webnovel

No!

Aku merengut kesal memandangi wajah beberapa gadis yang tengah merundungku itu.

Aku sudah biasa dirundung karena miskin, tapi karena pria? Sungguh, ini sangat menyebalkan.

"Nggak usah sok cantik lo! Udah sama Bambang, masih godain Aji juga! Mau lo apa?!" sentak salah seorang dari mereka.

Mauku apa?

"Anak mama modelan lo ini, nggak seharusnya berulah! Lo pikir lo ini siapa? Berani-beraninya mainin anak-anak Roullete!"

Dulu, ibu pernah bilang, untuk tidak membiarkan siapa pun menindasku. Jadi, aku harus melawan.

"Pertama, aku nggak ada hubungan spesial sama Bambang. Kedua, aku juga nggak ada hubungan apa pun sama Aji! Ketiga, aku memang cantik!"

Aku tersenyum sinis mendengar ucapanku sendiri. Oh, dari mana rasa percaya diri itu datang?

Ini pertama kalinya aku melawan seseorang. Rasanya cukup menyenangkan bisa membela diri sendiri seperti ini. Oh, kenapa aku tidak melakukannya seperti ini, dulu?

"Songong banget ni anak baru, harus diberi pelajaran!"

Aku langsung melangkah mundur.

Aku belum pernah berkelahi sebelumnya, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menjambak mereka? Atau, haruskah aku mencubit? Tidak, aku sudah SMA, aku bukan anak SD lagi. Siapa yang akan menjambak dan mencubit di SMA? Itu sangat konyol!

"Heh, lo pada nyari ribut sama Roullete? Udah tahu dia cemcemannya Bambang, pake lo bully lagi! Mengadi-ngadi banget lo!"

Suara nyaring seseorang, terdengar dari arah belakang para gadis itu. Setelah menoleh dan melihat siapa yang ada di sana, para gadis itu langsung lari meninggalkanku.

Aku bergeser untuk melihat siapa di sana. Seorang gadis cantik berambut panjang berdiri dengan senyum mengembang ke arahku.

"Hai!" sapa gadis itu.

"Kamu siapa?"

"Gue? Ah iya, kenalin gue Naya! Gue anak Roullete juga! Lo Melody, kan?"

Aku mengangguk pelan.

"Tahu dari mana?"

"Bambang yang cerita! By the way, lo jangan takut sama mereka, kalau mereka macem-macem sama lo, tinggal sebut nama gue, mereka pasti lari!"

Aku hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Naya. Aku pun beranjak mendekat ke arahnya.

"Makasih udah bantu tadi," ucapku pelan.

Gadis itu merangkul pundakku, lalu tersenyum lebar ke arahku.

"Nggak masalah! Lagian, lo itu cemcemannya Bambang, jadi emang udah jadi tugas anak Roullete buat ngelindungin lo juga!"

Kenapa?

"Keknya kamu salah paham, aku sama Bambang nggak punya hubungan apa-apa."

"Belum kali!"

"Nggak akan sih, kayaknya!"

Naya mengajakku berjalan menyusuri koridor menuju kantin.

Dan sepanjang jalan yang kami lewati, semua mata terpaku ke arah kami. Apakah Naya ini orang yang cukup berpengaruh di sekolah? Kenapa mereka semua melihat kami seperti itu?

"Bambang kelihatan khawatir banget sama lo! Dia sering nyeritain tentang lo ke gue!"

"Jangan salah paham, dia khawatir bukan karena suka sama aku, tapi takut sama ibuku, dan emaknya. Mereka selalu mewanti-wanti Bambang buat mengawasiku!" sahutku sambil menahan tawa.

Naya langsung tertawa dengan begitu lepasnya.

"Lo tuh yang salah paham! Emang bener emaknya Bambang itu serem, tapi asal lo tahu, Bambang itu bukan tipe orang yang akan nurut gitu aja sama perintah emak kecuali dia sendiri emang mau!"

Eh, tunggu! Gimana maksudnya?

"Lo tahu, sepanik apa Bambang pas tahu anak Blackstone ada di deket sekolah? Dia sampai minta Gepeng buat nyari lo, dan antar lo pulang!"

Gepeng? Ah, pria jakung tempo hari?!

"Kalian, Roullete itu, emang suka tawuran apa gimana? Kalian punya banyak musuh?"

Aku tahu, tidak seharusnya aku mengatakan ini, tapi rasa penasaranku tidak bisa dibendung.

"Ceritanya rumit. Ada baiknya, Bambang sendiri yang cerita sama lo! Untuk sekarang, jangan mikir macem-macem, dan have fun aja nikmatin hidup sebagai anak SMA!"

Aku sungguh tidak bisa memahami gadis yang satu ini. Meski ia terlihat asal bicara, tapi setiap kata yang ia ucapkan terdengar begitu dalam dan bermakna.

Roullete, astaga! Mereka ini apa? Ada apa dengan mereka? Bambang bilang, mereka hanyalah sekumpulan orang bandel, tapi tidak seperti itu menurutku. Mereka terlihat cukup baik.

"Tapi, ngomong-ngomong, kenapa itu cewek-cewek kurang belaian ngira kalau lo deket sama Paijo?" Naya melirik ke arahku dengan tatapan penuh selidik.

Aku sendiri tidak tahu, selama aku sekolah di sini, aku tidak pernah bergaul dengan para pria, apalagi Paijo. Jadi, kenapa para gadis itu menyebut namanya?

"Ah, mungkin karena waktu itu dia meminjamiku jaketnya? Pantas saja semua orang melihat ke arahku, mungkin mereka tahu kalau itu jaket Paijo." seruku tiba-tiba.

Ya, aku ingat. Saat itu memang semua orang menatap aneh ke arahku. Lebih tepatnya ke arah jaket yang kukenakan.

"Dan kenapa dia minjemin lo jaketnya? Dia nggak lagi godain lo, 'kan?"

Menggodaku? Oh! Apakah si Paijo ini playboy yang suka menggoda para gadis?

"Kami bertabrakan, dan seragamku basah! Dia hanya sedang berbaik hati."

Naya terkekeh pelan. Ia terlihat sangat tidak mempercayai ucapanku.

"Tuh, anak-anak lagi pada makan. Gabung, yuk!" Naya setengah menyeretku menuju tempat Bambang dan lainnya.

Aku langsung berhenti melangkah dan menggeleng pelan.

"No, ada temen-temenku juga di sana. Aku gabung sama temenku aja." seruku cepat.

"Lo nggak lagi menghindari anak-anak Roullete karena kejadian tadi, 'kan?" selidik Naya.

"Enggak, cuman nggak nyaman aja karena kami belum kenal sebelumnya."

"Itu bukan masalah!"

"Bambang juga suruh aku buat jauhin anak Roullete, jadi kita pisah di sini aja!"

Bukannya kesal, Naya malah tertawa renyah.

"Nggak mau tahu! Yuk, gabung!" Naya menyeretku menuju tempat Roullete makan.

"Mel, udah makan?" tanya Bambang begitu kami sampai di sana.

"Gue belum makan Mbang, astaga laper banget sumpah! Traktir dong!" sela Naya cepat.

"Gue nggak nanya elo!" sahut Bambang sinis.

"Pelit lo!"

"Noh, pak ketua abis dari ATM! Duitnya merah semua!" celetuk salah satu di antara mereka.

"Oh ya? Mana Yogo?" Naya langsung celingak-celinguk, dan tersenyum lebar melihat seseorang yang baru saja memasuki kantin.

"Yogooo, traktiiir!" teriak Naya sambil meninggalkanku dan beranjak menghampiri pria itu.

"Duduk sini!" Bambang menarikku untuk duduk di dekatnya.

"Lo mau makan apa, Mel?" tanyanya pelan.

"Kenyang, tadi abis makan bekal dari ibu di kelas."

"Enak dong! Masakan tante mah nggak ada duanya. Andai nyokap gue pinter masak kayak tante, bahagia banget idup gue." seru Bambang pelan.

"Tapi, bukannya om bisa masak? Kata ibu, masakan om uyon itu enak!"

"Enak sih enak! Tapi, mana mau bokap masak kalau enggak lagi ada maunya?"

Aku tersenyum geli. Benar juga. Kalau ada seorang ibu di rumah, untuk apa bapak-bapak masak? Nanti si ibu insecure lagi.

Apalagi kalau ibu-ibunya galak kayak Tante Yuyun.

"Ini yang namanya Melody? Wih cantik, jodohin sama gue, Mbang!" celetuk salah seorang dari gerombolan Bambang.

"Ngimpi!"