webnovel

Tersesat

"Mbang, ada yang pingsan!"

Bambang langsung menoleh ke arahku saat aku berteriak. Ia pun menoleh ke arah yang kutunjuk, dan kami pun berlari menghampiri seorang siswi yang tengah pingsan tersebut.

"Gimana nih?" pekik Bambang bingung.

Tidak ada siapa pun yang tengah melintasi tempat ini selain kami.

Mungkin, jika kami menunggu, akan ada rombongan lain yang sampai ke tempat kami sekarang.

"Mukanya pucet banget lagi." gumam Bambang.

"Kalau kita nunggu rombongan lain dateng gimana? Aku nggak paham pertolongan pertama kek gitu-gitu soalnya," ucapku panik.

Bambang menggeleng pelan.

"Kita nggak tahu kapan rombongan berikutnya dateng! Bisa aja mereka lama datengnya!" sahut Bambang.

"Kalau kuat, gendong aja Mbang! Kita bawa ke atas! Ini, menurut peta, pos ke dua nggak jauh dari sini, kok!" Aku langsung menunjukan peta yang sedari tadi kupegang, kepada Bambang. Setelah memperhatikannya dengan seksama, Bambang pun mengangguk pelan.

"Ya udah, gue gendong dia, lo ikutin gue ya! Jangan sampai ketinggalan!"

Aku mengangguk cepat.

Bambang pun mencoba mengangkat siswi tersebut, dan memposisikannya tepat di punggungnya.

"Kamu yakin kuat?"

"Yakin!"

Setelah mengatakan itu, Bambang mulai melangkah dengan cepat menyusuri jalan setapak sesuai peta. Kali ini, ia yang membawa petanya karena ia berjalan di depanku.

Dengan cekatan, Bambang terus menggendong siswi tersebut melintasi medan yang sejujurnya untukku pribadi cukup sulit untuk dilalui.

Aku sudah terlalu lelah. Kakiku benar-benar tidak sanggup untuk melangkah lagi.

"Mbang!" panggilku pada Bambang yang berada tujuh meter di depanku.

Bambang langsung berhenti, dan berbalik untuk melihat ke arahku.

"Aku nggak kuat! Kamu duluan aja!" seruku dengan terengah-engah.

"Bentar lagi kita sampai, Mel!" sahut Bambang sambil membetulkan letak siswi yang ada di gendongannya.

"Iya, tapi aku udah nggak kuat lagi! Aku istirahat sebentar di sini, kamu lanjut aja!"

"No, gue temenin lo rehat!"

"Jangan, kalau kamu masih kuat, kamu harus tetep jalan! Kasihan dia! Dia harus cepet dapet pertolongan! Biar aku di sini bentar."

"Nggak Mel! Gue nggak mungkin ninggalin lo sendiri di sini!"

"Gini deh, kata kamu udah deket, 'kan? Kamu lanjut aja, biar dia cepet dapet penanganan. Nanti, kamu balik lagi ke sini, atau minta orang ke sini buat jemput aku!"

Bambang masih terlihat enggan meninggalkanku. Sejujurnya aku juga takut, mengingat ini sudah sore. Tapi ....

"Nyawa orang taruhannya, Mbang!" teriakku kesal.

"Ya udah, tapi beneran lo di sini aja! Tunggu gue!"

Aku mengangguk cepat, dan dengan berat hati, Bambang pun beranjak meninggalkanku.

Hiking memang menyenangkan. Ada banyak spot pemandangan yang indah, dan kita bisa bertemu dengan teman baru. Akan tetapi, saat sendirian tanpa peta, dan di tengah hutan begini, sungguh menakutkan.

Aku berusaha semampuku untuk tetap berpositive thinking. Tetapi, semakin lama, mulai bermunculan suara-suara asing yang langsung membuat bulu kudukku merinding.

Entahlah, itu seperti suara hewan atau apa, yang jelas, itu sangat menakutkan.

Aku tidak tahan lagi, aku sangat takut, jadi aku memberanikan diri untuk kembali berjalan menyusuri jalan setapak. Kata Bambang, sudah tidak jauh lagi, 'kan? Pasti tidak masalah jika aku berjalan sendiri.

Aku menyeret kakiku untuk terus melangkah, hingga aku dihadapkan dengan dua pilihan. Jalan setapak di hadapanku terbagi menjadi dua. Sungguh, ini sangat membuat frustrasi.

Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku pun melangkah menyusuri jalan setapak sebelah kanan. Semua yang baik-baik selalu berada di sebelah kanan. Lagipula, terlihat sedikit jejak kaki di sana. Mungkin itu milik Bambang dan pendaki lain.

Setelah berjalan cukup lama, aku tidak menemukan apa pun, dan hari sudah semakin malam.

Aku terus berlari mencari tempat yang tidak terlalu gelap. Aku takut!

Aku berhenti di pohon yang cukup besar, dan duduk di bawahnya. Ini adalah satu-satunya tempat yang terlihat.

Mungkinkah aku tersesat? Bodoh, aku seharusnya menunggu di sana, dan Bambang akan menemukanku. Kenapa aku harus pergi? Kenapa?

Aku meringkuk di bawah pohon, menutup kedua mata dan telingaku. Suara-suara aneh itu terus terdengar.

Aku melafalkan semua doa yang kutahu, dan tetap saja, rasa takut itu tidak berkurang sedikit pun.

Waktu terasa begitu lama. Hingga sebuah suara terdengar sayup-sayup memanggil namaku.

Tidak, aku masih belum berani membuka mata, bagaimana jika itu adalah suara makhluk halus yang ingin menggodaku?

"Meeelll!"

Suara itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih kencang dari yang sebelumnya.

Aku memberanikan diri untuk membuka mataku, namun saat itu kulakukan, sebuah cahaya yang sangat menyilaukan langsung menusuk mataku, hingga aku langsung memejamkan mataku lagi.

Aku berteriak saking terkejutnya.

"Mel, ini gue!"

Suara itu ....

Aku membuka mataku dengan cepat, dan beringsuk memeluk pria yang berjongkok di hadapanku itu.

"Aku takut," lirihku.

"Gue di sini! Lo aman!" sahut Paijo sambil menepuk pelan punggungku.

Setelah kesadaranku kembali, aku langsung melepaskan pelukanku darinya.

"Kok kamu ada di sini?" tanyaku ragu. Mungkin saja, dia adalah makhluk yang menyamar jadi Paijo. Bukankah itu sangat mungkin terjadi?

"Gue sama anak-anak nyariin lo! Kita berpencar, dan kebetulan gue yang nemuin lo di sini! Yuk balik! Bambang panik banget tahu, nggak!" omel Paijo.

Aku mengangguk pelan. Logika saja, aku nggak yakin kalau makhluk halus suka ngomel. Jadi, fix ini Paijo asli!

Paijo membantuku berdiri.

"Lo kuat jalan?" tanya Paijo pelan.

"Kuat!"

Paijo mengangguk pelan, lalu memimpin jalan. Aku terus menempel di belakangnya, karena aku takut akan tertinggal dan terpisah darinya.

"Shit!" umpat Paijo saat tiba-tiba lampu senternya mati.

"Kok mati?" tanyaku panik.

"Gue lupa charge kemaren!"

"Gimana sih kamu, Jo!"

Paijo menghela napas berat, lalu menoleh ke arahku.

"Lo nggak bawa senter emangnya?"

Oh iya!

Aku pun langsung berjongkok dan mengobrak-abrik isi tasku.

"Gila, barang apa aja sih yang lo bawa? Buset, lo bawa skincare? Ini lagi apaan? Kok bawa beginian lo?" cibir Paijo sambil menunjuk boneka sapi kecilku.

Oke, ini pasti ulah ibu. Sudah kukeluarkan semua barang tak berharga seperti itu dari tasku, jadi kapan ibu memasukkannya lagi?

"Diem aja deh, mending bantu nyari!" protesku.

"Ogah, entar kalo gue nemu harta karun gimana?"

Aku berpikir cukup keras, mencoba mencerna harta karun apa yang Paijo maksud.

"Polkadot!" ungkap Paijo pada akhirnya.

Sial! Kenapa dia masih mengingatnya? Karena kesal, aku langsung memukul lengan pria itu dengan cukup kencang.

"Sakit, gila!" pekik Paijo.

Aku mengabaikan ucapan Paijo, dan kembali mengobrak-abrik tasku untuk mencari senter.

"Kek gini nih, yang gue nggak suka sama perempuan kayak lo!" celetuk Paijo dengan entengnya.

"Perempuan kayak aku? Yang kayak gimana maksud kamu?"