1 Prolog

Seorang gadis kecil, tengah mencari Onix, hamster kesayangannya yang berwarna jingga. Matanya menelisik ke setiap sudut semak-semak di perkarangan rumahnya. Namun, Onix masih belum ia temukan. Hamster jingga kerap kali bersembunyi di balik semak-semak, kala gadis kecil itu membebaskannya dari kandangannya.

Lama mencari, gadis kecil bermata bak zambrud itu pun kelelahan. Kemudian ia duduk termenung di depan teras rumahnya. Ada perasaan takut, jika hamsternya itu menghilang atau mati. Gadis itu memang sedikit teledor kali ini, pagi tadi setelah memberi Onix makan, ia mengeluarkannya dari kandang dan bermain-main dengan hamster kecil itu.

Di tengah permainan, gadis itu merasakan panggilan alam yang tidak bisa ia tahan, dan meninggalkan begitu saja hamsternya di luar kandang. Setelah kembali dari buang hajat, gadis itu baru teringat dengan hamster kesayangannya.

Satu jam lamanya ia mencari-cari Onix. Sebentar lagi, ibunya pulang, dan gadis kecil itu tidak ingin terkena marah, karena telah menghilangkan hamster pemberian ibunya.

Memikirkan hal ini, membuat gadis berusia lima tahun itu menangis tersedu. Seraya menutup wajahnya dengan lengan kanannya.

"Hei, kamu kenapa?" tanya seorang anak laki-laki yang lewat di depan rumahnya yang tidak memiliki pagar.

Gadis itu seketika menurunkan lengannya demi bisa melihat siapa yang bertanya kepadanya.

"Aku–kehilangan–hamsterku ...," jawabnya terbata-bata dan hendak menangis kembali.

Anak laki-laki itu termenung beberapa saat, karena melihat warna mata sang gadis yang berbeda dari orang Indonesia pada umumnya. Berwarna hijau. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang serupa sawo matang.

"Hamster? Apakah dia berwarna jingga?" tanya anak laki-laki itu, yang usianya terpaut dua tahun dengan sang gadis.

Gadis kecil itu mengangguk. "Apa kau melihatnya?"

Anak lelaki itu lantas memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku kemejanya. Telapak tangannya terlihat menggenggam sesuatu yang berbulu panjang dan berwarna jingga. Ketika ia membuka telapak tangannya. Gadis itu lantas berubah wajahnya menjadi ceria.

Hamster jingga itu akhirnya berpindah tangan. Gadis kecil dengan lesung pipit itu menerima Onix miliknya dengan perasaan bahagia. Mengecup dan mengelusnya dengan penuh kasih sayang.

"Di mana kau menemukannya?" tanya gadis itu dengan nada riang. Jarinya yang mungil masih mengelus-elus bulu hamster.

"Tadi aku menemukannya di sana, saat sedang bermain sepeda. Hampir saja aku menabraknya." Anak laki-laki itu menunjuk trotoar yang ada di depan rumah sang gadis, yang tidak berpagar kecuali tanaman serupa semak-semak.

"Oh, syukurlah," ucap sang gadis. "Terima kasih, ya."

"Sama-sama. Siapa namamu? Aku Ghifar." Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya.

Gadis kecil itu menyambut uluran tangan Ghifar. "Aku Ara." Senyum terkembang di wajahnya, sekali lagi membentuk lengsung pipit di kanan kiri pipinya.

"Baik Ara, senang berkenalan denganmu. Lain kali jaga baik-baik hamstermu. Bahaya sekali jika ia keluar dari rumahmu." Gadis bernama Ara itu pun mengangguk.

Dan sejak hari itu, mereka berteman, hingga beberapa pekan kemudian.

"Kak Ghifar," sapa Ara dari teras rumahnya, ketika melihat anak lelaki dengan sepedanya lewat di depan rumahnya.

"Halo, Ara," jawab Ghifar. Anak itu lantas menaruh sepedanya di paving block rumah Ara, seperti biasanya. Berjalan menghampiri Ara yang tengah duduk di teras.

"Ada apa? wajahmu, kok, terlihat murung? Apa Onix hilang lagi?" tanyanya terdengar simpati.

Ghifar masih ingat saat berkenalan dahulu dengan Ara, karena berhasil menyelamatkan Onix, si hamster jingga.

Ara menggeleng.

"Lalu?" Ghifar menjadi penasaran dengan teman kecilnya itu.

"Besok aku dan keluarga baruku akan pindah," terang Ara. Pandangan matanya tertuju pada kedua kakinya yang telanjang.

"Keluarga baru? Maksudnya bagaimana? Ibu dan ayahmu memang ke mana?"

Selama sebulan pertemanan mereka, Ghifar memang tidak tahu begitu banyak tentang kedua orang tua Ara. Kecuali mereka berdua sama-sama orang Indonesia dan memiliki warna mata yang sama hitam, seperti kebanyakan warna mata orang Indonesia pada umumnya. Dan wajah mereka memang tidak terlihat mirip dengan Ara.

Ghifar tidak pernah bertanya perihal mata hijau milik Ara yang berbeda dari kedua orang tuanya. Karena menilai Ara masih kecil dan mungkin jika ia bertanya pun, gadis usia lima tahun itu tidak akan bisa menjawabnya dengan baik.

"Mereka ... bukan orang tuaku," jawab Ara lirih.

Ghifar sudah hampir menduga hal ini sejak awal. Wajah yang berbeda, warna mata yang berbeda. Bisa jadi, Ara bukan anak orang tuanya saat ini. Hanya saja, lagi-lagi, Ghifar tidak pernah bertanya soal itu kepada Ara.

Ghifar pernah bertanya kepada kedua orang tuanya, "Apakah mungkin seorang anak bisa berbeda dari kedua orang tuanya? baik wajah maupun warna matanya."

Baik ayah dan ibunya hanya menjawab, "Mungkin saja, jika anak itu memiliki kelainan genetik."

Hingga hari ini, Ghifar masih belum paham apa itu genetik? Karena di sekolahnya belum pernah diajarkan.

"Atau bisa saja, anak itu, anak adopsi. Bukan anak kandung orang tuanya." Ayahnya memberikan jawaban yang lain.

Seketika saja, Ghifar jadi merasa iba terhadap gadis di hadapannya ini. Apakah Ara anak yatim piatu?

"Jadi, orang tuamu yang asli di mana?" Ghifar tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahu di kepalanya.

Ara kembali menggeleng. "Aku juga tidak tahu."

"Ayah dan ibuku dua hari lalu bertengkar. Dan aku tidak tahu apa penyebabnya."

"Tiba-tiba saja ayah berteriak dan mengatakan kalau aku bukan anak kandung mereka."

"Mereka akan berpisah." Ara kemudian meneteskan air matanya.

Sambil terisak, ia melanjutkan ceritanya. "Ibu tidak mau merawatku, jika berpisah dengan ayah. Karena dahulu, kata ibu, ayah yang bersikeras mengambilku dari panti asuhan."

Ghifar, dengan spontan mengulurkan kedua tangannya dan menarik Ara ke dalam pelukannya.

"Jangan bersedih. Siapa tahu, orang tua barumu nanti lebih menyayangimu." Ghifar mencoba menghibur.

"Bagaimana jika tidak?" Ara menghentikan tangisannya dan melepaskan pelukan Ghifar.

"Kamu kabur saja kemari. Aku akan menyelamatkanmu. Dan meminta orang tuaku untuk merawatmu." Ghifar menjawab dengan spontan apa yang terlintas di kepalanya.

"Bagaimana aku bisa kabur? Aku masih kecil. Dan aku tidak tahu orang tua baruku akan membawaku tinggal di mana."

Benar juga. Ghifar baru menyadari. Anak usia lima tahun, kabur dari rumah, yang entah ada di mana, bisa sangat berbahaya. Bisa-bisa menjadi korban penculikan.

"Kamu tenang saja, Ara. Aku akan pulang dan mengatakan pada ayah dan ibuku, untuk mengambilmu. Menjadikanmu adikku." Janji Ghifar. Lagi-lagi ide spontan yang terlintas di kepala Ghifar ia ucapkan begitu saja.

Ghifar kemudian mengayuh sepedanya menuju rumahnya. Ia adalah anak laki-laki penurut dan baik, tidak pernah meminta apa pun yang memberatkan kedua orang tuanya.

Permintaannya kali ini adalah yang pertama. Semoga saja ayah dan ibunya mau mengangkat seorang adik untuknya. Ghifar berdoa sepanjang perjalanan menuju rumahnya, yang letaknya sekitar satu kilo meter dari rumah Ara.

Tiba di rumah Ghifar, kedua orang tuanya tengah beristirahat di depan televisi. Tanpa basa-basi, ia pun mengutarakan keinginannya memiliki seorang adik yang punya mata berwarna hijau.

Ayah dan ibu Ghifar tentu saja terkejut dan tidak langsung menerima permintaan Ghifar. Karena untuk mengambil seorang anak angkat harus melalui beberapa prosedur, yang Ghifar tidak paham apakah itu.

Keesokan harinya, di hari Ahad, Ghifar pagi-pagi berpamitan kepada orang tuanya untuk bermain sepeda. Yang mereka tidak tahu, Ghifar kembali ke rumah Ara. Namun, sayangnya, rumah Ara kini sudah kosong.

Menurut tetangganya, keluarga sebelah rumahnya baru saja pergi sekitar sepuluh menit yang lalu bersama mobil yang mengangkut barang.

Seketika Ghifar merasa kecewa, karena tidak berhasil menemui Ara untuk terakhir kalinya. Dan ia tidak bisa memenuhi janjinya untuk menjadikan Ara adik angkatnya.

avataravatar
Next chapter