webnovel

Membutuhkan Tantangan Baru

Untuk kamu anak pertama, terima kasih sudah berjuang untuk hidupmu. Hal yang paling penting, kamu hebat karena udah bertahan sejauh ini. Kamu keren karena udah bisa survive sama kerasnya hidup dan masih bisa ketawa sampai hari ini.

Kalau kamu ngerasa sendirian, kita sama. Kadang aku juga pernah ngerasa sendirian. Harus ngorbanin mimpi dan cita-cita yang kadang nggak sesuai sama apa yang udah kita rencanain. Tapi percayalah, ada orang yang bilang ke aku, hidupmu akan lebih mulia. Karena kamu udah ngusahain yang terbaik, bukan hanya tentang kamu, tapi juga tentang orang-orang yang hidupnya masih bergantung sama kamu, misalnya keluarga kamu saat ini.

***

POV Moza

Kamu nggak akan tahu rasanya jadi aku dan aku juga nggak akan tahu rasanya jadi kamu. Karena kita sedang menjalani hidup saat berhadapan dengan orang-orang seperti apa, bagaimana caranya kita berusaha menyayangi mereka, bersikap peduli dan menjadi orang baik seperti kata orang-orang yang selalu berpikir untuk teruslah menjadi orang baik, tetapi tidak dengan orang-orang sekitar kita yang bisa membalas kebaikan kita, kasih sayang kita, juga kepedulian kita pada mereka. Semakin tumbuh dewasa, semakin susah menemukan orang-orang yang tulus untuk menemani perjalananmu.

"Umurmu udah dua puluh satu tahun, habis ini dua puluh dua tahun, kalau aku nanya resolusimu di tahun depan apa? Kira-kira udah kepikiran belum? Atau kamu masih mikirin gimana caranya biar abangmu ngakuin bokapmu? Atau kamu masih dendam sama keluarga ibumu yang udah bikin keluargamu berantakan?"

Barusan yang ngajak ngomong aku ini namanya Helen, dia teman perjalananku ketika aku mulai beranjak dewasa. Kami berteman sejak SMK, karena aku bukan anak sultan, jadi mau nggak mau aku harus masuk sekolah kejuruan biar lulus langsung bisa kerja meski nggak menjamin kalau anaknya sendiri nggak benar-benar serius karena masih ada temanku lulusan SMK tetap aja jadi pengangguran. Jadi mau kamu lulusan apa, kalau udah niat kerja pasti bakalan nemu jalannya.

Sekarang kami sedang reunian dengan ngadain acara staycation di Malang, lalu pergi ke pantai buat hiling sebentar seperti kata anak muda zaman sekarang.

Kutatap ombak di antara angin sepoi-sepoi yang menenangkan suasana hatiku saat ini. Aku bahkan lupa kapan terakhir pergi ke pantai, setahuku tahun itu masih tahun 2017, kedua orang tuaku masih bersama dan kami berkumpul menikmati matahari terbit dari ufuk timur.

"Nggak tahu, lebih ke pasrahin aja semuanya. Nggak mau mikirin yang bikin stress sendiri, mending fokus sama apa yang udah ada di depanku ini."

"Cowok itu maksudmu? Yang agak-agak mirip kayak Jungkook?" tanya Helen lagi sambil menunjuk ke arah cowok yang sedang berfoto di pinggir pantai.

Aku tidak mengenalnya, namun dia adalah temannya temanku yang sengaja diajak dan membawa sepupunya ikut serta. Dari teman-teman cowokku yang biasa saja, menurut kami berdua sebagai pecinta cowok tampan, mereka berdua menjadi penyejuk mata kami dalam liburan kali ini.

"Aku tebak mereka berdua sudah punya cewek," tukasku dengan penuh keyakinan, karena mustahil cowok tampan seperti mereka masih single.

"Tahu dari mana kamu? Udah dapat Instagramnya trus ada foto ceweknya di sana?" Helen kembali bertanya sambil menaik turunkan alisnya.

Mendengar jawaban Helen, membuat aku tertawa pelan. "Ngaco, nama lengkapnya aja aku nggak tahu."

"Kali aja udah tahu, soal cogan kan selalu update banget kamu." Helen mengejekku, tapi itu hanya berlaku saat di studio.

Ya, aku bekerja di studio foto. Di sana jarang ada customer tampan yang menarik perhatianku, tapi sekali ada biasanya aku langsung dapat informasi sosmednya. Kalau udah dapat kami berakhir berteman di Instagram. Ya, hanya sebatas itu saja. Tapi ada salah satu abdi negara yang mendekatiku waktu itu, awalnya aku tidak pakai hati karena sudah tahu orang-orang seperti mereka mudah bosan dan pasti punya banyak kenalan wanita walaupun terkadang sudah ada kekasih. Teman kerjaku bilang, mereka yang belum nikah memang tidak cukup satu, tapi kalau sudah menikah, tentu kau akan menjadi satu-satunya karena ada hukum negara yang akan melindungi rumah tanggamu.

Aku bukan salah satu orang yang tahan dijadikan keberapa, bukannya aku merasa cantik dan pantas, tapi aku memang membenci orang yang suka berselingkuh, tidak cukup satu pasangan, aku mau jadi yang pertama dalam sebuah hubungan, jadi satu-satunya.

"Jadi beneran habis gini kamu bakalan sibuk terus ya?" tanya Helen yang tiba-tiba mengubah topik pembicaraan ini.

"Sibuk gimana? Orang aku lagi santai di sini sama kamu," tukasku yang sedikit kesal karena Helen membuat pikiranku kembali rumit dengan kesibukan itu.

Helen mendesah pelan, ia mengahadap ke arahku langsung. "Bukan gitu, kamu bilang sendiri ke aku kalau ini bakal jadi yang terakhir kalinya kamu ikutan liburan tahunan bareng kita," katanya dengan jeda sejenak yang membuatku menoleh sambil menaikkan setengah alisku untuk menunggu apa lagi yang ingin ia katakan. "Trus kamu juga bilang kan, kerjaan makin rumit. Mbak Ajeng sama Mas Angga mau nikah, Mbak Tesa katamu mau keluar, jadi beneran bakalan sibuk kan?" lanjutnya.

Aku mengangguk singkat, dia memang benar bahwa aku sedikit cerita tentang pekerjaan padanya saat kami belum tidur kemarin malam. "Tapi selain itu juga, kalian semua yang ikutan liburan kali ini tuh pada berpasangan. Cuma aku doang yang nebeng ke cowok orang. Itu pun kalau si Ekal bawa pacarnya, mau sama siapa aku? Sobat kita satu berhalangan hadir yang sama jomlonya kayak aku."

"Jadi kamu bilang gitu cuma gara-gara next time liburan kamu masih sendirian?" celetuk Helen sambil melebarkan matanya tak percaya bahwa aku juga ada pemikiran seperti itu. "Ya Allah, Moza... Aku udah bilang ke kamu, meski aku bawa Dimas, tentu saja aku bakalan selalu nemenin kamu. Dimas juga sibuk sama temen-temen cowoknya kan? Jadi kamu nggak usah khawatir keleus. Liburan tahunan kan udah jadi liburan rutin kita, jadi jangan sampai kamu absen kayak si Amel yang tiba-tiba cancel pas hari H, marah beneran aku sama dia."

Selalu ada alasan yang Helen lemparkan kepadaku agar aku tidak bisa menolak. Dia memang selalu membawaku meski di mana-mana ada Dimas di sisinya. Dia tidak pernah mengabaikanku, dan meninggalkanku di belakangnya, padahal seharusnya bisa saja ia bermanja-manja dengan Dimas. Dari sana aku berpikir bahwa aku akan menjadi pengganggu, mungkin di depanku Dimas bisa terima. Bisa saja di dalam hati dan pikirannya ia sebal padaku. Aku tidak mau seperti itu, aku tidak mau egois. Menatap Helen, membuatku tak kuasa karena sorot matanya terus membuatku merasa bersalah.

"Tipe cowok idamanmu kayak apa sih? Serius nanya, siapa tahu aku punya jodoh yang cocok sama kamu," ungkap Helen sambil menompang dagunya dengan kedua tangan.

Sejenak aku berpikir untuk menjawab pertanyaan Helen. Lalu mendesah panjang karena aku tidak yakin akan mendapatkan seperti yang kuinginkan, justru jodoh akan datang berkebalikannya. "Kalau tampan itu udah biasa, yang penting enak dilihat lah. Pekerja keras kayak aku, pengertian kayak bokapku. Sabar ngehadapin aku, trus kamu tahu sendiri aku akan tergila-gila sama cowok yang bisa main gitar apalagi punya suara indah, tapi kayaknya yang terakhir ini mustahil bakalan bisa."

Helen langsung mengacungkan jempolnya di depan wajahku, membuatku memundurkan wajah dengan terkejut.

"Kau akan mendapatkannya! Percayalah padaku!"

***

Setelah liburan di Pantai Selatan Malang, aku kembali disibukkan oleh pekerjaan. Rutinitas membawaku bosan, padahal seharusnya aku bisa fresh dan menemukan ide-ide baru. Tapi kenyataannya aku masih malas, padahal mau jadi kaya.

"Moza!"

Aku menoleh, sosok Helen muncul dengan tas selempangnya. Kami bertemu di kafe, dia baru saja pulang kuliah.

"Kirim semua fotoku yang ada di ponselmu. Mau aku post di Instagram nih, udah jamuran pengen diisi sama konten liburan," celetukku yang malah menagih foto-foto liburan kemarin.

"Baru juga nyampe udah ditagih aja," balas Helen sambil mengempaskan bokongnya di kursi hadapanku, lantas ia melambaikan tangan pada salah satu pelayan kafe ini, ia memesan matcha latte.

"Eh tahu nggak sih? Ada yang lebih menarik yang mau aku tunjukkin ke kamu," kata Helen lagi sebelum aku kembali mengomel.

"Apaan? Udah punya rekomendasi cowok buat aku?" tanyaku sambil menaikkan setengah alis heran.

"Bukan." Helen menggeleng cepat, ia membuka laptopnya dan mengarahkan layar ke arahku. "Ada kompetisi yang berlangsung, aku tahu kamu punya potensi di sana. Makanya aku mau luangin waktu ke sini sebentar buat ketemu sama kamu meski habis gini waktunya kerja."

"Kompetisi apaan sih?" Aku memotong ucapannya.

"Dengerin dulu anying!" Helen melototiku, aku hanya mengedihkan bahu sambil membaca isi yang ia tunjukkan di layar laptopnya tersebut. "Ini banner kompetisi nulis itu, kamu bisa hubungi Kak Putri, aku kenal dia biar kamu bisa lolos kontraknya konsultasi aja ke dia. Yang paling enak kamu ambil tema anak SMA aja, lumayan kalau kamu bisa menang apalagi sampai dapat kontrak dijadiin series, itu yang paling kamu impikan Moza. Kak Putri ini orangnya asyik dan welcome banget, aku tahu kamu bisa asyik juga sama orang baru dari pada aku. Jadi pasti kamu gampang komunikasi sama dia."

Helen tampak bersemangat dan penuh antusias, tetapi tidak dengan aku. Sebelum makin jauh pembicaraan ini, aku menyela lagi. "Masalahnya aku nggak ada ide buat kompetisi anak SMA Helen, aku udah nggak sekolah, udah buntu banget mau nulis kisah itu."

"Aku bisa kasih ide kamu. Sebenarnya ini ide kamu sendiri, tapi kamu nggak sadar aja." Helen menatapku serius dengan senyum miring di sudut bibirnya.

"Apaan? Jangan ngaco deh. Kerjaanku banyak, sibuk banget, ntar malah keteteran kalau ikutan nulis."

"Kamu lupa pernah menang kompetisi di novel online pas kamu lagi sibuk-sibuknya kerja juga demi dapat cuan buat ngerayain ulang tahunmu waktu itu? Masih mau ngeles? Lama-lama aku bukain bimbel juga nih, Zaa!" Helen gemas sendiri mendengarku mengoceh.

Menarik napas dalam-dalam, akhirnya aku mengambil keputusan karena aku merasa membutuhkan tantangan baru untuk mengisi kekosongan di hatiku yang sedang merasa hampa. "Okay, jadi apa ide yang kamu maksud itu?"

"Pembicaraan kita di Pantai."

Next chapter