1 Cahaya Ufuk Timur

Aku menyesal, pernah melihatnya hari itu. Dengan terpaan matahari pagi didepannya. Membiarkan aku terpana bahkan hanya dengan punggungnya.

Indahnya yang buatku lupa akan keharusan menjalani kehidupan. Hingga bunyi patahan ranting kecil yang tak sengaja ku injak karena melangkah mundur tanpa sadar, membuatku kembali ingat. Namun saat mengangkat kembali pandanganku, ia sudah pergi.

Mataku mengerjap sekali lagi, memastikan jalan menurun bukit yang didepan ku ini benar-benar kosong tanpa penghuni. Apa aku berkhayal?

Gila.

Melupakan kejadian tadi, aku melangkahkan kaki kembali menuruni bukit yang sejak tadi menjadi tempat istirahatku. Melewati pagi buta dengan niat melihat matahari terbit di ufuk timur salah satu kegiatan favorit kala waktu sedang sulit saat menjalani rangkaian hidup.

"Kamu sudah pulang nak?" suara ibu menyambut ku di pelataran rumah.

Senyumku terkembang, sembari melangkah hendak memberi salam ditangan ke sang ibu. "Iya. Ini titipannya, Bu."

"Banyak yang naik nggak sekarang harganya?" Tanya ibu sambil mengecek isi kantong kresek yang aku bawa.

"Naik, Bu. Tapi nggak banyak kok, Bu Nur tadi kasih tempenya agak gede lumayan buat tambah lauk." Jawabku mengikuti langkah ibu ke dapur.

"Udah bilang terima kasih?"

"Udahlah, Bu."

Aku memperhatikan saat ibu mulai memasukkan beberapa sayur kekulkas dan menyisihkan yang lain ke dekat wastafel untuk persiapan buat makan siang nanti. Tangannya masih cekatan mengurus dapur, begitu teko sudah bunyi kompor sudah mati dan air panas sudah pindah ke gelas berisi bubuk kopi.

"Bu'e kopinya udah jadi?" Bapak tiba-tiba muncul dari kamar mandi yang ada di dekat dapur.

"Udah, pak. Bapak mau ngopi dimana?" Kataku mewakili ibu yang masih sibuk menyiapkan sarapan.

"Di teras aja. Kamu duluan bapak ambil koran dulu." Jawab Bapak berjalan ke ruang tamu mengambil koran di bawah meja.

Aku meninggalkan dapur dengan kopi bapak ke teras, paham betul ibu nggak mau diganggu waktu sibuk di dapur kecuali sama mbak Hana, Kakak perempuanku.

Pagi dihari Minggu itu berjalan tenang seperti biasa. Aku yang memang tidak punya urusan keluar menikmati satu hari ini untuk istirahat sejenak dari tumpukan soal persiapan ujian. Bapak datang tidak lama dengan koran ditangan dan kacamata yang sudah bertengger di hidungnya.

"Kamu tadi kok lumayan lama? Ga ada apa-apa to di jalan?" Tanya bapak sambil mulai membaca koran setelah duduk dikursi di samping ku.

"Enggak kok." Jawabku sambil memalingkan wajah mengingat kejadian di bukit pagi tadi. Kulihat dari sudut mata bapak menaikkan satu alis, bingung, sebelum kembali melihat ke arah koran.

Selanjutnya hanya hening yang ada diselingi gaduh samar dari dapur yang kutebak ibu sedang mengambil panci yang ditata menumpuk di lemari bagian bawah. Bapak dan aku sama sekali tidak berkomentar, karena tahu ibu baik-baik saja di dapur.

Masih ingat saat aku selalu penasaran dengan kegiatan yang ada di dapur di sampai mengintip dan rewel ketika ibu menolak bantuan yang kuberi.

"Anak laki gausah bantu. Dapurnya sudah sempit buat ibuk sama mbak Hana." Kata ibu waktu itu.

Aku yang masih 6 SD kala itu hanya memasang wajah cemberut, kesal saat mbak Hana yang biasa membelaku hanya terkikik sambil mencuci sayur. Sampai SMA ini pun ibu masih belum terlalu rela mengakui kalau aku bisa bantu-bantu meski hanya sekedar menghaluskan bumbu atau masak air. Tidak rela beberapa langkah masak harus agak kacau saat berbagi dapur dengan badanku yang agak besar dari ibu dan mbak Hana. Biasa, badan anak laki-laki. Ditambah aku masih sering olah raga saat berangkat sekolah, jalan kaki.

Lamunanku buyar waktu ibu menyuruh masuk untuk sarapan. Menoleh ke bapak bermaksud mengajak masuk kedalam yang disambut anggukan oleh bapak, kami masuk dan langsung menuju meja makan. Menikmati sarapan Minggu dengan tenang. Melupakan seseorang yang berdiri memunggungi ku dengan indah sembari menghalau cahaya matahari terbit yang begitu aku tunggu tiap hari Minggu.

***

Jam siang sudah lewat, langit sudah berwarna agak kemerahan saat aku kembali ke rumah setelah mengambil pesanan buah ibu dengan sepeda yang dilengkapi keranjang di kedua sisi bagian belakangnya. Sebelum masuk aku yang melihat bapak sedang menikmati kopi sore meminta bantuannya mengangkat bawaan ke dapur.

Bapak dan aku bergantian mengangkat pisang dan nangka yang sepertinya akan jadi bahan utama kue jualan ibu besok. Iya, ibuku penjual kue, pesanan hajatan biasanya. Setelah habis semua buah bapak meninggalkan aku membereskan sepeda sambil membawa gelas kopi yang sudah habis isinya.

Sepeda tua yang aku gunakan itu punya ibu, warnanya merah sedikit kusam dan kotor sana sini akibat tanah dan lumpur di jalanan yang tidak beraspal atau beepaving.

Tubuhku belum masuk sepenuhnya ke dalam rumah saat ada suara dari teras.

"Permisi." Lembut, pasti perempuan.

Waktu berbalik yang aku ingat saat itu hanya senyumnya yang samar terlihat dan siluet tubuh orang yang tertera cahaya matahari tenggelam. Ah. Dia toh. Tubuhku membeku.

Samar aku mendengarnya memperkenalkan diri, namun pikiranku yang tiba-tiba macet itu sama sekali tidak bisa diajak kompromi. akhirnya aku tetap berdiam dengan pandangan kosong yang membuatnya bingung. Dia pasti tersinggung.

Ibu pasti datang menggantikan aku menyambut tamu tak diundang ini karena saat malam aku di meja makan ibu menasihati sambil sedikit mengomel tentang tata Krama.

"Ada tamu itu ya mbok disambut, apalagi tetangga baru yang ngasih berkat-an. Jangan diam aja terus masuk ke rumah, gimana kalo pas kamu masuk rumah ibu nggak ngecek keluar, malu masuk. Mana tata krama-mu?" Seperti itu kira-kira bunyi nya.

*Oh. Tetangga baru.*

Batinku dalam hati sembari menghabiskan makan malam dengan kepala menunduk mendengar omelan ibu yang samar. Untung ibu bukan tipe yang suka bicara panjang lebar, belum sampai makanan habis obrolannya sudah berganti topik dan mengajak bicara bapak.

Tetangga baru toh.

avataravatar
Next chapter