1 BAGIAN I PASRAH

Hari ini terasa sangat melelahkan bagiku, bagaimana tidak! Selain padatnya mata pelajaran, organisasi ekstra dan intra sekolah menuntut semua siswanya untuk aktif di dalamnya. Selain aktif di OSIS, saya juga aktif di beberapa organisasi ada di sekolah.

"Andini, aku pulang duluan ya!" Kata Dewi salah satu teman baikku sembari melambaikan tangan. "Dan pulangnya jangan malam-malam ya!"

"OK... hati hati di jalan!" Sahutku.

Kadang aku merasa iri dengan Dewi karena dapat meluangkan waktu untuk kedua orangtuanya. Beda sekali denganku, setiap kali pulang yang aku dapati hanya bi Ina, wanita separuh baya yang mengurusku sejak kecil.

Ayahku adalah seorang anggota TNI yang selalu tugas di luar kota. Sementara itu, ibuku adalah wanita karier yang juga jarang pulang. Makanya aku lebih betah di sekolah dibanding di rumah. Itupun kalau di rumah, hanya bibi Ina yang selalu menemani.

"Wah sudah gelap ni!" Gumanku dalam hati saat keluar dari ruang OSIS. Pekerjaan sebagai sekretaris OSIS sangat rumit bagiku, apalagi ini jabatan pertamaku sejak aku sekolah di Madrasah Aliyah. Alaah soker (sok keren) sekali aku.

Aku berjalan gontai karena setengah lebih energi habis untuk kegiatan hari ini.

"Baru pulang Din...!" Dari kejauhan Frendy Felix menyapaku. Dia anak futsal, yang setiap hari sok akrab denganku. Sepertinya dia suka padaku, ataukah ini hanya perasaan ke-gr-anku saja. Bisa jadi seperti itu!

Sekedar basa-basi untuk menghargainya, kubalas sapaannya, "Iya nich...!"

Tukan dia mendekat, ini ni yang tidak aku suka. Kalau tidak dibalas sapaannya, nanti dikatakan sombong. Kalau dibalas, dia pasti mendekat ngajak ngobrol terus terusan. Apalagi hampir setiap pagi, siang, sore menjelang dia selalu mencari kesempatan untuk menyapaku.

Satu hal yang membuatku tidak nyaman dekat dengannya adalah bau badanya yang burket. Serasa ingin muntah berkali-kali. Aduh dia semakin mendekat, kupercepat langkah kakiku. Dia malah semakin mengejar, tiba-tiba "Darrr" suara-suara tembakan memekakkan telinga, dan suara motor berkejar kejaran di depan sekolah. Aku langsung duduk jongkok memegang kedua telinga. Ketika aku berdiri, Frendy sudah lenyap.

"Kemana perginya itu bocah ya?" Gumanku. Bulu kuduku jadi berdiri, bergegas aku ke tempat parkir untuk mengambil motorku.

Jarak antara rumahku dan sekolah cukup jauh, sekitar 10 KM. Awalnya kedua orangtuaku melarang untuk sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Pinrang karena jarak. Namun aku yang bersekiras untuk tetap sekolah di Madrasah itu.

"Jauh tidaknya, tetap ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan masing-masing!" Kataku waktu itu membela diri, "Lagian walaupun jauh yah-bu, insya Allah aku bisa menjaga diri. Rugi aku ikut pencak silat, kalau tidak bisa menjaga diri.!"

"Ehmmm... anak ibu sudah pandai ya bersilat lidah," kata ibu gemes mencubit hidungku karena keras kepala.

"Sudahlah bu, kita harus percaya kepada anak kita," ayah memenggang pundak kami berdua.

"Yah.. tidak boleh percaya padaku, kata guru Aqidah Akhlakku kita harus percaya kepada Allah swt," kataku sembaring memandangi wajah ayahku yang masih teramat gagah. "Jika kita percaya pada manusia itu namanya syirik!"

Ibu dan ayah saling berpandangan, lalu tertawa geli dan berlomba-lomba mencubit pipi serta hidungku.

Suara Muadzin bersahut-sahutan terdengar samar di telingaku karena tertutup helm. Perlahan namun pasti, kukendarai skuter matikku melalui jalanan beraspal. Semakin lama semakin gelap, langit tak sudi menampakkan bulan ataupun bintang-gemintang. Tikungan tajam sebelum masuk lorongku sangat sepi, disinilah beberapa kali korban berjatuhan karena kecelakaan.

Kata sebagian orang sich! Tikungan ini sangat angker. Tak jarang muncul penampakan yang membuat orang terkejut lantas terjatuh kecelakaan. Aku sich tidak percaya dengan hal-hal yang demikian. Aku percaya pada yang Allah semata. Percaya dengan hal yang demikian adalah syirik.

Namun entah mengapa malam ini perasaanku tak enak, ditambah dinginnya malam membuat bulukuduk merinding. Manalagi tikungannya panjang, semak belukar dan banyak pepohonan yang rimbun.

Mulutku komat-kamit membaca apa yang bisa aku baca. Mulai trikul sampai ayat kursi. Tapi tak kunjung hilang. Sampai tiba-tiba muncul sesosok laki-laki besar dengan wajah yang menyeramkan membuatku terkejut hingga membuatku tak bisa mengontrol skuter matikku.

"Sroooottt.... brooaakkk...!!"

Pandangan mataku gelap, kepala pusing dan badankku lemas tak berdaya. Ada sesuatu yang mengucur deras dari kepalaku, aromanya anyir. Terdengar suara berisik dari beberapa orang laki-laki.

Kukerjap kerjapkan mataku, namun masih terasa gelap pandanganku. Tubuhku bergerak sendiri di atas aspal. Saat pandanganku agak membaik, langit tampak terang. Ternyata laki-laki bertubuh besar dengan wajah seram itu menyeretku di atas aspal dengan posisi badanku terlentang di atas aspal. Sementara yang lainnya mendorong motorku dari belakang.

Sepertinya ponselku tidak apa-apa di dalam tas, karena beberapa kali berbunyi dengan nada panggilan "Ku Mencintaimu Karna Allah"

Buru-buru salah satu laki-laki yang membantu mendorong motor, mengambil ponselku lalu membantingnya di atas aspal. Masih saja berbunyi, lalu dibanting beberapa kali akhirnya nada panggilan itu lenyap. Jantungku serasa ingin copot saja, dan napas ini sesak tersengal-sengal.

Ya Allah aku mau diapakan oleh orang-orang ini? Apakah ini akhir kisah hidupku? Maafkan aku ayah, maafkan aku ibu karena tak mendengarkan ucapan dan nasihatmu! Maafkan anakmu ini. Ampuni aku ya Allah karena belum bisa menjadi hambamu yang baik!

Rasanya punggungku perih semua karena terlalu lama bergesekan dengan aspal yang masih terasa hangat. Tidak ada jalan selain kupasrahkan semuanya kepada Allah jika harus mati disini dan dengan jalan seperti ini, maka aku harus ikhlas.

Mulai kututup mataku, berusaha aku lupakan rasa sakit disekujur tubuhku, dan kubisikkan berkali-kali ke dalam relung hatiku kalimat ini "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah pemelihara alam semesta!"[]

avataravatar
Next chapter