1 Chapter 1 - Aji

Di suatu desa bernama Rari yang merupakan bagian dari Kerajaan Maja, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Aji. Dia hidup sebagai pengerajin pedang di desa tersebut bersama paman dan bibinya. Paman dan bibinya merupakan kaum sudra karena tidak memiliki sagti. Begitu pula dengan Aji. Di umurnya yang menginjak 9 tahun, dia masih belum menampakkan sagtinya. Kebanyakan orang akan mengeluarkan sagtinya paling lambat saat berusia 6 tahun. Jika orang tersebut berumur lebih dari 6 tahun dan belum mengeluarkan sagtinya, kemungkinan besar dia tidak memiliki sagti dan akan menjadi bagian kaum Sudra.

"Aji, tolong bantu paman." Ucap paman Bima ketika meminta bantuan untuk menempa pedang.

"Baik paman." Ucap Aji sambil berlari.

"Tolong pegang gagang pedang ini, paman akan menempanya." Ucap paman Bima sembari memberikan pedang tersebut kepada Aji.

Kemudian paman Bima menempa pedang tersebut hingga menjadi tajam. Setelah melalui proses beberapa jam, akhirnya pedang tersebut jadi.

"Wah bagus sekali paman. Pesanan siapa pedang ini?" Tanya Aji.

"Pedang ini pesanan Geni Jalu, salah satu prajurit kerajaan." Ucap paman Bima.

"Heee." Ucap Aji ketika mengagumi pedang buatan pamannya tersebut.

Saat ini, Aji berkeinginan untuk menjadi kuat gara impiannya bisa terwujud. Aji tidak pernah memberitahukan impiannya yang sebenarnya kepada orang lain karena semua orang akan menertawakan impian tersebut. Tentu saja karena Aji berasal dari kaum Sudra yang tidak memiliki sagti.

Setiap hari, Aji berlatih dengan pedang kayunya dan telah menciptakan aliran pedangnya sendiri yang ia beri nama Karma. Keesokan harinya, Aji merasa penasaran dengan pedang buatan pamannya kemarin. Ia berniat untuk mencoba pedang tersebut dan akhirnya Aji meminjamnya.

Aji pun berlatih di halaman depan rumahnya di bawah pohon mangga saat pagi hari. Sudah beberapa saat sejak Aji berlatih dan dia merasakan kualitas dari pedang buatan pamannya tersebut.

"Wah pedang ini sungguh luar biasa." Ucapnya sambil memandangi pedang tersebut.

"Akan ku coba menebas dengan sekuat tenaga." Tambahnya lagi dengan bersemangat.

Akhirnya Aji bersiap-siap untuk melancarkan tebasannya tersebut. Setelah melancarkan beberapa tebasan, tanpa sadar dia mendekati pohon mangga.

Kratak…Kratak…Bruak

Pohon mangga yang memiliki batang berdiameter sekitar 60 cm tersebut tumbang dalam satu tebasan. Mendengar suara berisik tersebut, paman Bima dan bibi Ijah pun terbangun dan segera keluar. Sesampainya di halaman depan rumah

"Aji, apa yang kamu lakukan?" Teriak bibi Ijah.

"Latihan bi hehehe." Ucap Aji sambil tersenyum dan menggaruk kepalanya.

"Dasar anak nakal, itu pedang milik orang lain Ji." Ucap paman Bima sambil menghampiri Aji dan merebut pedang tersebut.

Prok…Prok…Prok…Prok

"Luar biasa bocah." Ucap seseorang yang menghampiri Aji.

"Ndoro Geni Jalu." Ucap paman Bima yang terkejut.

"Kenapa pagi-pagi sudah datang kesini?" Lanjutnya.

"Aku hanya tidak sabar untuk segera mengambil pedang pesananku dan ketika aku sampai di sini, aku melihat bocah ini sedang melatih gerakannya. Aku pun terkejut melihatnya dapat merobohkan pohon itu." Ucap Geni Jalu.

"Bocah, siapa namamu?" Lanjutnya dengan suara lantang.

"Aji ndoro." Jawab Aji.

"Apa nama sagtimu." Lanjut Geni Wowo.

"Hanya Aji ndoro." Ucap Aji.

Suasana hening menyelimuti mereka sesaat.

"Hahahaha luar biasa, kamu yang tidak memiliki sagti tetapi bisa melakukan hal tersebut di umurmu yang sekarang sungguh luar biasa." Ucap prajurit kerajaan yang berusia 30 tahun, tingginya sekitar 180 cm, berbadan tegak, dan membawa pedang yang disarungkan di samping pakaian prajuritnya tersebut.

"Kenapa kamu tidak masuk ke padepokan saja dan berusaha untuk menjadi prajurit kerajaan." Lanjutnya.

"Maaf ndoro, saya memang ingin menjadi lebih kuat tetapi saya tidak tertarik untuk menjadi prajurit." Ucap Aji secara tegas.

"Aji." Ucap bibi Ijah sambil mencubit tangan Aji.

"Apa alasanmu bocah?" Tanya Geni Jalu lagi.

"Kerajaan ini dipimpin oleh raja yang busuk. Dia hanya memikirkan mengumpulkan upeti yang besar untuk sumber berperang dengan kerajaan lain. Seorang raja seharusnya memiliki tugas untuk mensejahterakan rakyatnya. Dan lagi kaum Ksatria yang biadab itu memperbudak rakyat dan mempermainkan wanita seenak mereka sendiri. Kaum yang seharusnya memiliki tugas untuk melindungi rakyatnya malah berbalik menyengsarakan rakyatnya." Ucap Aji dengan lantang.

Mendengar ucapan Aji tersebut, Geni Jalu menarik pedang dari sarungnya dan berniat melancarkan serangannya kepada Aji. Aji yang melihat gerakan Geni Jalu tersebut, merebut pedang dari tangan pamannya dan mencoba menangkis serangan Geni Jalu.

Tranggg…Wusssshhh

Suara kedua pedang yang beradu. Berbeda dari ayunan pedang Aji yang biasa, ayunan pedang Geni Jalu mengeluarkan api. Nama Geni merupakan nama yang merujuk kepada seseorang yang memiliki sagti bertipe api. Salah satu tipe sagti yang kuat.

"Hoooh." Ucap Geni Jalu yang terkejut melihat Aji dapat menahan serangan berlapis sagtinya tersebut. Geni Jalu pun menarik pedangnya dan menyarungkannya kembali.

"Bocah, ku maafkan perkataanmu tadi karena kamu dapat menangkis seranganku." Ucap Geni Jalu.

Aji pun menurunkan pedangnya kembali.

"Sangat disayangkan jika bakat yang kamu miliki ini terbuang sia-sia. Datanglah ke Padepokan Geni dan katakan kepada guru di sana kalau aku yang mengirimmu." Ucap Geni Jalu lagi.

"Pedang itu sekarang milikmu. Terserah kamu nanti ingin menjadi prajurit atau tidak. Itu pilihanmu. Tetapi jangan sia-siakan bakatmu itu bocah." Lanjutnya sambil menunjuk pedang yang dipegang Aji dan ia pun meninggalkan mereka.

Karena terkejut dengan hal yang baru saja terjadi, paman Bima dan bibi Ijah pun terjatuh ke tanah karena dorongan Aji saat merebut pedang. Seketika mereka bangun dan berterima kasih atas kebaikan yang telah diberikan oleh Geni Jalu.

"Terima kasih ndoro." Ucap paman Bima dan bibi Ijah secara bersamaan sambil merundukkan badan. Melihat Aji hanya berdiri saja, paman Bima pun menekan kepala Aji untuk memaksanya merunduk. Mereka bertiga pun akhirnya merundukkan badan untuk menghormati Geni Jalu yang meninggalkan mereka.

avataravatar
Next chapter