15 Markas Roullete

Setelah mendapat izin dari ibu, aku pun ikut Naya ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan yang akan kami masak.

Naya sangat ramah, meski sangat blak-blakan dan tidak ada lembut-lembutnya sama sekali jadi perempuan. Well, aku mengerti sih, karena kata Bambang, Naya itu jago ilmu beladiri, jadi pastinya dia bukanlah perempuan yang menye-menye.

"Bikin apa, ya? Gue males masak," gumam Naya sambil berjalan gontai menyusuri pasar.

"Emang harusnya makanan berat atau ringan, sih?"

"Ringan aja sih, biasanya aku bikin kek donat, pizza KW, burger, roti isi, kek gitu-gitu lah."

Aku mengangguk paham.

"Itu ada ketela, beli ya!" Aku menyeret Naya menuju kedai yang menjual ketela.

"Lo mau bikin apaan?" tanya Naya bingung.

"Cemilan tanggal tua!" sahutku sambil mengedipkan sebelah mataku.

"Okedeh, gue suka tuh kalo yang murah-murah!" Naya menunjukan cengiran lebarnya.

"Terus, bikin cilok gimana?" usulku.

Tidak ada orang yang tidak suka cilok! Iya, 'kan? Apalagi, kalau sambalnya di racik pedes, asin, manis.  Siapa yang bisa menolak?

"Lo bisa bikinnya?"

Aku mengangguk pelan.

"Oke deh, dua itu aja, nanti kita beli jajanan tradisional juga buat tambahan." seru Naya dengan penuh semangat.

Aku mengangguk pelan. Kami pun membeli bahan-bahan yang diperlukan, lalu segera pergi meninggalkan pasar.

Naya membawaku ke sebuah rumah yang cukup lapang. Rumah yang katanya digunakan untuk menjadi markas Roullete. Tidak ada keluarga yang tinggal di sini, hanya anak-anak Roullete yang sering datang dan bersantai.

Bambang dan beberapa anggota Roullete lainnya sudah berada di sana ketika kami tiba.

Aku mengabaikan tatapan mereka, dan mengekori Naya menuju dapur.

"Oke, gue sama sekali nggak tahu harus diapakan ketela ini!" celetuk Naya begitu menaruh semua bahan ke atas meja.

"Kamu kupas ketelanya, cuci, dipotong-potong, terus rebus pakai sedikit garam!"

"Kek gitu doang? Yakin lo? Mana mau mereka makan begituan?"

"Nggak dong, nggak gitu doang! Habis di rebus, kita potong lagi tipis-tipis memanjang, terus kita goreng, kalo udah nanti kita campur sama bubuk balado yang biasa di kasih di cimol itu loh, Nay! Ngerti, 'kan?"

Mata Naya melebar, ia lalu mengangguk pelan.

"Jadi, lo mau bikin ketela yang diolah sama balado kayak merk terkenal itu? Wah, dan caranya sesimpel ini, dong?!"

Aku mengangguk mendengar pertanyaan Naya.

"Oke, gue laksanakan! Instruksi sudah jelas, jadi lo fokus ke cilok aja!" seru Naya dengan semangatnya.

Saat adzan maghrib berkumandang, anggota Roullete yang beragama muslim, menunaikan ibadah sholat, setelahnya mereka pun pergi.

Hanya tinggal Bambang seorang di sini.

Bambang memasuki dapur sambil melipat tangannya di dada.

"Widih, harum bener dapur!" celetuk Bambang.

"Heh, tuh air panas tuang ke teko! Bikin kopi sana!" perintah Naya.

Meski cemberut, Bambang tetap melakukannya.

Ia membuat kopi di teko besar yang Naya tunjuk. Setelahnya, ia membawa  teko tersebut ke luar dan menaruhnya di bawah kipas angin.

Tak lama, datanglah seseorang dari arah pintu masuk. Seorang perempuan yang terlihat sangat cantik, namun tomboi.

"Sendirian aja, lo?" tanya Bambang pelan.

"Bukan urusan lo!" ketus gadis itu.

Wah, ini pertama kalinya aku melihat ada gadis yang ketus seperti itu pada Bambang. Aku bisa melihat mereka cukup jelas dari dapur.

"Kenapa sih? Lagi badmood? Gilang bikin ulah lagi?" sahut Bambang dengan santainya.

Gadis itu tidak menjawab, dan hanya duduk di kursi ujung sambil memainkan handphone-nya.

"Kok lo nggak angkat telepon gue sih, tadi?"

"Kenapa juga gue harus mengangkat telepon orang yang udah punya pacar! Ntar dikira orang ketiga lagi, gue!" ketus gadis itu lagi-lagi.

Wait, pacar? Bambang punya pacar? Kok aku baru tahu, ya?

"Apa sih, Ca? Yang jelas dong kalau ngomong! Gue? Punya pacar? Ngelindur lo ya?!" seru Bambang dengan wajah cengonya.

Aku menoleh ke arah Naya.

"Nay, siapa sih dia?" tanyaku setengah berbisik.

Naya yang sedang fokus menggoreng langsung mendekat ke arahku.

"Namanya Naca, calon pacar Bambang! Orangnya galak! Jangan ganggu mereka," ucap Naya berbisik juga.

Oalah, baiklah.

"Nggak usah akting lo, Mbang! Gue lihat ya, postingan cewek lo waktu kalian di puncak! Romantis banget kalian, sampai hiking bareng!" ketus Naya.

Aku menutup mulutku rapat-rapat. Permisi, tapi yang sedang dia bicarakan itu aku, 'kan? Haruskah aku sembunyi?

Tapi, aku sama Bambang tidak memiliki hubungan seperti itu, jadi untuk apa aku sembunyi? Di mana akal sehatku?

"Cemburu lo?" sahut Bambang dengan suara datar.

"Gue? Cemburu?!" sinis gadis itu.

Aku bisa melihat senyuman aneh terbit di wajah Bambang.

"Dia bukan pacar gue! Pacar gue itu lo, 'kan? Eh, bukan, calon pacar deng!" Bambang menatap gadis itu lekat-lekat.

"Dia itu adek temu gedhe gue! Anaknya tante kesayangan gue!" terang Bambang.

"Lagian, lo kalo liat postingan dia, jangan satu doang dong, peak! Itu di akunnya juga ada foto dia sama Gepeng, dia sama Paimin juga ada! Mengadi-ngadi lo emang! Bilang aja jealous!"

Naca tersenyum penuh arti. Ia tampak senang setelah mendengar penjelasan Bambang.

"Mel, lo sama Bambang beneran nggak ada hubungan apa-apa selain kakak-adek, 'kan?"

Aku nyaris tertawa mendengar pertanyaan Naya.

"Tanpa mengurangi rasa hormat, Bambang bukan tipeku!" sahutku berbisik.

Naya terkekeh pelan.

"Terus, tipe lo kayak gimana? Atau, kayak siapa gitu contohnya? Please jangan sebut nama Yogo! Ribut lo entar sama gue!"

Sungguh, wajah Naya sangat mengerikan saat melarangku menyebut nama Yogo.

"Aku suka pria yang punya etika yang baik, perhatian, humoris, ganteng, tinggi, yah yang kayak gitu lah kurang lebih!"

Naya berpikir sejenak sambil meniriskan ketela yang selesai ia goreng.

"Kek Paijo gitu, nggak sih?"

Tunggu!

Apa?

Paijo?!

Aku menghela napas panjang. Apa Naya sedang mengejekku? Atau apa? Kenapa dia menyebut nama Paijo setelah mendengar tipe idealku?

"Bukannya tadi aku menyebut etika yang bagus, perhatian, dan humoris?!" protesku.

Naya menatapku lurus-lurus.

"Paijo itu, biasanya kalau sama perempuan, etikanya baik, menghormati perempuan gitulah! Dia itu lawak juga orangnya, daaan, tentu aja dia orangnya perhatian! Terlebih sama perempuan," ucap Naya tanpa keraguan sedikit pun.

"Kamu yakin dia kayak gitu?" tentu saja aku langsung meragukan pendapat Naya.

"Gue kenal dia dari kecil!"

"Aku nggak tahu seberapa baiknya kamu mengenal dia, tapi apa yang dia tunjukin ke aku, jauh dari apa yang kamu ucapin barusan! Dia itu kasar! Mulutnya lebih pedas dari bon cabe, dan tatapan matanya selalu mengintimidasi! Dia sama sekali bukan pria humoris! Dan perhatian? Di mataku, dia itu adalah pria yang tidak ingin repot-repot mengurusi urusan orang lain!"

Naya melongo tak percaya. Sungguh berbanding terbalik dengan pandangannya, bukan?

"Lo yakin kita lagi membicarakan orang yang sama?" pekik Naya tak percaya.

"Emang, di Roullete ada berapa Paijo?" tanyaku bingung.

"Satu!" sahut Naya cepat.

"Ya udah!"

avataravatar
Next chapter