webnovel

RUNAWAY BRIDE (JAPAN VERSION)

Ruri Fujita adalah seorang wanita yang membangun karir ceremerlangnya sebagai designer lampu terkenal di Jepang mau pun di luar negeri. Hidupnya hampir sempurna dengan wajah cantik dan penghasilan besar setiap bulannya, memiliki sebuah toko lampu di Shibuya yang selalu diserbu oleh pelanggan. Tetapi dia dikenal pula sebagai RUNAWAY BRIDE versi Asia. Ruri terkenal dengan sebutan itu sejak dia selalu kabur dari altar pernikahannya di detik-detik sumpah setia dengan mempelai pria. Tidak ada yang mengetahui alasan tepatnya, mengapa wanita secantik dan sesukses Ruri selalu lari dari acara pernikahannya. Di balik kehidupannya yang menjadi dambaan setiap wanita mana pun, Ruri menyimpan sebuah trauma masa lalu yang tak bisa dilupakannya. Ruri adalah korban dari rumah tangga orang tuanya yang berantakan. Ayahnya yang kasar dan selalu memukuli Ibunya menjadi salah satu dari sekian banyak trauma yang dialaminya. Saat berusia 7 tahun, pembunuhan atas diri Ibunya, Akemi Kondo, 19 tahun silam oleh sebuah kelompok mafia terkenal Jepang, serta kaburnya Ayahnya dari kejadian tersebut merupakan daftar nomor satu penyebab traumanya. Ruri adalah saksi hidup pembunuhan Ibunya, menjadi target pembunuhan selanjutnya dan mengalami kebisuan selama 2 tahun di masa kanak-kanaknya. Ruri diasuh oleh detektif Wanatabe yang merupakan detektif kepolisian yang menyelidiki kasus Ibunya, dilimpahi kasih sayang bersama Isterinya serta menjadi teman sepermainan Daiki Watanabe, anak sang detektif. Bersama rekannya, detektif Yoshio Katoo, detektif Watanabe bermaksud menyelidiki kematian Ibu kandung Ruri. Namun sebuah alasan yang tidak jelas, kasus tersebut ditutup oleh pihak Kepolisian.

dindinthabita · Urban
Not enough ratings
74 Chs

Bab 34

"Onee-san aku harus mengejarnya..."

"Aku bersungguh-sungguh...," potong Sayuri sambil tangannya maju menekan ujung pisau pada perut Mamoru yang keras. "Aku bersungguh-sungguh, Hozy Mori!"

Mamoru tidak sanggup melihat airmata Sayuri yang terus mengalir deras. Airmata itu sangat kontras dengan tatapan kecewa Sayuri terhadapnya. Dada Mamoru terasa sakit luar biasa dan dengan mengepalkan tinjunya dia berteriak keras.

"Aaaarrghh!!!! Brengsek!!!" Tinjunya bergerak ke arah kusen jendela di belakang Sayuri. Suara pukulan pada kusen itu terdengar cukup keras di telinga Sayuri membuat dia memejamkan matanya. Tanpa sadar tangannya yang memegang pisau untuk mengancam Mamoru terlepas berdentang di lantai marmer di bawah kakinya.

Dia melihat bagaimana Mamoru melepaskan tinjunya dari kusen jendela dan tetasan darah pada buku jari pria itu menghenyak perasaan Sayuri. Secara reflek Sayuri meraih kepalan itu dan berseru cemas.

"Hozy!! Tangan mu..."

Tapi Mamoru menjauh. Pria itu menatap Sayuri dengan tatapan terluka dan putus asa. "Aku. Bukan. Hozy. Mori." Mamoru membalikkan tubuhnya ke luar dari ruangan itu. Meninggalkan Sayuri yang termangu.

Sebuah sosok berambut hitam bersembunyi di balik pilar menyelinap pergi setelah melihat kejadian di dalam ruang baca. Dia merekam semua perkataan dan tingkah laku antara Mamoru dan Sayuri.

****

Ruri segera berlari ketika mendengar suara bel pada pintunya. Dia membuka pintu dan berseru keras ketika mendapati Hideo muncul bersama Daiki yang dirangkul dalam keadaan lengan terluka parah.

"Daiki!!!" Ruri meraih tubuh Daiki dan membantu Hideo membawa pria itu untuk duduk di sofa ruang tengahnya. Tergopoh-gopoh Tanaka segera menutup pintu.

Ruri menyentuh lengan berdarah karena tusukan pisau yang dibalut potongan kain kemeja itu dengan terisak. Dia menoleh Hideo. "Apa yang terjadi?"

Hideo mengusap peluhnya dan menatap Daiki yang terlihat pucat. Ruri tampak membuka lilitan potongan kain itu saat Hideo menjawab pelan.

"Dia tertusuk oleh tangan kanan mafia itu. Daiki tidak mau dibawa ke rumah sakit karena mereka sedang mengejar kami dan akan memeriksa semua klinik dan rumah sakit yang ada di Tokyo."

Ketika Hideo menyebutkan tangan kanan mafia, Ruri segera ingat akan Mamoru. Berdasarkan data profil organisasi, Mamoru adalah tangan kanan Junichi Kimura yang memiliki keahlian hebat dalam bela diri dan penggunaan senjata tajam.

Ruri melihat luka tusukan yang cukup dalam dengan sabetan yang panjang antara lengan atas hingga mendekati siku. Ruri terdiam sejenak melihat luka itu.

"Aku akan memanggil dokter.."

"Jangan...aku sendiri yang akan mengobatinya." Ruri membuka kemeja putih yang sudah dipenuhi bercak darah. Dia menoleh Hideo dengan sepasang matanya yang berlinang airmata. "Aku akan mengobatinya. Pulanglah."

Jika sudah mendengar nada suara Ruri yang seperti itu, Hideo tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia menghela napas dan berkata menyerah. "Baiklah. Apakah kau menyimpan peralatan untuk mengobati luka seperti ini?" Hideo masih mencoba membujuk Ruri agar membawa Daiki ke dokter.

Namun Ruri tersenyum di sela rasa sedihnya. "Kotak obatku sudah lengkap. Kau pulang saja, Hideo-san.."

"Bukankah dulu kau bilang bahwa nyawaku banyak, Senpai." Tiba-tiba Daiki bersuara membuat Hideo berseru girang.

"Kau sudah sadar, Daiki?" Hideo dan Tanaka mendekati Daiki.

"Dari tadi aku sadar. Aku tidak sedang pingsan tapi sedang memejamkan mata. Biarkan Ruri mengurusku." Daiki berusaha tersenyum meskipun yang terlihat dia justru sedang meringis.

Hideo tersenyum dan mengacak rambut Daiki. "Baiklah, aku pulang dulu." Dia memandang Tanaka dan mengajak pemuda itu berlalu.

Selepas Hideo dan Tanaka pergi dari apartemennya, Ruri bergerak menuju kamar mandinya dan mengambil kotak obat serta perban dan gunting. Diletakkannya semua peralatan itu di atas meja di depan Daiki yang menatapnya dengan lekat. Dari tadi Ruri mempersiapkan barang-barang itu sama sekali tidak bersuara.

Ketika Ruri membasahi lukanya dengan alkohol, Daiki sedapat mungkin menahan jerit kesakitannya. Dia diam saja saat dengan telatennya Ruri mulai menghentikan pendarahannya dengan bubuk obat penghenti darah dan mengoleskan salep di sepanjang lukanya. Pengalaman pernah bertugas di rumah sakit sebagai petugas part time semasa kuliah membuat Ruri bisa menjahit luka. Daiki juga tidak mengeluarkan protesnya ketika dengan ketat Ruri membalut lukanya dengan perban dan diakhiri dengan menggunting ujungnya untuk di simpul agar sempurna.

"Ruri..." Daiki memberanikan diri untuk bersuara namun dia menelan kalimatnya saat Ruri dengan keras memukul dadanya.

"Daiki...kubilang jangan lakukan hal yang membahayakanmu! Siapa bilang nyawamu banyak! Nyawamu hanya satu!!" Ruri memukul dada Daiki berulang kali. Dia tidak peduli bahwa Daiki sedang merasa kesakitan pada lengannya.

Daiki menahan semua pukulan keras Ruri pada dadanya. Untuk yang ke sekian kalinya wanita itu memukulnya, tangannya yang bebas dari luka bergerak menarik lengan Ruri dengan kuat.

Ruri terhuyung ke depan dan menabrak dada keras Daiki yang lebar. Dengan tangan yang sama, Daiki mendekap Ruri ke pelukannya dengan erat. Dia menundukkan wajahnya dan membenamkannya di puncak kepala Ruri.

"Maaf...Maaf, Ruri-chan. Aku membuatmu ketakutan." Daiki berbisik lirih di antara rambut Ruri. Pelukan lengannya yang tidak di perban memeluk tubuh Ruri sangat kuat dan seolah ingin menyatukannya di tubuhnya.

Ruri menatap punggung terbuka Daiki yang setengah membungkuk karena memeluknya. Airmata Ruri mengalir pelan menuruni pipinya. Tangannya yang terkepal kini terbuka dan memeluk pinggang Daiki sama eratnya seperti pria itu terhadapnya. Dia menyusupkan wajahnya di dada Daiki yang berasa lembab akibat peluh menahan sakit barusan. Ruri merasakan bagaimana Daiki berulang kali mengecup puncak kepalanya.

Ruri mendongak dan bertatapan dengan sepasang mata pekat yang terlihat lelah itu. Jari Ruri bergerak meraba wajah Daiki yang masih sedikit pucat. "Jangan pernah melakukan hal seperti ini lagi. Kumohon.." pinta Ruri halus. Dia menatap lengan kiri Daiki yang dibalut perban. Dirabanya lengan itu dengan lembut. "Jagalah keselamatanmu seperti kau menjaga keselamatanku. Berjanjilah padaku."

Daiki membalas tatapan mata Yuri yang bening. Sisa airmata masih membayangi di pelupuk mata Ruri. Daiki memejamkan matanya. Sejenak tadi dia merasakan ketakutan jika tertangkap oleh pihak Lucifer. Jika dia sampai tertangkap dan mati di tangan mereka, siapa yang akan melindungi Ruri.

Daiki membuka matanya dan berkata dalam hati. Bagaimana bisa aku mengabaikan keselamatan diriku sendiri saat di mana Ruri hanya memiliki diriku. Daiki mengulurkan tangannya dan merangkum wajah Ruri. Dibelainya pipi mulus itu dengan penuh kasih.

"Aku berjanji Ruri-chan." Daiki memanggil nama panggilannya kepada Ruri seperti sewaktu mereka masih kanak-kanak dan menarik lembut wajah Ruri. Dengan lembut dia mengecup bibir Ruri penuh kerinduan dan penuh perasaan.

Suara isakan tertahan keluar dari celah bibir Ruri. Hanya karena rasa nyeri kembali muncul membuat Daiki mengakhiri ciuman panjangnya.

Ruri yang terengah merasakan pipinya merona. Dia melihat wajah Daiki yang meringis menahan sakit segera dia bergerak berlari ke kotak obat di dapur. Ruri mengeluarkan sebotol obat penahan sakit dan meminumkannya sesendok pada Daiki.

Sambil meletakkan kepalanya di sofa, Daiki tersenyum menatap Ruri. Diraihnya lengan itu dan dibawanya ke pipinya.

"Kau selalu menyiapkan, mengingatkanku akan Oka-san." Pandangan mata Daiki menerawang mengenang Sakura. Ruri meraih tubuh Daiki agar berdiri.

"Aku bisa berjalan sendiri, Ruri. Nanti kau merasa berat karena memapahku." Daiki mencoba menolak bantuan Ruri namun wajah wanita itu terlihat tidak setuju.

"Kau harus tidur." Tanpa mendengar bantahan Daiki, Ruri merebahkan tubuh Daiki di ranjangnya. Dengan telaten dia mengganti kemeja penuh darah itu dengan T-shirt milik Daiki yang memang berada di lemarinya.

Rambut panjang Ruri mengenai wajah Daiki. Harum rambut wanita itu membuat Daiki merasa mengambang di udara. Pengaruh obat penghilang rasa sakit itu mulai bekerja. Pandangannya mulai redup dan dengan lapat-lapat Daiki berkata lirih.

"Arigatou..." Tak lama terdengar napasnya yang teratur. Daiki terlelap dengan cepat. Ruri yang memegang ujung selimut menatap wajah lelap Daiki yang tenang. Matanya turun ke arah lengan yang terbalut perban itu. Dengan pelan Ruri mengusap luka itu dan tanpa sadar airmatanya bergulir.

Dari kecil Daiki selalu berjuang untuk melindunginya bahkan pria itu sering lupa akan keselamatannya sendiri. Demi untuk mendapatkan pembunuh ibunya, Daiki rela masuk ke sarang penjahat dan nyaris terbunuh. Ruri membungkuk dan mengecup lembut sepasang bibir Daiki yang terkatup. Ruri bisa merasakan embusan hangat napas pria itu.

Kemudian dia menyelimuti tubuh Daiki dan memperbaiki letak lengannya. Dengan langkah panjang Ruri mendekati laptopnya yang terletak di atas meja bundar di dekat jendela. Dia meraih flashdisk yang terletak di meja dan menggenggamnya erat.

Daiki mempertaruhkan hidupnya demi diriku mengapa aku tidak? Jika Daiki melakukan dengan caranya, mengapa aku tidak melakukan dengan caraku sendiri demi keselamatan orang yang kucintai?

****

Kenji termenung di dalam kamarnya sambil berdiri di tepi jendelanya dengan segelas bir di tangan. Dia mengingat kembali pertemuannya dengan kedua detektif muda bernama Daiki Watanabe dan Hideo Katoo. Meskipun awalnya sangat kasar tapi Kenji kini tahu bahwa kedua pria muda itu adalah orang-orang terdekat putrinya. Terutama detektif berambut cokelat berantakan itu. Jika bukan karena ayah sang detektif menemukan Ruri di dalam lemari mungkin nasib anak itu takkan pernah sebaik ini.

Kenji mengeluh pelan ketika dengan telak Daiki, nama si rambut berantakan itu, menudingnya sebagai biang segala kejahatan yang sedang diselidikinya.

"Jika anda tetap menjadi suami setia dan ayah yang baik mungkin kejadian pahit ini tidak akan melibatkan Ruri!" Itu adalah salah satu kalimat pedas yang dilontarkan Daiki.

"Tapi karena itulah kau bertemu putriku." Kenji mencoba berkelakar mencairkan suasana namun dia memilih waktu yang salah. Dia menerima tatapan tajam dari Daiki dan Hideo.

"Jangan dijadikan ini bahan ejekan, Tuan Fujita," tukas Hideo jengkel.

Kenji menghela napas. "Maafkan aku." Dia tidak menyalahkan kedua pria muda itu merasa dongkol padanya. Dia bukanlah ayah yang baik untuk Ruri. Bahkan secara singkat Daiki mengatakan selama 2 tahun Ruri tidak mau berbicara sama sakali. Bagaimana gadis kecil itu menghadapi dunia luar yang mengenalnya sebagai anak korban pembunuhan. Anak yang di tinggal kabur oleh ayahnya yang diduga membunuh ibunya. Sampai di sini Kenji membantah penjelasan Daiki.

"Aku tidak membunuh Akemi! Dan tidak bermaksud meninggalkan anakku begitu saja. Aku kembali ke rumah dan mendapati lemari pakaian telah kosong. Tidak ada Ruri di dalamnya."

Daiki dan Hideo berpandangan. Tatapan mereka tertuju pada pria tua yang masih tampak tampan itu. Daiki masih percaya bahwa wanita muda akan terpesona dengan Oji-san ini.

Hideo memajukan tubuhnya. "Anda berkata bahwa anda kembali ke rumah dan anda juga berkata bahwa bukan anda yang membunuh isteri anda?"

Sekilas sinar mata Kenji bersinar marah. Dia membalas kalimat Hideo dengan kasar. "Tentu saja aku kembali ke rumah untuk membawa anakku dan aku tidak mungkin membunuh Akemi, isteriku. Itu perbuatan pria itu menyuruh seluruh anak buahnya...!!"

Baik Daiki dan Hideo merasa jantungnya berdebar kencang. Kalimat Kenji barusan seakan membuka tabir teka-teki kasus mereka. Hideo kembali memburu Kenji dengan pertanyaan. Dia tidak pernah menyerahkan urusan interogasi pada Daiki. Daiki selalu memilih cara keras dalam sesi interogasi yang pada akhirnya tersangka tutup mulut. Interogasi selalu diambil alih oleh Hideo.

"Anda kembali lagi dan mengatakan pada kami bahwa pembunuhnya bukan anda. Siapa pria yang anda maksud?"

Kenji sadar bahwa dialah satu-satunya saksi pembunuhan Akemi dan dia memutuskan untuk mengatakan siapa pembunuh isterinya agar kasus ini segera selesai dan Akemi tenang di alam sana. Inilah bentuk permohonan maafnya pada isterinya meskipun dia tahu semuanya tidak sebanding dengan pengorbanan Akemi untuk pria seperti dirinya.

"Shinobu. Shinobu Kimura. Dialah pembunuh isteriku. Dia menggunakan anak buahnya dan menyaksikan penusukan itu dari jarak dekat. Sebenarnya dia ingin aku yang mati tapi..."

"Akemi Kondoo justru memberikan dirinya menggantikanmu mati!!" cetus Daiki tajam membuat Hideo mendelik padanya.

Kenji tersenyum pahit. "Aku memang pantas mendapat ucapan pedas darimu, detektif. Meskipun begitu aku harus jujur sampai detik ini aku mencintai isteriku." Kenji menunjukkan liontin yang melingkari lehernya dan membuka tutupnya. Dua sisi terisi oleh dua foto perempuan berbeda usia. Dalam sekali pandang Daiki dan Hideo mengenali wajah masa kecil Ruri. Dan foto satunya lagi adalah wanita cantik persis Ruri masa kini. Itulah Akemi Kondoo.

Daiki dan Hideo merasa sedikit simpati pada Kenji. Tapi Daiki tidak berusaha mengubah sikapnya saat itu. Dia diam saja melihat Kenji.

Hideo kembali bersuara. "Shinobu Kimura? Maksudmu si mafia tua itu?" Dia memastikan perkataan Kenji serta dugaan Takao selama ini. Dilihatnya Kenji mengangguk. Sekali lagi Hideo menatap Daiki yang tegang.

"Mengapa Shinobu mendatangi rumah kalian? Apa berhubungan dengan perselingkuhan anda dengan isterinya? Ataukah karena hal lain?" Hideo memancing.

Kenji menangkap arti pertanyaan Hideo. "Sepertinya kalian sudah cukup banyak mengetahui tentang diriku."

Hideo melirik Daiki yang duduk tenang. "Selama 19 tahun anda adalah sesuatu yang penting bagi ayahku dan sahabatnya. Hanya mereka yang mempercayai bahwa anda tidak membunuh isteri anda dan justru dugaan mereka jatuh pada mafia tua itu. Tolong katakan pada kami. Mengapa Shinobu mendatangi rumah anda?"

Kenji menatap wajah kedua detektif muda di depannya. Perlahan tangannya masuk ke saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang berkilau. Sesuatu yang membuat Daiki dan Hideo terpaku.

"Karena aku mencuri ini."

"White Guardian Brecelet!" Daiki berseru tertahan.

****

Naoko memandang cincin berlian yang melingkari jari manisnya. Dia tersenyum bahagia saat Hideo melamarnya sore tadi di antara cumbuan panas pria itu. Hideo mengecup bibirnya dengan mesra tepat ketika kedua kedua tangan pria itu menjalari lengannya dan berujung pada jari manisnya.

Naoko menjauhkan wajah mereka dan mendorong dada berotot Hideo agar menjauh dari tubuhnya. Naoko bangkit duduk dan merapikan bajunya yang berantakan, melongo melihat kilauan di jari manisnya.

"Hideo-san." Naoko menatap Hideo dengan tidak percaya.

Hideo tersenyum menatap Naoko. "Mari kita menikah. Aku sudah mempersiapkan gereja segalanya."

Naoko terlalu terkejut dengan semua yang dikatakan Hideo. Ternyata di antara kesibukannya, Hideo diam-diam telah menyiapkan pernikahan mereka bahkan gaun pengantin yang pernah diperlihatkan Naoko di catalog Belenciaga, sudah jauh hari dipesan oleh Hideo sejak sebulan yang lalu. Dia hanya bisa menangis bahagia dan bersyukur mendapatkan Hideo menjadi bagian dalam hidupnya. Bagi dirinya yang sebatang kara, -dia besar di panti asuhan- memiliki seorang Hideo Katoo adalah anugerah bagi Naoko. Maka malam itu dia terus saja memandang cincin itu dan terkejut saat mendengar suara bel pada pintu apartemennya.

Naoko meloncat dari duduknya dan membuka pintu. Dia mendapati Hideo berdiri dengan wajah lesu.

"Apa yang terjadi?" Naoko berseru kaget ketika melihat darah mengering di bagian dada kemeja Hideo.