webnovel

Video Apa yang Mereka Tonton?

Ramdani menggaruk kepalanya sendiri. Terlihat seperti kera yang kebingungan.

Ups, itu hanya lelucon ya. Dia tidak benar-benar mirip kera, hihi.

“Hayo, nonton apa? Tuh ditanya sama bu Meta,” celetuk Fery menimpali.

Dia terdengar sangat senang melihat temannya itu kebingungan sekarang.

“Oke,” kata Ramdani, “kita udah nobar lambe-lambean, Bu. Hihihi. Tuh si Tasya lambenya.” Tunjuk Ramdani.

Secara naluriah, saya pun langsung menengok pada Tasya.

Dia menyamakan Tasya dengan akun lambe yang suka up to date dengan berita gossip.

Tasya terlihat geram pada si Ramdani. Tangan kanannya mengepal seperti ingin melayangkan pukulan.

Saya menohok padanya. Menandakan kalau saya bertanya kebenaran ucapan si Ramdani barusan.

Tapi Tasya hanya menampakkan deretan gigi putihnya saja. Dia terlihat kikuk untuk menjawab.

Terlihat semua murid pun juga menjadi kaku kemudian.

Terkecuali si Ramdani. Dia sepertinya sudah nampak biasa.

Karena Tasya juga tak kunjung menjawab … Ramdani pun kembali berucap, “itu, Bu. Kan si Tasya tetangganya si Indah. Kemarin katanya istri pak Hasyim datang ke rumah Indah. Ada percekcokkan gituh. Para tetangga yang lain juga pada ngerumunin. Si Tasya juga ikut-ikutan lihat, terus sama si Indah divideo.”

Saya pun merasa terkejut. Dan tentunya saya paham.

“Tasya,” lirih saya. Tidak menyangka.

Tapi … biarpun saya tidak menyangka atas kelakuannya Tasya yang masih sempat-sempatnya memvideo kejadian itu.

Saya juga penasaran.

Wajar kan kalau saya penasaran? Saya juga manusia, hehe.

“Mana sini ibu lihat!” Saya menjulurkan tangan pada Tasya sambil berjalan mendekatinya.

“Aduh si Ibu,” celetuk Ade.

Saya pun hanya tersenyum dan beralasan mengenai hal ini.

“Ibu juga harus tahu nasib murid ibu sendiri, De,” ucap saya pada Ade.

Ade dan yang lainnya pun cengar-cengir.

Tanpa perlawanan, Tasya langsung memberikannya. Ada ekspresi takut tapi juga ikhlas.

Saya pun mengklik layarnya untuk memulai dan ternyata … mengerikan.

Kasihan Indah. Ini sih sudah termasuk edisi mempermalukan.

“Terus itu gimana, Sya?” tanya saya sambil mengembalikan hanpdhone Tasya.

Tasya mengangkat bahunya, seraya berkata, “tidak tahu, Bu. Ada yang misahin soalnya.”

Saya pun paham.

“Oh ya udah, dan sebaiknya videonya itu dihapus aja.” Saya tersenyum.

Tidak ingin terkesan memerintah atau memarahi Tasya.

Setidaknya dengan bilang hapus, Tasya pasti menurut.

Dia pun mengangguk dan terlihat langsung menghapus video itu.

“Udah dihapus, Ibu. Maaf,” seru Tasya seperti tak enak hati.

Saya tersenyum ramah dan berkata, “tidak apa. Mmm, sekarang ayo buka buku kalian, siapkan mental belajarnya, pupuk rasa semangatnya ya.”

“Siap, Bu!” Ramdani heboh.

Disusul yang lain. “Merdeka!”

“Semangat!”

“Uhuy!”

Itulah kata-kata yang sering keluar dari mulut mereka. Penyemangat setia di kala seorang guru sedang merasa tidak baik-baik saja.

Ya … sebenarnya saya sedang merasa tidak enak hati sebab dalam video, saya melihat mas Rifki.

Mereka juga tahu. Tapi mungkin tidak ada pikiran negatif pada suami saya.

Apa mas Rifki datang untuk melerai? Saya lihat mas Rifki dan pak Hasyim datang bersamaan.

***

Setelah saya keluar, dan akan menuju ke ruang guru. Langkah saya diberhentikan oleh seseorang.

“Ibu,” panggilnya.

Saat saya menoleh, ternyata dia adalah Mayang—teman sebangku Indah.

Ada perasaan curiga. Kenapa Indah menghentikan langkah saya? Dia terlihat seperti ingin membicarakan suatu hal.

“Ya, Indah. Ada apa?” tanya saya padanya. Saya melihat wajahnya yang kaku.

Mayang terlihat meremas tangannya sendiri. Kenapa dia begitu sekaku ini pada saya?

Tidak biasanya.

Sebab Mayang tak kunjung menjawab, saya pun kembali bertanya, “ada apa, hem?”

Mayang pun akhirnya buka suara. Terlihat bibirnya begitu gemetar.

“Bu, apa Indah ada menghubungi Ibu?” tanya Mayang.

Sungguh pertanyaan yang aneh menurutku. Kenapa Mayang bertanya soal itu? Ada apa?

Saya mengangguk sebelum menjawab.

“Ya, Indah curhat pada ibu. Memangnya kenapa, Mayang? Ada apa?”

Mayang tersenyum. Kikuk.

“Tidak, Bu. Mayang sudah kira akan begitu. Indah pasti curhat ke ibu.” Mayang menyeringai. Saya merasa aneh dengan sikapnya.

“Lalu?” tanya saya lagi. Habisnya jadi bingung sendiri.

Mayang menggeleng. “Syukur aja, Bu. Terima kasih karena udah selalu baik pada murid-murid Ibu.”

Saya pun nyengir. Semakin bingung. Kenapa jadi mellow begini?

“Selama ibu enggak sibuk, ibu bisa luangin waktu untuk mendengarkan curhatan kalian.”

“Iya, Bu. Terima kasih. Kalau begitu, Mayang kembali ke kelas lagi ya, Bu. Mayang cuman mau ngomong itu doang kok, hehe.”

Kedua alis saya sepertinya menggulung. Saya tidak mengerti dengan maksud ucapan Mayang barusan. Sepertinya itu adalah sinyal. Bukan sekadar ucapan terima kasih saja.

Mayang terlihat sudah masuk kembali ke kelas. Saya masih termenung. Menduga-duga kemungkinan apa yang tengah terjadi antara Mayang dan Indah.

Atau apa yang tengah terjadi dan tidak saya ketahui?

Ah ya sudahlah. Setidaknya ucapan Mayang barusan membuat saya terasa menjadi orang yang sudah berguna.

Para pemuda terkadang hanya butuh tempat untuk mencurahkan cerita mereka. Kita sebagai orang dewasa sudah sepatutnya jadi wadah penampung cerita itu.

Saya pun kembali melangkah. Sepanjang langkah itu, saya jadi teringat mas Rifki lagi.

Bukannya saya tidak suka jika mas Rifki ikut membantu. Tapi ini sungguh di luar biasanya.

Sejak kapan mas Rifki suka terlibat dengan hal serumit itu?

Meskipun saya tidak tahu pasti kehadiran mas Rifki di sana sedang apa dan untuk apa. Mas Rifki juga tidak menceritakannya pada saya.

Tidak ada obrolan sama sekali dalam membahas kasus pak Hasyim, dan bahkan mas Rifki terkesan menutupi.

Pikiran saya pun jadinya su’udzon.

Tapi segera saya tepis.

Meta, kamu enggak boleh ya berpikir yang tidak-tidak pada mas Rifki.

Daripada su’udzon ke suami sendiri, mendingan nanti tanya langsung.

Saya menasihati diri saya sendiri. Itu selalu ampuh untuk mengusir pikiran negatif yang selalu hadir.

Dan saya pun jadinya juga sering menyalahkan kak Nada. Sebab karena dialah saya jadi sangat sering berpikiran buruk terhadap suami saya sendiri.

Astagfirullah ….

Segera saya usap wajah saya seraya meminta ampun. Keseringan su’udzon saya pun merasa jadi istri yang sangat buruk. Yang tidak percaya pada suaminya sendiri.

Namun, sesudah saya mengusap wajah saya sendiri. Saya terkejut melihat bu Astri yang sudah mematung di hadapan saya.

“SAJDVAYGYRAGECFAARSAOOE.” Kekagetan saya pun jadinya ngawur sebab tiba-tiba jadi latah begini.

Saya mengusap dada sendiri. Untung saja jantung masih aman meskipun detaknya masih saja cepat karena perasaan syok masih mendominasi.

Saya dan bu Astri pun berjaan berdampingan.

“Ibu mengagetkan saja,” ujar saya jujur. Tapi tidak berani saya marah padanya.

Lagi pula, aku yang melamun. Jadinya sampai tak sadar kalau bu Astri tengah memandangiku sambil cengengesan.

Dia tampaknya sedang senang.

Atau?

Tuh, kan. Sudah kuduga. Bu Astri kembali nyerocos.