1 ⊹₊ ⋆ s a t u ꜜ

Jangan lupa tinggalkan komentar😊😊😊

Happy Reading

---

Kedua kakiku melangkah masuk ke sebuah rumah sederhana yang di dalamnya terdapat 3 orang yang sangat aku cintai. Aku memasuki tempat tinggalku selama 21 tahun aku hidup. Semua terlihat sama saja, hanya saja terlihat lebih sepi semenjak kepergian papa. Papa meninggal 2 tahun lalu, dan kini hidup keluarga kecil ini begitu sangat terasa kehilangan.

Di sofa ada adik perempuanku yang berusia 6 tahun. Dia sedang duduk sambil memasang wajah gembira saat melihatku sudah berdiri di depan pintu.

"Kakak," Haneul langsung turun dari sofa, berlari kecil dan langsung aku sambut dengan memeluknya erat.

"Haneul udah makan?" Tanyaku seraya mengelus lembut rambut panjangnya.

"Haneul belum makan." Jawabnya.

Aku selalu khawatir jika adik kecilku ini belum makan. Pasalnya, jika ada sesuatu yang membuatnya pikiran, Haneul tidak mau makan.

"Kenapa belum makan?" Tanyaku.

"Aku diejek teman-teman sekolahku, Kak." Tutur Haneul.

Benar, kan, pasti ada masalah yang membuat adik perempuanku satu-satunya ini tidak mau makan.

Ya Tuhan, masalah apa lagi yang Haneul hadapi. Dia masih kecil.

"Haneul diejek apa sama teman-teman? Cerita sama kakak." Aku lantas menggendongnya dan menurunkannya di atas sofa. Lalu kita melanjutkan obrolan.

Wajah Haneul terlihat murung. Aku tidak tega melihat wajah sedihnya. Kenapa teman-temannya begitu jahat pada Haneul? Apa salahnya?

"Mereka bilang tasku jelek," satu kalimat berhasil keluar dari bibir kecilnya, dan kini Haneul sudah mengusap air matanya yang entah sejak kapan sudah lolos membasahi wajah cantiknya.

Aku mengusap-usap pundaknya lembut. Jujur, hatiku ikut merasakan kesedihan yang Haneul alami.

"Mereka bilang tasku sudah tidak layak pakai." Haneul menunjuk tas sekolahnya yang terletak di atas kursi.

Baiklah. Mari kita hentikan obrolan ini, aku tidak mau adikku semakin mengingat-ingat kepedihannya di sekolah.

Aku tersemyum paksa, mengelus pipinya pelan.

"Haneul jangan sedih. Besok kita beli tas sekolah yang baru, okay?"

Dan akhirnya, kedua matanya berbinar mendengar ucapanku. Hatiku pun ikut senang melihatnya tersenyum lebar.

"Kakak serius?" tanyanya meyakinkan.

Aku mengangguk, "Iya. Besok kau libur sekolah, kan? Kita pergi beli tas baru. Sekarang Haneul makan dulu, okay?"

Haneul berdiri, dia melompat-lompat kegirangan sambil kedua tangannya dinaikkan ke atas.

"Makasih, Kak. Aku sayang kakak."

-

Usai dengan permasalahan tas sekolah Haneul, kini aku dikejutkan dengan pemandangan adik laki-lakiku -Jeno- dan mama yang sedang beradu argumen di dapur. Entah apa yang membuat mama begitu emosi, sampai aku melihat sebuah tamparan keras mendarat di wajah Jeno.

"Ma," aku langsung menghampiri mereka. Mama terlihat penuh amarah. Pundaknya naik turun.

"Jeno! Ada apa?" Tanyaku pada Jeno. Namun dia tidak menjawab. Malah menatap kedua mataku tajam. Adikku yang satu ini memang begitu garang, entah dari segi wajah maupun watak. Sama saja.

"Tanya saja pada Mama." Jawabnya akhirnya.

Aku tidak tau kenapa Jeno bisa sekasar ini. Tidak ada yang berwatak keras selain Jeno di rumah ini.

"Jeno!" Teriakku.

"Aku sudah muak hidup di sini!" Jeno menghentakkan kakinya, kemudian berlalu begitu saja.

Di sisi lain, mama sudah mengeluarkan air matanya. Mama menangis tersedu-sedu sejak Jeno meninggalkan rumah. Ketika tangisan mama sudah mereda, mama cerita semua apa yang membuat mama bermain tangan pada Jeno dan berakhir Jeno meninggalkan rumah. Jeno berkata, jika di sekolah teman-temannya punya kendaraan pribadi untuk berangkat sekolah. Tidak seperti Jeno, yang berangkat dan pulang sekolah selalu naik kendaraan umum. Walau terkadang teman-temannya ada yang menawari tumpangan, tapi Jeno tidak mau terus-terusan menumpang pada temannya, ia mau punya kendaraan sendiri layaknya yang lain. Lantas sepulang mama kerja, Jeno langsung meminta dibelikan motor baru. Sementara mama tidak ada uang untuk membelinya, dan jadilah Jeno marah besar. Apa-apa kemauannya harus dituruti. Dari dulu Jeno memang keras. Pada dasarnya adalah anak yang suka berontak dan suka membuat masalah tanpa tau keadaan. Tapi bagaimana pun juga, Jeno adalah adikku. Aku menyayanginya setulus hatiku. Kakak pasti akan membelikanmu motor baru, Jen. Maaf sekarang kakak masih belum bisa membelikanmu.

Aku masuk ke dalam kamar setelah selesai menenangkan mama. Dan mama sudah tertidur karena pasti sangat lelah bekerja seharian dari pagi hingga malam, ditambah masalah lagi di rumah. Aku sangat tau rasanya jadi mama. Tidak mudah. Oleh karena itu, aku juga ikut kerja paruh waktu ditengah-tengah kesibukanku sebagai seorang mahasiswa. Aku bekerja sebagai seorang pelayan di salah satu restoran daging sapi. Aku bekerja pada malam hari, kadang sampai pagi jika aku ingin lembur. Dan waktu istirahatku pun sangat sedikit.

Ponselku berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Di sana tertera isi pesan yang menunjukkan untuk segera membayar sewa rumah. Ya Tuhan, aku bahkan belum mendapatkan uang untuk membelikan Haneul tas besok.

-

23.40 KST

Baekhyun mengantarkan pesanan ke salah satu meja. Pesanan mendarat sempurna di meja pemesan.

"Silakan menikmati." Ucap Baekhyun lembut. Kemudian pemesan tersenyum dan berucap terima kasih.

Baekhyun kemudian melangkah untuk meninggalkan meja, tapi sebelum melangkah lebih jauh lagi, matanya melihat ada yang tidak beres di luar sana. Tepatnya, di jalan kecil yang letaknya tidak jauh dari restoran tempatnya bekerja. Tampak ada dua orang pria sedang baku hantam. Lantas, Baekhyun menaruh nampan yang dipegangnya ke sembarang meja, kemudian keluar restoran untuk melihat siapa yang sedang bertengkar.

Tiba di lokasi, kedua mata Baekhyun membulat melihat siapa yang sedang berkelahi di hadapannya.

Itu adiknya,

Jeno.

"Jeno!" Baekhyun berlari mendekat. Kemudian menahan tangan pria yang sedang ingin meninju wajah Jeno.

"Aku mohon hentikan. Jangan pukul dia." Sekuat tenaga Baekhyun menahan tangan kekar pria itu, tapi sia-sia, tenaganya tidak sebanding. Dibanding dengan tenaga Jeno saja sudah jauh lebih kuat Jeno, apalagi dengan pria tinggi besar satu ini.

"Tolong, hentikan," Baekhyun tidak bisa menahan air matanya, ia menangis karena adiknya babak belur dihajar habis-habisan dengan pria tak dikenal.

Jeno sudah tersungkur di atas aspal. Sepertinya Jeno akan pingsan. Memprihatinkan.

Baekhyun langsung berlari, berjongkok di hadapan Jeno yang sudah terbaring lemah.

"Jeno, Jeno. Bertahanlah." Baekhyun panik bukan main.

"Jangan sentuh aku, Kak." Kata pertama yang keluar dari mulut Jeno terdengar begitu jelas di telinga Baekhyun. Tidak lama kemudian, Jeno bangkit hingga berhasil berdiri dengan sendirinya alias tanpa bantuan dari sang kakak.

"Jeno, hentikan. Ada masalah apa?" Tanya Baekhyun panik. Tubuh Baekhyun sudah bergemetar hebat melihat keadaan Jeno saat ini. Walau ini bukan kali pertama melihat Jeno seperti ini, tapi tetap saja, Baekhyun akan selalu merasa perih jika ada yang menyakiti adiknya.

"Kakak tanyakan saja pada pria sialan satu ini." Jawaban Jeno berhasil membuat pria bertubuh tinggi di hadapannya kembali emosi.

"Dasar brengsek!" Pria itu melangkah maju hendak meninju wajah Jeno, lagi.

"Jangan pukul dia. Aku mohon. Pukul aku saja." Baekhyun melindungi Jeno dengan cara memasang tubuhnya sebagai benteng.

Kemudian pria itu mengurungkan niatnya untuk meninju wajah Jeno.

"Urus adikmu dengan baik, sialan!" Pria itu menunjuk wajah Baekhyun dengan telunjuknya.

"Kau yang salah membawa mobil dengan kecepatan tinggi di tengah jalan!" Teriak Jeno masih membela dirinya benar.

Pria itu tersenyum sarkas, "Kau tidak tengok kanan-kirimu, anak muda."

Jeno masih dengan emosi yang meluap-luap, Baekhyun khawatir soal itu. Jeno sangat sulit untuk meredakan emosi.

"Jeno," panggil Baekhyun.

"Andai di sini ada CCTV, aku bersumpah akan memenggal kepalamu jika kau dinyatakan bersalah." Lanjut Jeno, masih dengan berteriak.

"Jeno!" Teriak Baekhyun mencoba menghentikan ucapan-ucapan tak terkendali adiknya itu.

"Tapi sayangnya tidak ada CCTV di sini." Pria tinggi itu pun tertawa sambil bertepuk tangan

"Brengsek!" Kesal Jeno.

"Jeno! Hentikan!" Kalau saja Baekhyun tidak ada di sini, mungkin mereka masih baku hantam.

"Itu adalah ulah adik sialanmu itu. Urus dia dengan benar. Dan satu lagi, saya minta ganti rugi atas kejadian ini. Kalau tidak, kau akan tau akibatnya karena sudah berani berurusan denganku." Pria itu mengeluarkan kartu namanya, lantas memberikannya pada Baekhyun.

"Apa-apaan kau, brengs-" Jeno masih berontak, tapi ucapannya terhenti karena pria itu masih melanjutkan kata-katanya dengan penuh penekanan.

"Dan satu lagi," Kata pria itu.

"Saya kasih waktu kalian satu minggu untuk melunasi semua kerugiannya." Kemudian pria itu pergi mendekati mobil mewahnya yang terlihat rusak lumayan parah.

Baekhyun tidak tau harus percaya siapa di sini. Adiknya? Atau pria itu?

Entahlah. Ia tidak bisa menebak semua kebenaran dalam kejadian ini. Kepalanya terasa akan pecah detik ini juga.

Jeno meninju ke atas udara meluapkan emosinya seusai kepergian mobil pria itu.

"Sial!" Umpat Jeno.

Baekhyun sudah sangat lelah malam ini. Sudah lelah fisiknya, ditambah lagi sekarang pikirannya dibuat lelah dengan masalah satu ini. Hingga akhirnya Baekhyun tidak bisa memopong berat tubuhnya, membuatnya terduduk di atas aspal jalan yang dingin. Hatinya menangis, air mata pun sudah membasahi wajahnya sejak tadi. Baekhyun terisak.

"Kakak sama saja dengan mama. Tidak pernah berontak dengan kejamnya kehidupan."

-

Pikirannya tidak bisa berpikir jernih. Semua rencana-rencana untuk kerja lebih keras lagi malam ini pupus sudah. Ini semua karena insiden beberapa menit lalu di jalan, yang melibatkan pria yang telah diketahui bernama Park Chanyeol. Tidak habis pikir dengan kesialan apa yang akan menimpa keluarga kecilnya lagi setelah ini. Semua kesabaran, kerja keras, kesulitan sudah kebal ia hadapi. Namun, semakin hari semakin sulit saja cobaan yang harus dilewati. Baekhyun menangis menyusuri jalan di malam hari. Entah ia harus berkata apa pada ibunya perihal insiden yang melibatkan Jeno dengan Chanyeol. Dan entah apa yang harus ia ucapkan pada Haneul perihal janjinya untuk membelikan tas baru. Baekhyun terlalu pusing untuk memikirkan semua beban hidupnya. Rasanya ia ingin menabrakan dirinya pada mobil yang sedang melaju cepat di jalan raya. Tapi otaknya terus berkata untuk bertahan.

"Je-jeno,"

Dilihatnya laki-laki yang sangat ia kenal sedang meringkuk di pinggir jalan. Itu adalah adiknya. Jeno.

"Jeno!" Baekhyun berlari menghampiri Jeno yang sedang memeluk lututnya sambil terus menundukkan kepalanya.

Baekhyun tidak tahan lagi melihat keadaan mengenaskan Jeno. Kenapa dunia begitu kejam pada mereka.

"Jeno, kau kenapa? Ayo pulang." Tangan Baekhyun mencoba mengangkat kepala Jeno agar sejajar dengan wajahnya.

Terdengar suara isakan yang bukan berasal dari tangisan Baekhyun. Lantas siapa yang menangis, di sini hanya ada mereka. Apa... Jeno?

Baekhyun memegang pundak adiknya itu, dan benar saja, tubuhnya bergetar hebat.

"Jeno, kau-"

"Aku ingin mati, Kak."

Mata Baekhyun membulat.

"Jeno! Jangan bicara sembarangan!" Teriak Baekhyun.

Wajah memerah bercampur babak belur Jeno sudah sejajar dengan wajah Baekhyun. Dan dapat terlihat dengan jelas kepedihan terpampang di sana. Situasi seperti ini memang tidak adil bagi mereka. Bahkan, laki-laki keras seperti Jeno saja memutuskan untuk mengakhiri hidupnya saja dibandingkan hidup seperti ini.

"Aku lelah, Kak." Kemudian Jeno melemah, dia membiarkan tubuhnya berada dalam pelukan sang kakak.

"Kenapa Tuhan jahat sama kita, Kak? Hidup ini nggak adil buat kita." Lanjut Jeno, masih terus mengutarkan keluhan tentang hidupnya.

Baekhyun sangat setuju dengan ucapan Jeno. Tapi, Baekhyun bukanlah laki-laki yang mudah menyerah, apalagi sampai untuk memutuskan bunuh diri.

"Aku mau mati aja, Kak." Ucap Jeno sembarang, lagi.

"Jeno, kau apa-apaan?! Jangan seperti itu!" Baekhyun semakin erat memeluk Jeno. Tangisan mereka sungguh pecah malam ini.

Baekhyun bersumpah, malam ini adalah malam yang sangat berat baginya.

-

To be continue

avataravatar