webnovel

Lagi Jatuh Cinta, Ya?

Setelah Mas Rifki berlalu dan meninggalkan deru motornya, saya pun mengajak Imah untuk masuk ke dalam.

Imah masih diam tak terkata, mungkin di pikirannya dia takut kalau ayahnya itu berbohong padanya besok atau mungkin juga Imah memang ingin ikut dan melihat bagaimana di gor jika malam-malam seperti ini.

Selepas kami duduk di ruang keluarga, segera saya berniat tanyai dia soal apa saja yang bisa membangkitkan kembali semangat Imah. Tapi, saat mulut saya terbuka … Faiz datang dari arah dapur membawa semangkuk Mie kemasan yang aromanya sangat tercium lezat. Saya tebak, dia juga menambahkan bakso yang sudah saya stok di dapur.

“Kak Faiz, mau!” rengek Imah sambil menghampirinya yang sekarang mulai duduk di karpet di depan saya dan menghadap televisi.

Saat Imah ingin mengambil sendoknya, Faiz protes, “Imah, ambil sendok lagi di dapur kalau minta. Kebiasaan deh. Ambil sana!” tegur Faiz, saya hanya menggeleng sambil tersenyum. Faiz memang kakak yang baik, tapi kadang saya lihat dia berusaha mengajarkan Imah agar adik satu-satunya itu kalau apa-apa tidak seenaknya.

Imah cemberut, tapi dia langsung pergi ke dapur dengan lari terbirit-birit untuk mengambil sendok.

Saya pun duduk di karpet sambil menatap Faiz dan semangkuk mie miliknya, pas sekali saat Faiz ingin menyuapi mulutnya sendiri, tapi terhenti karena tatapan Mamanya menyorot padanya, yang mungkin sudah dia tahu maksudnya apa.

Faiz kemudian menyuapi saya, dan langsung saya lahap.

“Mmmm, Mama juga kebiasaan. Setiap kali Faiz masak apa aja sama kayak si Imah, pada minta.” Faiz kemudian menyuapi dirinya sendiri setelah menyuapi saya.

“Kan masakkan Faiz selalu enak. Faiz cocok deh jadi Chef, Mama dukung kok,” puji saya padanya dengan mulut penuh, seiringan Imah datang dan langsung menyerbu semangkuk mie itu yang kini dikerumun oleh tiga orang; saya, Faiz dan Imah.

“Iya, kak Faiz jadi chef aja,” timpal Imah sambil mengunyah.

Mata faiz menyorot tampak kesal. “Kamu jangan belepotan gituh dong Imah, jijik banget deh. Mending satu mangkuk sama kakak sendiri, kalau sama orang lain?” Faiz kembali menasehati adiknya.

Saya pun hanya tertawa melihat mereka, dan saat Faiz ingin menyuapi Mamanya lagi saya tawar dia untuk kasih bakso dihuapan kedua itu. “Mana baksonya, Iz?” Kutunjuk potongan bakso.

“Hehe, lupa Ma.” Faiz terlihat malu, mungkin dia takut kalau saya menyangka Faiz pelit pada Mamanya sendiri. “Aaa!” ucap Faiz seperti memberi makan saya layaknya anak kecil.

“Imah mau disuapin juga dong! Masa Mama doang, kak Faiz kok curang. Pilih kasih! Giliran sama Imah aja, kerjaannya bentak-bentak terus.” Imah menggerutu, saya dan Faiz pun saling tatap karenanya dan ditambahi tawa kecil karena sikap Imah memang menggelitik.

“Iya, nih giliran kamu.” Faiz menyuapi adiknya. “Aneh deh, dua orang perempuan di rumah ini kok pada manja banget. Kecuali Omah aja yang enggak,” ucap Faiz hanya bersifat guyonan semata, terlihat dari kerutan mata yang meledek tapi bibirnya yang menahan tawa.

Omah yang dimaksud Faiz adalah ibu saya, neneknya dia. Dua hari ini ibu menginap di rumah kak Nada—kakak saya. Selang seling. Tapi itu juga terserah ibu mau nginep di mana. Kalau bosan, dia pasti pergi ke rumah kak Nada dan jarang sekali menginap di rumah Abang saya—Adnan.

Mungkin kakak ipar saya Susan tidak bisa membuat ibu nyaman tinggal bersamanya di sana. Begitulah, kadang menantu dan mertua suka ada gesekkan yang tidak jelas berawal dari mananya.

“Kak Faiz, kata ayah besok kita akan ke pameran di dekat tukang ojek depan itu loh!.” Imah menceritakannya pada Faiz. Tapi Faiz ya … adalah Faiz. Mau gembira atau tidak, wajahnya datar-datar saja. Dia memang jarang berekspresi, tapi bukan berarti belum pernah. Sosok kalem nan dewasanya begitu melekat, tapi dia kalau sama saya justru lebih manja ketimbang Imah. Imah lebih suka manja pada Mas Rifki, tapi menurut saya baguslah –jadi di keluarga tampak seimbang.

“Iya, bagus,” komentar Faiz sambil memindah-mindahkan saluran televisi. Coba tebak apa yang dia cari?

“Kamu lagi ngefans sama film itu, Iz?” tanya saya sambil menggodanya dengan tatapan penuh curiga dan senyum yang mengembang jahat.

Faiz tidak terkena hasutan, tapi dia juga terlihat malu karena sindiran saya.

Film yang lagi Booming, menceritakan kisah remaja SMA yang si lelakinya adalah sosok yang puitis di sekolah. Setelah lulus SMA si pacarnya—perempuan anak orang kaya itu pergi ke luar negeri untuk melanjutkan study-nya dan pulang setelah penantian panjang si lelaki malah si perempuannya dikabarkan akan menikah dengan lelaki yang dia kenal di luar negeri. Episode kelanjutan selanjutnya, saya belum tahu karena ceritanya belum kelar. Masih On-Going.

Akankah pernikahannya gagal? Atau pernikahannya tetap berlangsung dan si lelaki puitis itu yang akan menerima takdirnya saja? Rela? Mengakui ketidakmampuannya menyaingi lelaki kaya, tampan dan sekarang tengah mengisi hati si gadis yang masih berstatus parcanya itu?

Sayangnya saya bukan orang yang bisa menebak akhir cerita sebuah film, karena terkadang si penulis punya pemikiran yang berbeda dari penonton jika dia memang sengaja membuat suprize di akhir cerita yang membuat cerita itu tidak datar-datar saja. Seperti hidup, kadang Alloh sengaja memberikan guncangan, dan justru di situlah moment yang akan selalu teringat dalam kenangan.

Melihat gelagat anak kelas dua SMA ini, saya pun tentunya tahu apa yang sedang bersemayam di hati dan pikiran Faiz. Dia sedang jatuh cinta berjuta rasanya, pernah saat itu saya melihat Faiz menonon film ini sambil senyum-senyum sendiri dan pikirannya nampak melayang entah ke mana.

“Iz!” panggil saya yang sudah duduk kembali di sofa.

Faiz menoleh dan mendongakkan wajahnya. “Apa, Ma? Mau Faiz ambilin air?” tawar Faiz, dia memang anak yang pengertian dan memang biasanya saya selalu menyuruh Faiz untuk ambilin minum kalau badan lagi terasa ringsek dan males ke dapur.

Saya menggeleng, Imah tengah sibuk menghabiskan Mie milik Faiz yang tinggal sedikit lagi.

“Kamu lagi jatuh cinta, ya?” tanya saya menggodanya.

Faiz langsung salah tingkah, menahan senyum, tubuhnya tak jelas gelisah dengan apa, dan menggaruk kepala belakangnya yang saya rasa itu tidaklah gatal.

Intan pun melongo. “Kak Faiz udah punya pacar?” tanya Imah penasaran, “jangan-jangan yang di –“ Imah tidak melanjutkan ucapannya karena Faiz memelototi Imah.

“Yang di apa, Imah?” tanya saya pada Imah yang sekarang menutup mulutnya sendiri sambil cengar cengir.

Faiz langsung menolah pada saya dengan wajah tampak panik. “Enggak Ma, Imah ngawur,” elaknya.

“Ngawur … atau kamu enggak mau jujur ke Mama?” Saya membalikkan ucapan ngeles Faiz.

Faiz terdiam, saya tahu dia tidak akan bisa bohong pada saya. Imah kemudian pergi ke dapur setelah dicubit pelan oleh kakaknya—Faiz. Masih memperhatikan Faiz dan tak kunjung mendapatkan jawaban, saya pun mulai kembali berucap.

“Iz, mama enggak bakal marah sama kamu kok kalau Faiz pacaran. Asalkan jangan kelewat batas, kalau mau dikenalin sama mama juga boleh.” Saya pun tersenyum, mata Faiz tampak terharu dan membulat setelah mendengarnya. Dia juga terlihat ingin bicara, tapi saya sela duluan. “Tapi,” ucap saya penuh penekanan dan Faiz pun terlihat menyimak dengan serius, “kalau Faiz enggak bisa ngejaga kehormatan perempuan lebih baik jangan pacaran daripada nanti menanggung dosa.” Wajah Faiz langsung muram dan tersenyum kecil.

“Faiz enggak mungkin ngerusak perempuan kok Ma, faiz mana berani,” ucapnya.

“Nafsu itu besar Iz. Iman manusia itu naik turun, apalagi saat galau dan sedang di titik lemah pastinya mudah tersulut. Sekarang kamu bilang gituh karena pikiranmu lagi logis, tapi kalau sedang tidak logis gimana? Kamu bisa dikendalikan sama nafsu kamu sendiri.”

Faiz seperti hanyut dengan nasihat ibunya, sampai Imah datang sambil bernyanyi-nyanyi. Faiz menatapnya menyolot, seperti ingin melontarkan kata-kata larangan agar Imah memperkecil suara nyanyian cemprengnya itu. Tapi, Faiz tampaknya lebih ingin menyimak terus ucapan ibunya.

“Iya Ma, tapi … kalau Faiz jatuh cinta terus Faiz harus gimana? Perempuan itu katanya juga suka ke Faiz.” Wajah Faiz terlihat murung. Dia mungkin ingin berpacaran, tapi setelah mendapatkan wejangan hatinya pun goyah. Saya juga tahu kalau Faiz takut menyia-nyiakan kesempatan.