webnovel

Ketua Roullete

"Wuah! Gila!" pekikku begitu hebohnya.

Siapa sangka, pemandangan di puncak gunung bisa seindah ini? Luar biasa!

"Mbang, fotoin aku di sana!" Aku menarik-narik lengan jaket Bambang.

"Jangan di sana! Bahaya! Entar, lo kegelincir, jatuh, guling-guling, terus kenapa-napa lagi!" sahut Bambang dengan entengnya.

"Enggak akan! Aku akan hati-hati!"

"Nggak! Lo kemaren juga udah gue wanti-wanti buat nunggu gue dan nggak kemana-mana juga nggak bisa nepatin!" ketus Bambang.

Iya tahu, aku memang bersalah untuk yang satu itu. Tapi, bukankah ini dua kasus yang berbeda? Menyebalkan!

"Kalo fotonya sama gue, nggak apa-apa dong, gue bisa pegangin Melody kalo dia mau jatuh!" celetuk Gepeng yang tiba-tiba merangkul pundak Bambang.

"Wait, apa-apaan nih? Lo ga ada maksud terselubung, 'kan?" sahut Bambang dengan mata menyipit, dan tatapan penuh selidik.

"Apaan lo tanya kek gitu? Gue cuman kasihan aja, Melody udah sampai puncak gitu, Mbang! Terus lo nggak ngebolehin dia foto di spot terkeren di sini? Nggak kasihan lo?!"

"Iya juga sih, ya udah deh sana! Gue yang fotoin!" seru Bambang pada akhirnya.

Gepeng dan aku pun, langsung menuju ke tepi, dan berpose di sana.

Aku cukup terkejut saat tiba-tiba Gepeng merangkul pundakku, dan tersenyum ke arah kamera.

Bukankah dia terlalu santai? Dia sendang merangkulku, bagaimana dia bisa sesantai itu saat jantungku berdebar tak karuan?

"Senyum, Mel!" seru Bambang.

***

"Ini kamu serius mau bawa motor sendiri?" pekik ibu saat aku mengeluarkan motor matic dari garasi.

Aku mengangguk dengan mantap, dan tersenyum dengan sangat lebar.

"Melody harus mandiri dong, masa mau nyusahin Bambang terus?!" sahutku, lalu menyalakan motor, untuk memanaskan mesinnya.

"Tapi, Bams nggak keberatan kok dimintain tolong buat anter-jemput kamu! Dia sendiri yang bersedia!" protes ibu.

"Iya, Bambang emang nggak keberatan. Melody yang nggak enak hati, Bu! Lagian, Bambang itu kalau sore, ada perkumpulan gitu sama temen-temennya. Gak enak kalau nyusahin dia terus."

"Mau diantar supir aja, nggak?"

"Nggak mau, maunya pakai motor sendiri. Sekalian mau pamer ke temen-temen kalau Melody bisa naik motor!"

Ibu terkekeh mendengar ucapanku.

"Ya udah terserah kamu aja, yang penting hati-hati! Tapi, ini nggak kepagian? Baru setengah enam lho!"

Aku melirik ke atas langit. Memang masih terlalu pagi untuk berangkat. Tapi, untukku yang pemula dalam mengendarai motor, semakin sepi, semakin bagus!

"Biar lebih santai bawa motornya!"

Ibu tersenyum simpul, dan aku pun berpamitan padanya.

Aku mengendarai motorku keluar dari gerbang rumah, dan menyusuri jalanan komplek perumahan.

Seingatku, dulu Bambang pernah lewat jalan pintas ke sekolah saat kami hampir terlambat. Jadi, kuputuskan untuk melewati jalan itu demi menghindari jalan raya yang pastinya sudah mulai ramai.

Tapi tunggu, ada dua belokan! Yang mana belokan yang menuju sekolah?

Aku berhenti di tepi jalan untuk menelepon Bambang. Bertanya, jalan mana yang harus kuambil, sayangnya pria itu mengabaikan panggilanku.

Ke mana dia hingga tidak mengangkat teleponnya? Menyebalkan sekali!

Sepertinya, aku harus memutuskannya sendiri. Terakhir aku membuat keputusan, aku berjalan di jalan yang salah.

Jadi ....

Belok kiri!

Dengan penuh percaya diri, aku mengendarai motorku, dan memilih belokan sebelah kiri.

Semula, jalanan cukup lebar seperti biasa, tapi semakin lama, jalanan semakin sempit. Aku pun berhenti dan menoleh ke sekitarku. Tidak ada siapa pun di dekat sini. Daripada tersesat, lebih baik aku kembali saja.

Sayup-sayup terdengar suara segerombolan orang yang tengah bercanda dari gang di dekatku. Saat aku turun dari motor, bermaksud untuk bertanya, aku terkejut melihat segerombolan pria tersebut terlihat seperti berandalan.

Aku segera berbalik dan berlari menuju motorku. Sayangnya, mereka sudah melihatku.

"Hei, cantik! Kenapa lari?!" seorang pria mengejarku.

Pria itu lebih dulu sampai di motorku, dan langsung mencabut kunci motorku, lalu menyimpannya di saku celananya.

Matilah aku!

"Maaf Bang, kunci motor saya!" suaraku bergetar saat mengatakan itu.

"Jangan buru-buru dong! Ini masih pagi, sekolahan juga pasti masih pada tutup gerbangnya! Main bentarlah sini sama abang!" sahut pria lainnya yang juga menghampiriku.

"Abang mau uang? Saya kasih, tapi biarkan saya pergi!" pintaku.

Plak!

Seseorang memukul kepalaku dari belakang. Sangat sakit hingga mataku langsung berkunang-kunang.

"Kurang ajar lo! Lo pikir kita ini pengemis? Tukang minta-minta! Nggak sopan lo!" sentak pria yang memukulku.

Lututku sudah selemas jelly sekarang.

Tidak mungkin untuk kabur, dan tidak bisa meminta tolong? Apa yang harus kulakukan?

"Bram, santai aja dong. Dedek cantik jadi nangis tuh gara-gara lo pukul!" seru salah seorang di antara mereka.

"Dia lagi mabok, belum sadar tuh! Lihat aja matanya masih merah!" sahut yang lainnya.

"Gini deh, kalau Adek mau nemenin abang bobok bentar, nanti abang anterin ke sekolah!" seru pria yang mengambil kunci motorku. Ia mengelus-elus pipiku dengan punggung tangannya yang kasar.

Lebih baik mati daripada harus tidur dengan pria menjijikan seperti dia.

"Tolong!!!" Aku berteriak sekencang mungkin.

Plak!

Bruk!

Pria yang kutahu bernama Bram itu kembali melayangkan tangannya, dan menampar pipiku hingga aku terjatuh menimpa motorku yang juga langsung ambruk.

"Jangan kasar, Bram! Ini dedek cantik peak! Ntar pipinya memar, gak jadi cantik!"

"Salah siapa dia teriak!"

Aku berusaha bangun dan berlari, tapi tentu saja mereka dengan bisa mudah menangkapku.

"Lo lepasin, apa gue mampusin lo satu-satu?!"

Kami semua langsung menoleh ke arah suara yang begitu tegas dan penuh tekanan itu.

Meski aku tidak tahu namanya, aku tahu bahwa dia adalah salah satu anggota Roullete.

Apakah dia bisa berkelahi? Apakah aku selamat?

Ciiiittt!!!

Sebuah motor melesat ke arah kami, dan berhenti di dekat anggota Roullete itu. Dia ....

"Brengsek! Pagi-pagi udah bikin ribut!" umpat Paijo penuh amarah.

Para berandalan itu terpancing, mereka langsung mendorongku ke belakang, dan mulai menyerang Paijo dan temannya.

Sepertinya Tuhan sedang berpihak kepadaku. Ia telah mengirimkan dua pria yang jago berkelahi untuk menyelamatkanku.

Ini sungguh luar biasa, adegan yang aku lihat ini lebih mirip dengan adegan dalam film action.

Tak butuh waktu lama hingg mereka berdua bisa mengalahkan para berandalan itu, dan membuat mereka lari terbirit-birit dengan sisa tenaga mereka.

"Lo nggak apa-apa? Ngapain sih lo di sini?" sentak Paijo.

Di sentak seperti itu, sungguh membuat hatiku hancur. Aku baru saja mengalami sesuatu yang begitu berat, tidak bisakah ia sedikit melunak padaku? Apa aku melakukan kesalahan, hingga pantas untuk di bentak seperti itu?

Setetes air mataku jatuh, dan terasa panas saat mengenai pipiku yang pasti masih merah karena tamparan Bram.

"Pipi lo merah, mereka nyakitin lo?"  tanya pria lainnya.

Aku melirik seragamnya, dan membaca name tag-nya.

Ahmad Prayogo? Ketua Roullete?