43 My Family to be

Niko dan Sabine kini sudah kembali ke tempat tidur setelah makan malam dan membersihkan diri.

"Ini Mama Om, namanya Yuna. Yuna Alicia Indahwati. Yogya asli. Guru SMP. Cerewet. Nyebelin juga...,"

Niko dan Sabine duduk-duduk di atas tempat tidur. Niko tampaknya sedang memperkenalkan anggota keluarganya ke Sabine lewat foto-foto yang ada di ponselnya. Dan Sabine mengamati foto-foto itu dengan seksama.

"Ih, Om Niko. Masa bilang mamanya nyebelin?,"

"Kadang. Tapi Om tetap sayang...,"

Sabine tersenyum simpul melihat sikap Niko.

Sabine menganggap Niko sedang membacakan dongeng malam itu sebelum tidur. Dongeng mengenai anggota keluarganya.

"Ini Papa Om. Darius Otte,"

Sabine memandang foto Papa Niko dengan raut serius.

"Papa Om campuran Jerman dan Belanda. Tapi udah lama banget tinggal di Bantul. Lahir juga di Bantul," ujar Niko seakan tahu bahwa Sabine hendak bertanya.

Sabine mengangguk-anggukkan kepalanya saat melihat foto Papa Niko yang perawakannya memang bukan berasal dari Indonesia.

"Nah ini kakak Om, Nechemya. Mirip ya sama Om? Tapi badannya lebih berisi,"

Sabine tersenyum. Wajah Nechemya memang sekilas mirip dengan Niko.

"Soalnya jarak usia kita hanya satu tahun. Hm..., kita suka berantem. Hehe..., tapi Om ngalah aja. Makanya Om kabur,"

Sabine tertawa kecil. Dia terus mengamati layar ponsel Niko yang penuh dengan poto-poto keluarga. Sabine senang, tampaknya Niko terlahir dari keluarga yang sangat bahagia.

"Ini Nathan, adik pas di bawah Om. Dia tinggal di tengah kota. Dosen. Pinter banget. S2nya di Singapore. Paling pinter di keluarga. Dan ini adik bungsu Om. Namanya Noah, Dokter. Pinter juga. Tinggal di Sleman...,"

"Trus Om Nechemya? Dia itu kerjanya apa?,"

"Oh..., Om lupa ngasih tau ya? Kontraktor. Pengusaha properti juga,"

Sabine tersenyum melihat anak-anak kecil yang ada di poto-poto selanjutnya.

"Hm..., keponakan Om cowok semua ya?,"

"Iya. Enam-enamnya cowok. Kasihan Mama Om. Suka kewalahan kalo sedang kumpul semua. Soalnya suka berantem. Kecuali kalo Om datang ke sana. Pada diem,"

"Emang Om marahin?,"

"Nggak. Malah manja sama Om...,"

"Oh. Lucu banget kayaknya kalo pada kumpul..., seru ya,"

Niko mengangguk.

Sabine menghela napasnya. Dia tampak sedih.

"Nggak usah sedih. Ntar, Natal ini Om ajak kamu ke sana. Om kenalin sama keluarga Om...,"

Niko tahu, Sabine tidak pernah diikutkan kumpul-kumpul keluarga besar. Selama dirinya mengasuh Sabine selama lebih kurang dua tahun, Mama Carmen memang tidak pernah mengajak Sabine ikut arisan keluarga besar. Begitu juga Mama Lita yang juga jarang sekali menghubunginya. Hingga Sabine yang sedih mengeluh ke dirinya bahwa dirinya seperti tidak diaku. Nikolah yang terus berusaha menenangkan dirinya agar kuat.

"Kira-kira Mama Om mau nerima kedatangan aku nggak ya?," harap Sabine bertanya.

Niko menghela napas berat. Sekilas dia mengingat mamanya menguhubunginya sore tadi. Ada penolakan dari mamanya terhadap diri Sabine.

"Ya..., nanti Om jelasin. Nggak usah khawatir. Om kan sama kamu terus. Nggak ke mana-mana ini,"

Niko lalu merangkul Sabine erat dan mengecup kepala Sabine penuh rasa sayang.

***

Dua hari menjelang keberangkatan ke Melbourne, Niko tidak lagi masuk kerja. Dia diperintah Akhyar untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan diri data Sabine.

"Rencananya kita akan proses setelah pulang dari Melbourne, Niko. Tapi tidak salah kita persiapkan dari sekarang. Biar pengacara saya nanti yang mengurusnya. Biar cepat juga urusannya selesai. Kamu juga tidak repot-repot lagi memperbaharui data-data kamu,"

Niko hanya sanggup mengiyakan. Ini sungguh merepotkan baginya sebenarnya. Tapi apa boleh buat, Akhyar bersikeras.

"Mana, Sabine?,"

Niko menyerahkan ponselnya ke Sabine yang sedang duduk-duduk santai sedang membersihkan kuku-kuku tangannya.

"Daddy pingin ngobrol sama kamu...,"

Dengan malas Sabine meraih ponsel dari tangan Niko.

"Ya, Daddy...,"

"Apa kabar, Sayang?,"

"Good. Daddy gimana?,"

"Baik juga. Semangat dong. Kok Daddy dengar suara kamu nggak semangat gitu?,"

"Habis Daddy repot-repot pake ngasih-ngasih aku seluruh harta Daddy. Maksudnya apa, Daddy?,"

"Yah..., bentar lagi kan status kamu jadi anak Daddy. Berhak dong...,"

"Oh...,"

"Siap ke Melbourne?,"

"Iya...,"

"Siap ketemu Mama kamu?,"

"Iya...,"

"Bagus. Muach..., Daddy sayang kamu, Sabine...,"

Sabine tersenyum menggeleng. Akhyar memang menyayanginya.

"Aku juga sayang Daddy...," balasnya.

Sabine menyerahkan ponsel ke Niko saat menutup panggilan dari Akhyar.

"Aku juga sayang Daddy...," tiru Niko sambil mencibir. Sabine mencubit pinggang suaminya yang usil itu.

"Kayak nggak tau Daddy Akhyar aja, Om...,"

"Iya..., Om tau. Kamu cuma jaga perasaannya. No debat...,"

Gantian Sabine yang mencibir.

"Aku sebenarnya nggak setuju banget masalah harta warisan itu, Om. Nggak enak sama keluarga Daddy. Jadi anak Daddy Akhyar aja sebenarnya sudah cukup buat aku, tanpa harus beri aku apa-apa,"

"Daddy Akhyar itu memang keras... Turuti saja. Kalo suatu saat keluarga mereka menuntut balik. Tinggal kembalikan saja. Beres..., ini kan Daddy masih hidup. Hidup itu kita permudah saja. Bener nggak?,"

Sabine melanjutkan membersihkan kuku-kukunya kembali. Dia memang tidak peduli dengan niat Akhyar yang ingin mewariskan seluruh hartanya kepada dirinya. Baginya, dianggap anak saja sudah lebih dari cukup.

Niko mengusap-ngusap punggung Sabine. Dia sangat tahu watak istrinya itu yang memang tidak tertarik dengan materi. Sabine hanya tertarik dengan perhatian dan kasih sayang. Wajar, selama hidupnya Sabine merasa tidak diinginkan, sehingga dia haus kasih sayang dari orang-orang terdekat.

"Tapi lama-lama kok kamu kalo diliat-liat emang mirip sama Daddy Akhyar...," celetuk Niko tiba-tiba.

"Mulai lagi...,"

Niko ikutan duduk di sisi Sabine.

"Kan kamu turunan Arab, Daddy Akhyar juga,"

"Who cares?,"

Niko menghela napas sambil menatap bebas hamparan kolam renang di hadapannya. Dia teringat kembali kata-kata Uzma, adik Akhyar yang mengatakan bahwa ada Akhyar seperti kehilangan semangat hidup sejak Sabine tidak menemuinya lagi, karena Akhyar merasa sangat bahagia saat berdekatan dengan Sabine. Uzma juga mengatakan bahwa Akhyar memiliki kesalahan yang sangat fatal sehingga dirinya enggan menikah.

Niko mengingat kembali cerita atasannya, Gamal Hassan, yang mengatakan bahwa Akhyar sebelumnya pernah melamar seorang gadis yang kini malah menjadi istri Gamal. Hidup Akhyar memang banyak tanda tanya. Belum lagi hobinya yang mengumpulkan banyak gadis-gadis muda dan gemar memanjakan mereka tanpa menyentuh, membuat banyak pertanyaan-pertanyaan muncul seputar anehnya kehidupan pria kaya raya itu.

Niko merangkul Sabine.

"Kamu memang pantas mendapatkan semuanya, Sabine. Anggap itu adalah kasih sayang yang belum pernah kamu dapatkan selama ini...,"

Sabine mendengus.

"Aku udah dapat kasih sayang dari Om..., aku sudah sangat senang sekarang. Sudah lebih dari cukup malah,"

Niko tersenyum melihat binar wajah Sabine, dibelainya pipi Sabine.

"Ada yang ingin memberimu kasih sayang lagi. Kenapa nolak? Kasih sayang seorang Ayah lagi. Itu lebih indah lagi. Om yakin, akan banyak yang menyayangimu kelak," harap Niko.

***

avataravatar
Next chapter