendela, dan pria itu mengerjap kaget.

Tampaknya si pemilik kaki sedang berusaha mencari pijakan untuk kakinya, tapi tak mendapat apa pun karena jendela itu terlalu besar dan terbuka. Beberapa detik bergelantungan disana, dan si pemilik kaki jatuh secepat kilat.

Kael berlari ke arah jendela dan melirik ke bawah.

Della jatuh tersungkur diatas rerumputan.

****

“Ah!” Jerit Della kesakitan. Dia sedang berusaha untuk duduk dan seseorang melompat dari jendela lantai dua.

“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Kael yang mendarat tepat di hadapan Della.

Della tercengang. Bagaimana mungkin seorang manusia dapat melompat dari tempat tinggi dengan pendaratan semulus itu?

Della sendiri terjatuh dalam posisi terungkup. Tak ada luka di wajah dan kepalanya, tapi lututnya mengeluarkan darah.

“Kita harus pergi.” Kata Kael. Dia mengerjap menggendong Della di punggung tanpa memberi waktu bagi gadis itu untuk mengatakan apa pun.

Kael pun berlari dengan sangat kencang dengan tubuh Della di punggungnya. Mereka melewati jalan terowongan lembab, tapi Della tak sempat memperhatikan sekelilingnya karena Kael terlalu cepat.

“Kael...” Panggil Della dengan gemetar, Kael tak menyahut.

“Kael!” Panggil Della lagi, kali ini lebih kuat. Tapi masih belum ada jawaban.

Beberapa saat kemudian Kael berhenti di pinggir sungai dan meletakkan tubuh Della disana. Dia pun berjongkok dan mulai membasuh luka Della dengan air sungai.

“Kamu pernah ikut olimpiade lari?” Tanya Della di tengah keheningan.

Kael diam. Dibasuhnya luka Della di lutut yang satu lagi.

“Kael?” Panggil Della untuk kesekian kalinya.

Kael membuka kemeja dan mengoyakinya.

“Atau kamu ini atlet? Soalnya body kamu lumayan juga, sih...”

Kael melirik Della.

“M-maksud aku... Lumayan sehat kelihatannya.”

Baiklah, Kael masih diam. Kini dia membalut luka di kedua lutut Della dengan sobekan kainnya—tanpa suara.

“Kamu lagi badmood ya?” Lirih gadis itu akhirnya.

“Kamu masih aja cerewet dan terlalu banyak tanya.” Sahut Kael akhirnya. Selesai membalut kedua lutut Della, dan kini dia duduk dengan kaki ditekuk di depan dada. “Dan biasanya banyak permintaan juga.” Sambungnya.

“Kita pernah kenal sebelumnya?” Tanya Della dengan dahi berkerut.

Kael memutar wajah dan mengamati lereng bukit yang berdiri kokoh di samping aliran sungai selama beberapa detik, lalu kembali melirik Della. “Aku gak kenal kamu, Della.” Jawabnya. “Anggap aja aku seorang master yang bisa baca pikiran orang lain.”

Della cengir. “Coba baca pikiranku sekarang!” Tantangnya.

“Hm....” Kael bergumam, pura-pura berpikir. “Kamu lapar dan pengen makan di tempat yang ramai.”

“Lah, iya! Kamu emang bisa baca pikiran.” Balas Della canda, dan mereka tertawa.

“Kok kamu beda, sih?” Tanya Della kemudian.

Kael mengangkat Alis.

“Kamu beda sama saudara-saudara kamu yang songong dan arogan.” Ungkap Della dengan kesal, Kael cengir. “Trus, kamu juga diperlakukan dengan beda sama yang lain. Dan... Oh, ya!” Della menjentikkan jari. “Kamu gak tidur siang!”

Kael tertawa. Dia membaringkan tubuh di atas tanah dengan tangan sebagai alas kepala. “Aku hampir gak pernah tidur, Della.” Sebut Kael.

Della mengernyit, “Kenapa?”

Kael menutup mata. “Karena tiap kali aku menutup mata, aku melihat dan menginginkan sesuatu yang terlarang.”

“Terlarang?” Della berpikir selama beberapa detik. “Kamu ngayalin porno ya?” Katanya. Spontan Kael membuka mata dan tertawa, Della ikut cengir.

“Della...” Panggil Kael beberapa detik kemudian. “Apa kamu yakin mau nikah sama Kaz?”

Della memandangi sungai yang terbentang di dekatnya dan memasang senyum palsu. “Aku gak punya pilihan.” Katanya.

“Kamu bisa lari.”

Della melirik Kael, pria itu tampak serius dengan ucapannya. Tapi keheningan hanya berlangsung singkat. Sesuatu yang ada di balik hutan mengalihkan perhatian Kael. Kael bangkit duduk dan melirik ke hutan yang terbentang di belakangnya.

“Dia datang.” Kata Kael.

Della mengangkat alis. Beberapa saat kemudian terdengar suara derapan kaki yang sangat cepat dan Della melihat ke sumber suara.

Kaz berlari ke arah Della dan Kael, sangat cepat hingga bayangannya tampak kabur.

****

“Ayo pulang!” Kata Kaz. Tapi Della tidak menurut. Dia masih memikirkan tentang perkataan Kael barusan. Jika kembali ke kastil, mungkin dia akan terkurung dalam kamar selamanya.

“Kamu gak dengar ya?” Keluh Kaz. Dia mendekat untuk menarik tangan gadis itu tapi Kael menghalangi dengan tangannya.

Kaz memiting leher Kael dan melompat hingga mereka berdua terlempar menyeberangi sungai hingga ke lereng gunung. Sungguh tak masuk akal jika manusia punya kekuatan seperti itu. Della melotot terpaku memandangi mereka dengan jantung berdebar cepat, tak percaya pada apa yang baru dilihatnya.

Tubuh Kael terhimpit antara Kaz dan lereng gunung. Walau sanggup tapi dia tak melakukan perlawanan apa pun. Dia membiarkan Kaz menyiku lehernya hingga rasanya sangat sulit bernapas.

“Bukannya aku gak mau melawan, Kaz.” Kata Kael. “Tapi aku lebih suka menghargai mental orang lain yang pasti teriak ketakutan kalau melihat pertengkaran kita.”

Kaz menatap Kael dengan tajam. Cahaya matahari membuat pandangannya kabur tapi itu tidak akan mempengaruhi kesanggupannya untuk membuat Kael babak belur. Tapi dia melepaskan Kael.

Kaz berjalan menyeberangi sungai yang dangkal itu. Sesampainya di tepi,dia berdiri di samping Della tanpa melihat wajah gadis itu. “Terserah kamu mau jalan sendiri atau ditarik!” Katanya tanpa melirik.

Della memandangi Kael yang berdiri di lereng gunung sambil mengamati mereka dari kejauhan. Tak disangkanya Kaz sanggup menempatkan saudaranya dalam posisi bahaya. Karena alasan apa? Cemburu? Bukankah pertunangan mereka hanya karena perjodohan?

“Kael gimana?" Tanya Della.

“Dia bisa pulang sendiri dengan cara dia bawa kamu kemari.”

****

Della memeluk punggung Kaz yang menggendong tubuh gadis itu melewati terowongan dengan langkah kaki lambat. Benaknya terus mengingat keanehan yang dia saksikan hari ini. Kael yang berlari secepat harimau, dan Kaz yang melompat hingga bermeter-meter jauhnya.

Bagaimana mungkin mereka punya kemampuan seperti itu?

“Tangan sama kaki kamu kenapa?” Tanya Kaz memecah keheningan.

“Jatuh pas turun dari balkon tadi.” Jawab Della.

“Siapa suruh kamu melakukan bodoh?”

“Habis aku dikurung terus.” Keluh Della dengan suara lesu. Dia pun pasrah jika Kaz akan menjerjak balkonnya nanti.

“Yaudah, gak dikurung lagi.” Kata Kaz.

Della mengerjap. Dia melotot lebar dan tersenyum girang, hampir tak percaya pada apa yang didengarnya barusan. "Beneran?!" Seru Della, Kaz tak menjawab. “Kaz, beneran? Kamu gak akan ngurung aku lagi? Gak nyiksa aku lagi? Kamu akan biarin aku keliling kastil sepuasnya? Makan di ruang makan bukannya di kamar?”

“Satu pertanyaan lagi dan kutarik kata-kataku barusan.” Sergah Kaz.

“Tapi beneran kan Kaz?” Tanya Della lagi untuk meyakinkan dirinya bahwa pria itu tidak sedang mabuk atau kerasukan.

“Ditambah kamu pulang jalan kaki sampai kastil!” Ancam pria itu.

Della mengatup rapat bibirnya, tak mau ketidakwarasan Kaz kumat dan malahan mengurung gadis itu dengan cara yang lebih tidak masuk akal. Tidak tahu mau berkata apa lagi, tapi dia sangat senang. Dipeluknya lebih erat tubuh Kaz dan disandarkannya wajahnya di atas bahu pria itu.

Kaz melirik Della dari ujung matanya. Dan dia tersenyum.

****