webnovel

Kejanggalan

"Bagus lo ya! Ke Bali gak pamitan biar apa? Takut gue mintain oleh-oleh lo?" semprot Bambang begitu aku turun dari mobil Gepeng bersama Naya.

Aku langsung menunjukkan senyuman tanpa dosaku pada Bambang. Yah, aku baru saja kembali sore tadi setelah beberapa hari ikut dengan ibu di Bali.

Kami sekarang berada di markas aliansi, aku membantu Naya menyiapkan wedang ronde untuk mereka.

"Nay, lo lagi berantem sama Yogo?"

Asli, aku cukup terkejut mendengar pertanyaan Paijo pada Naya. Bagaimana pasangan serasi seperti mereka bisa bertengkar?

"Ntar aja gue ceritain! Nih, wedang jahe! Anget dan sehat! Biar terhindar dari segala macam virus!" Naya pun menyodorkan segelas mika wedang ronde pada Paijo.

"Pedes Nay, lo kan tahu kalo gue gak suka jahe!"

"Lo bukan anak kecil yang gak mau minum atau makan sesuatu hanya karena gak suka! Buruan minum! Lagian jahenya tuh gak sebanyak bikinan Mami! Amanlah ini!"

Aku beralih duduk di samping Bambang untuk sekedar meluruskan kakiku. Entah kenapa kakiku ini sangat pegal.

"Gue di omelin nyokap gara-gara lo ke Bali nggak pamit. Dikiranya gue nakalin lo! Gak paham lagi, padahal gue yang anaknya, malahan lo yang di sayang. Kan jahat!" Bambang mengomel dengan tatapan tajam.

Aku tertawa renyah. Sukurin!

"Nay ..."

Kami semua menoleh dengan kompak ke arah Gabriel, si anak TG yang memanggil nama Naya dengan suara berat.

"Udah lo putusin cowok lo?" tanyanya datar.

Aku cukup terkejut. Meski dekat dengan Yogo, setahuku Naya itu tidak memiliki pacar. Jadi, siapa yang Gab maksud? Aku jadi kepo.

"Belum, pacar gue habis operasi plastik dong, mukanya jadi tambah ganteng. Sayang kalo di putusin!" sahut Naya asal.

Gepeng dan Paijo hanya tersenyum tipis sementara Gabriel mengernyit bingung.

"Becanda Gab," seru Naya pelan.

Gabriel merengut kesal.

"Jadinya udah putus belum?"

"Udah! Udah gue hempas dia!"

"Sekarang lo pacar gue kalo gitu!" Gabriel mengacak-acak pucuk rambut Naya.

Suasana jadi hening seketika. Dan tiba-tiba saja Gepeng menarikku menjauh dari markas dan setengah mendorongku masuk ke dalam mobil.

Aku masih bisa melihat punggung Paijo yang sepertinya sedang cekcok dengan Gabriel.

Tunggu, kenapa mereka berantem?

"Masih banyak yang harus kita anter," kata Gepeng lalu melesakkan mobilnya kencang meninggalkan markas.

"Paijo!" pekikku saat Paijo di sana melayangkan tinjunya pada Gabriel.

Bukannya berhenti, Gepeng malah mengemudikan mobilnya lebih kencang.

"Peng, berhenti! Kamu gak lihat Paijo mukul Gabriel?"

"Ada Alif sama Bambang di sana. Dia gak akan biarin mereka mati!" sahut Gepeng dengan santainya.

Maksudnya gimana?

"Peng?!"

"Lo gak liat mata Paijo tadi? Dia akan ngamuk, dan itu akan sangat membuang waktu kita. Lo tahu kita harus nganterin makanan-makanan ini ke markas yang lain, 'kan?"

Aku masih tidak mengerti, mengapa Gepeng malah meninggalkan temannya, bukannya berniat memisah atau apa.

"Gak usah khawatir, mereka udah gedhe juga. Kalo kalah juga pasti nyerah."

Sesantai itu Gepeng menanggapinya? Demi apa?

Serius, mereka itu kenapa? Apa harus semua nya di selesaikan dengan adu jotos? Mereka punya mulut sama otak itu di pake apa? Dan wait, apa Paijo melakukan itu karena Naya? Tapi, Naya itukan suka sama Yogo?! Wah!

"Santai aja, Mel! gak usah khawatir!"

Gepeng tersenyum miring. Ia sama sekali tidak melirikku.

***

Di markas terakhir, hanya ada anak-anak Roullete yang di handle Yogo. Mereka langsung menyerbu makanan yang di bawa Gepeng dan ribut karena tidak ada kopi.

Jujur saja aku masih kepikiran dengan anak-anak di post sebelumnya. Siapa yang kalah? Paijo, atau Gab?

"Udahlah lo santai aja, gak bakalan mati itu anak! Dia kan nyawanya ada sembilan!" Gepeng menoel lenganku pelan.

"Emang dia kucing, punya nyawa sembilan?"

Gepeng tertawa renyah lalu mengambil gorengan dan memakannya di sebelah Yogo yang menatapku datar.

Serius, itu mukanya tidak usah selempeng itu bisa?

"Paijo kenapa?" tanya Yogo ke Gepeng.

"Dia nonjok Gabriel. Tapi tenang, ada Alif, Bambang, sama anak-anak TG juga di sana, amanlah." jawab Gepeng setelah mengunyah pisang goreng di tangannya.

Aman dia bilang? Gila.

"Harusnya yang lo khawatirin itu Gabriel. Paijo kalo ngamuk lebih serem dari Gilang!" kata Yogo sambil melirik ke arahku.

Bodoamat, Gilang yang mana saja aku tidak ingat. Lagian, siapa juga yang khawatir? Aku hanya penasaran siapa yang menang dan kalah.

"Lagian, kenapa sih Jo nonjok orang?" tanya Yogo lagi.

"Lo tahu lah dia paling gak suka kalo punyanya di ganggu orang!" sahut Gepeng sambil melirikku.

Tunggu, gimana sih maksudnya? Punyanya? Naya maksudnya? Mungkinkah ada cinta segitiga?

Yogo menghela napas panjang lalu tersenyum tipis.

Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk ke dalam handphone-ku.

Aku pun mengangkatnya, dan terdengar suara Paijo dari sebrang sana.

"Gue masih hidup!" kata Paijo dari sebrang sana.

"Syukur deh!" ketusku.

Dan, kenapa juga aku terdengar begitu kesal? Ada apa denganku?

"Kalo lo khawatir sama gue, lo harusnya gak genit-genit sama Gepeng!"

Tunggu!

Aku apa?

Genit?

"Gak jelas!" aku langsung memutuskan panggilan Paijo, dan beranjak meninggalkan markas.

Seseorang berlari mengejarku dan mencekal tanganku untuk menghentikan langkahku.

"Lo mau kemana?" tanya Gepeng bingung.

"Mau nyari signal! Di sini signalnya jelek! Tenang aja! Aku gak akan pergi jauh-jauh kok!" sahutku pelan.

"Gue temenin, ya?!"

"No, nggak perlu, aku butuh ruang buat sendiri. Bentar aja kok!"

***

"Kak, aku mau pulang, tapi karena udah malam jadi gak berani sendiri. Kakak mau anterin nggak? Mamaku pasti khawatir di rumah."

Aku melirik jam dinding yang tertempel di warung yang ku lsinggahi. Sudah jam setengah sebelas.

Ini anak siapa lagi malem-malem gini masih di luar? Jelas emaknya nyari sih kalau ini.

"Ya udah kakak anterin pulang. Emang rumah adek dimana?"

"Dekat sini kok Kak, tapi lewat kuburan china! Takut ada vampir nyegat!"

"Kalau takut ya jangan pulang malem dong sayang!"

"Iya Kak," ucapnya menyesal.

Setelah membayar minumanku, aku bergegas mengantarkan anak itu pulang ke rumahnya. Kami berjalan menyusuri kuburan china yang anak itu maksud tadi.

Sejujurnya aku takut, tapi kasihan anak ini.

"Kamu habis ngapain sih jam segini masih di luar?" tanyaku pada bocah lelaki di sebelahku ini. Umurnya mungkin sekitar sembilan atau sepuluh tahunan kurasa.

"Ngerjain tugas di warnet, tapi karena gak paham, jadi baru selesai sekarang."

"Lain kali minta anterin orang tua atau kakaknya aja ya. Bahaya kalau malem-malem sendirian. Digondol kuntilanak tahu rasa kamu!"

Bocah itu mendongak menatapku dan tersenyum tanpa dosa.

"Aku nggak takut sama kuntilanak, takutnya sama vampir kak!"

Dasar bocah!

Setelah melewati jalan setapak dengan rawa-rawa di kanan kiri jalan, kami sampai di sebuah gubuk yang sudah reyot.

Di detik itu juga, napasku tercekat dan tubuhku merinding.

Ini bukan anak kuntilanak, 'kan? Kenapa rumahnya seperti ini?

"Goblok, masuk perangkap juga, kan lo!" suara seseorang memecah keheningan malam.

Halo pembaca ^^ semoga masih betah dikisah Melody ini ya ....

Saya harap, pembaca setia Melody enggak akan uncollection, dan ninggalin Melody meskipun bab berikutnya dikunci, karena pembaca semua masih bisa membaca kisah ini menggunakan voucher.

Saya sangat sangat berharap untuk tidak meninggalkan karya saya. Terima kasih sudah berkenan mampir ^^

LueSie98_creators' thoughts