1 Three Cups of Coffee

Gelas pertama kita tidak saling kenal. Gelas kedua kita mulai menyapa. Gelas ketiga pemilik hatimu datang.

Cuaca dingin menyerang kota. Aku sengaja datang ke sebuah kedai bernuansa klasik di ujung jalan. Berharap dapat menikmati secangkir kopi yang mampu membuat tubuh ku sedikit menghangat. Aroma kopi yang kental menyeruak masuk dalam penciuman. Duduk di sudut ruang menepi dalam kesendirian.

Gelas pertama secangkir kopi datang bersama kepulan yang menggoda untuk segera dicicipi. Bersamaan dengan seorang gadis yang juga baru saja datang dengan senyuman sehangat kopi yang ku teguk. Ia duduk di sebrang yang sekiranya hanya berjarak dua meja dengan ku. Entah sejak kapan pemandangan senyuman gadis itu lebih menarik perhatian ketimbang sekerumunan orang di luar sana yang berlalu lalang - pemandangan yang sejak tadi ku lihat. Sampai tanpa sadar kopi yang ku nikmati telah habis tak tersisa.

Berpikir sejenak untuk memutuskan apa yang aku lakukan saat ini. Memesan kopi kembali, disertai menyapa gadis cantik disana atau pulang dengan penyesalan menghantui tidur malam. Senja datang menyapa lebih cepat tanpa ku sadari, sehingga aku memilih untuk kembali memesan secangkir kopi. Menurut ku, tak ada yang lebih indah dari sore hari selain menikmati kopi dan berkhayal bisa memilikinya. Khayalan yang membuat ku sedikit tersenyum ketika membayangkan hal tersebut. Bahkan aku masih menyiapkan keberanian untuk mulai menyapanya lebih dulu. Menghela nafas sejenak, menjinjing cangkir kedua yang akan aku habiskan dengannya.

"Permisi Nona, bolehkah saya duduk disini?" sedikit senyuman canggung membuat gadis itu sedikit mengerutkan kening sesaat.

Ah sungguh sangat tidak berkharisma. Sedikit mengutuk diri akibat kalimat yang meluncur dengan bebasnya.

Senyuman itu muncul lagi sampai kutukan ku terhenti, "Silahkan."

Sampai malam menjemput, kami masih asyik bercengkerama dengan hangat. Kopi kedua pun habis ditemani perpisahan. Tak sempat bertukar nama, alamat, kontak, dan hal lainnya terkecuali cerita-cerita manis dengan sedikit bumbu humoris di dalamnya. Bukan tidak sempat, hanya enggan untuk bertanya terkait hal itu. Sudah biasa menurut ku.

Atau mungkin kini aku telah mengetahui alamatnya dengan tanpa sengaja melihat gadis bersurai madu itu keluar dari apartemen di dekat persimpangan jalan. Sebut saja dia Lova. Begitu yang aku dengar ketika penjual bunga menyapanya dengan lembut. Ku rasa mereka akrab satu sama lain.

Pagi ini aku meninggalkan ritual menyeruput kopi seperti biasanya. Bukan tanpa alasan, hanya saja aku ingin menghabiskan kopi ku bersamanya. Berbagi kisah dan berharap tentang kasih. Mencari celah menabur benih yang nantinya akan dipupuk bersama menghasilkan rajutan asmara. Aku tertawa kecil. Hanya harapan laiknya kepulan asap kopi. Semoga kopi ku masih banyak untuk di seduh.

Hampir di penghujung hari ini, secangkir kopi aku habiskan dengannya. Lova. Tak sengaja kami dipertemukan dalam kedai kecil karena terjebak hujan. Kali ini gadis itu yang menyapa tiba-tiba saat atensi kecil ku berpusat dengan buku cinta dalam genggaman. Senyuman hangat yang ia berikan bersamaan dengan secangkir kopi yang ia belikan.

Terasa semakin manis ketika gema tawa nya memenuhi ruangan. Aku baru tahu ternyata senyuman dapat menular layaknya virus. Jangan salah, bukan hanya aku yang tersenyum. Seorang anak kecil pun tersenyum ketika gadis itu tertawa sampai menyemburkan sisa-sisa kopi dalam mulut. Bahkan beberapa pelayan - pria - tak hentinya melirik kan sedikit matanya untuk melihat gadis ini tersenyum dan tertawa. Seperti candu yang memabukkan.

Aku suka pemandangan yang tersaji di depan ku saat ini. Gadis itu menyibakkan poninya ke belakang dengan jari-jari lentik miliknya. Dan saat itu pula aku menyadari ia milik orang lain. Sesaat aku ingin meyakinkan diri ku dengan apa yang aku lihat. Meneguk sedikit kopi yang mulai dingin. Sedingin hatiku yang sebelumnya hangat.

Kenapa aku tidak menyadari hal ini sebelumnya? Ketika aku melihat pagi tadi ia tersenyum manja pada lelaki yang berdiri di depan mobil mewah. Aku sama sekali tidak melihat aura kasih di sekeliling mereka lantaran terlalu asyik memanjakan mata melihat senyuman itu. Aku tersenyum getir. Kupu-kupu yang baru saja menggelitik perut ku berubah menjadi rasa sesak yang teramat. Tetes terakhir kopi ini buatku sadar. Bahwa kebersamaan kita hanya sebatas menghabiskan segelas kopi.

Gadis itu mengecek jam yang bertengger di pergelangan tangan mungilnya. Menyadari jika malam hampir larut. "Aku harus segera pulang. Suami ku menunggu di rumah. Terima kasih untuk hari ini. Sampai jumpa dilain waktu."

Membalas dengan senyum tipis kemudian ia pergi berlalu. Menyisakan aku sendiri disini. Kembali memesan kopi panas yang kali ini tanpa gula. Aku lebih suka kopi yang pahit karena aku tahu itu rasa aslinya daripada kopi yang manis karena ditambah gula, rasa aslinya jadi tertutup. Sama seperti senyumannya yang manis laiknya gula. Aku jadi tak mampu melihat sisi pahit yang ada.

Mencintaimu sama seperti menghirup aroma kopi. Begitu menyengat tapi hanya sesaat. Kopi ku kini tak lagi pekat, seperti halnya kita yang tak lagi saling dekat. Aku tidak tahu dapat bertemu lagi dengannya atau tidak. Aku tidak siap. Kopi ini berangsur-angsur memudar. Tiba-tiba melemah tak berdaya. Seperti itulah kebersamaan kita yang sesaat, perlahan terkikis. Dan aku mulai menyerah. Tak ada yang bisa ku genggam selain secangkir kopi hangat. Saat genggam tanganmu tak lagi ku dapat.

avataravatar