1 Chapter 1

POV Safaraz

Hari ini adalah tahun kedua pernikahan kami, tidak seperti pasangan suami istri lain yang merasa bahagia di tiap anniversary pernikahannya. Jangankan perayaan, ucapan hangat dari pasangan pun tidak aku dapatkan. Pagi ini kami bahkan bangun di kamar yang berbeda, bukan karena sedang berjauhan, namun memang sejak malam pertama kami menikah, tidak sekalipun kami tidur di kamar yang sama.

Wajar saja, pernikahan ini tidak diinginkan oleh kami berdua. Bayangkan saja dua cowok straight dipaksa untuk menjadi homo demi keinginan seorang ayah mertuaku yang egois. Aku yang merasa berhutang budi pada beliau dengan terpaksa menuruti kemauannya untuk menikah dengan putranya.

Aku tau, suamiku yang sekarang juga merasa terpaksa untuk menikah denganku. Bahkan kalau bukan karena harta warisan tentu saja pernikahan ini tidak akan pernah dilakukan olehnya.

Perkenalkan, namaku adalah Safaraz Putra, aku adalah seorang yatim piatu yang hidup dan besar di sebuah panti asuhan di ibu kota. Usiaku baru enam tahun saat ayah dan ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa mereka. Kami sedang berjalan-jalan sore menggunakan sepeda motor bebek butut milik ayah, ketika dari arah depan ada sebuah mobil sedan menabrak kami bertiga.

Menurut cerita yang kudengar, kepala ibuku terbentur separator jalan yang membuatnya harus meregang nyawa di lokasi kejadian. Sementara Ayah, dia masih sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan, namun seperti tidak ingin berpisah jauh dari ibuku, ayah menghembuskan nafas terakhirnya setelah seharian berjuang di ruang ICU.

Aku yang masih sangat kecil, dipaksa harus menerima kenyataan jika ayah dan ibuku pergi secara bersamaan, meninggalkan ku seorang diri tanpa ada penjagaan. Aku masih ingat, saat malam sebelum kejadian naas itu menerpa kami, ayah yang kala itu sedang mengelap motor bututnya tiba-tiba memanggilku untuk duduk di sampingnya.

Dia berkata jika aku adalah keberuntungan yang Allah kirimkan untuk dirinya dan ibu, dia bercerita bagaimana perjuangan ibu untuk hamil dan akhirnya lahirlah aku di tengah-tengah mereka.

"Safaraz, kamu tau apa arti dari nama kamu?" tanyanya saat memulai percakapan.

"Memang artinya apa, Yah?" tanyaku polos.

"Nak, ibu sama ayah bukan sembarang memberi nama itu kepadamu. Dahulu ayah dan ibu sudah berusaha sangat kuat agar bisa memiliki momongan berbagai cara kami tempuh agar ibu kamu bisa hamil, hingga akhirnya, saat ayah punya uang kami memberanikan diri untuk periksa ke dokter kandungan, jantung ayah dan ibu berdebar menanti hasil pemeriksaan lab, hingga akhirnya dokter memanggil kami masuk ke dalam ruangannya.

Di dalam, dokter kandungan membacakan hasil lab yang mampu membuat hati ayah dan ibu patah, dokter kandungan itu bilang jika rahim ibumu bermasalah, hingga menyebabkan dirinya susah hamil bahkan tidak bisa hamil. Kami pulang dengan hati yang patah, Nak, membayangkan hidup hanya berdua saja tanpa ada buah hati di tengah-tengah kami.

Berhari-hari kami terpuruk karena kenyataan pahit yang menerpa. Ibumu sempat meminta ayah untuk menikah lagi agar mendapatkan keturunan, namun ayah tolak, ayah tidak mungkin menyakiti hati wanita yang begitu ayah cintai hanya untuk mendapatkan anak yang belum tentu akan mencintai ayah seperti yang ibumu lakukan.

Kami bangkit, kami mencoba memaafkan keadaan, namun kami tidak menyerah. Berbagai terpai tradisional kami lakukan, ibumu begitu gigih dan ingin bisa hamil, sampai bertahun-tahun kami tidak menyerah hingga akhirnya saat pagi hari ibumu mendadak muntah-muntah ayah mengira jika itu hanya masuk angin biasa.

Sudah seminggu ibumu terbaring lemas karena makanan yang dia makan selalu keluar lagi, hingga akhirnya kami memutuskan untuk berobat ke puskesmas. Kamu tau? Ternyata ibumu tidak masuk angin tapi dia hamil, Nak. Sujud syukur kami lakukan di lantai puskesmas. Semua orang memandang kami dengan tatapan aneh, tapi kami tidak peduli yang kami pedulikan adalah ibumu kini sedang mengandung, akhirnya Allah memberikan keberuntungan kepada kami, Nak.

Lalu lahirlah kamu, kehadiranmu disambut suka cita warga desa, karena saat itu desa kita sedang terkena musibah kekeringan yang berkepanjangan, sawah-sawah kering tidak bisa ditanami dan air sungai kering tidak bisa diambil airnya. Namun saat kamu lahir, tiba-tiba saja langit gelap dan turun hujan yang sangat lebat, seketika air melimpah ruah membuat warga desa senang mereka menganggap jika kehadiranmu juga membawa berkah.

Itulah mengapa ayah memberimu nama Safaraz Putra, yang artinya anak laki-laki yang beruntung dan membawa keberuntungan, kamu keberuntungan bagi ayah dan ibu, Nak. Kamu membawa keberuntungan bagi warga desa, selama ini hidupmu beruntung karena dikelilingi oleh orang-orang baik, kamu sempat terjatuh dari pohon mangga namun tidak ada luka sedikitpun yang ditemukan di tubuhmu. Kamu juga pernah hanyut di sungai seharian penuh namun saat ditemukan kamu dalam keadaan sehat wal afiat, itu suatu keberuntungan dari Allah untukmu.

Jadi, jika kelak terjadi sesuatu yang buruk kepadamu, jangan sedih, jangan patah semangat, karena pasti setelah hal buruk tersebut akan ada keberuntungan yang mengikutinya." Ayahku bercerita panjang lebar, aku yang masih kecil dan sudah mengantuk hanya manggut-manggut mengiyakan.

Sekarang aku baru paham maksud dari perkataan ayah yang meminta ku untuk tidak putus asa dan tetap semangat saat hal buruk terjadi, karena, setelah pemakaman ayah dilaksanakan, aku yang tidak memiliki siapapun akhirnya dibawa oleh orang-orang berseragam kepolisian ke sebuah panti asuhan.

Baru beberapa hari di sana, aku didatangi oleh seorang pria yang mungkin usianya tidak berbeda dengan ayahku, namanya pak William, dia mengatakan bersedia menjadi ayah asuhku dan menanggung semua biaya sekolahku sampai kapanpun yang aku inginkan, selain itu dia juga menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatku tinggal.

Seperti yang ayahku bilang, keberuntungan selalu menyertaiku, proses pendidikan berjalan dengan mulus. Aku dua kali mengikuti program akselerasi di sekolah ku, ketika sekolah menengah pertama dan menengah atas. Aku lulus SMA saat usiaku baru menginjak angka enam belas tahun.

Setelah lulus SMA aku melenggang masuk ke universitas negeri tanpa harus tes, karena nilai ujian akhir ku yang sempurna membuatku bisa masuk universitas dengan jalur undangan, aku lulus sarjana kedokteran dalam waktu empat tahun kemudian kulanjutkan mengikuti program profesi selama dua tahun.

Siang itu, aku dan pak William janji bertemu di sebuah kafe dekat dengan kosanku. Rencananya aku ingin mengatakan jika aku akan mendaftar untuk mengikuti ujian kompetensi dokter Indonesia (UKDI), karena sebagai dokter muda aku harus bisa mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) jika ingin bisa praktek di rumah sakit.

Aku masih menunggu kehadiran pak William, tidak biasanya dia terlampau lambat seperti ini, beliau tipe orang yang tepat waktu, selama mengenalnya, tidak pernah dia membiarkan ku menunggu jika sedang janjian untuk bertemu di luar.

Aku sangat bersyukur, melalui kebaikan dan kemurahannya, aku bisa sampai pada posisiku yang sekarang, tidak perlu sulit memikirkan biaya hidup dan pendidikan, segala kebutuhan sekolahku hingga kini ditanggung oleh beliau, itulah mengapa aku sangat menaruh hormat kepadanya.

"Hai Faraz, maaf bapak telat! Kamu sudah lama nunggu?" senyumnya merekah tiap kali bertemu denganku, segera bangkit dari kursi, aku menggapai tangannya untuk kucium dengan takzim, aku menganggapnya sudah seperti ayah kandungku sendiri.

"Belum kok pak, Faraz juga baru sampai. Bapak sehat? Kok Faraz lihat bapak agak pucat, Bapak sakit?" tanyaku khawatir.

"Bapak sehat-sehat saja Raz, jangan di hiraukan. Gimana Koas mu? Kapan jadi resminya selesai?" aku tau Pak William mencoba mengalihkan pertanyaanku.

"Bapak kecapekan kerja ya? Jangan terlalu diforsir pak, bapak sudah nggak muda lagi, banyak-banyak istirahat!"

"Siap pak Dokter, bapak cuma kurang istirahat, banyak yang harus bapak kerjakan kemarin itu."

"Vitamin yang Faraz resepkan masih diminumkan sama bapak?"

"Masih, kamu jangan khawatir! Ini minuman untuk bapak?"

"Iya, jus nanas bagus untuk kolesterol bapak, hehehe." kataku mengajak bercanda.

"Padahal bapak mau kopi, Raz."

"Enggak boleh!" larangku tegas.

Ya begitulah jika kami bertemu, saat bertemu dengannya aku sebisa mungkin mengatur menu yang boleh dan tidak boleh pak William makan dan minum, terkadang aku memintanya untuk mengirimkan foto makanan yang dia makan setiap harinya agar aku bisa melihat apa yang dia makan jika tidak sedang bersamaku. Pak William memiliki riwayat penyakit darah tinggi dan kolesterol, harus mengatur pola makan dengan benar jika ingin hidup sehat hingga memiliki cucu nanti.

"Faraz, ada yang mau bapak omongin sama kamu."

"Ya ngomong aja, Pak. Faraz dengerin nih sambil makan boleh, ya?"

"Makanlah, nak. Masa bapak larang." ucapnya tulus, aku suka senyumnya, caranya memperlakukanku seperti ayah memperlakukan dulu, begitu lembut.

"Habis bapak ngomong, Faraz juga mau ngomong ya, Pak."

"Boleh." balasnya singkat kemudian terdiam cukup lama, membuatku menghentikan ritual makan siangku.

"Bapak mau ngomong apa, kok malah diam aja?"

"Emmm... Faraz, kalau bapak minta kamu melakukan sesuatu, apa kamu mau mengabulkannya?" tanyanya ragu-ragu membuatku bertanya-tanya perihal apa yang sebenarnya ingin dia katakan.

"Bapak mau Faraz melakukan apa memangnya? Kalau Faraz mampu, akan Faraz lakuin. Bapak kan tau, nggak mungkin Faraz menolak permintaan bapak."

"Tapi kali ini permintaannya beda dari permintaan yang sebelumnya, bapak bukan mau minta Faraz lanjut kuliah atau apapun, tapi bapak mau minta Faraz menikah sama anak laki-laki bapak. Faraz mau, kan?" ucapan Pak William kali ini mampu membuatku tersedak air liurku sendiri. Apa katanya tadi? Menikah? Dengan putranya?

Bersambung

avataravatar
Next chapter