webnovel

Hiking

"Nggak boleh! Gimana kalau terjadi sesuatu di sana nanti?!" seru ibu setengah berteriak.

"Ada guru, sama temen-temen yang lain, Bu. Lagian semua anak ikut, masa Melody enggak?"

Ibu menggeleng pelan. Ia lalu meraih kedua tanganku, dan menggenggamnya erat.

"Dulu, waktu SMA, ibu pernah ikutan acara kayak gini juga. Temen ibu, ada dua orang yang menghilang di atas gunung, baru ketemu setelah seminggu, itu aja keadaan mereka udah nggak baik banget pokoknya! Gimana kalau kamu kayak gitu juga?"

"Ibu tenang aja, Melody akan terus ada di dekat guru, jadi nggak mungkin hilang. Ya, please, Ibuuu, Mel pengen ikutan! Dulu, Melody nggak bisa ikut karena nggak punya uang, sekarang Mel punya, tapi tetep aja nggak bisa ikutan."

Ibu nampak sedikit luluh mendengar ucapanku, namun ia masih terlihat begitu khawatir.

"Ibu takut kalau terjadi sesuatu sama kamu! Itu acara apa, sih? Orang tua boleh ikut nggak?"

Aku langsung menggeleng cepat.

"Itu acara untuk memperingati hari jadi sekolah. Orang tua nggak boleh ikutan!" seruku cepat.

Ibu langsung merengut. Ia menatapku dengan sangat tajam, lalu tiba-tiba ia mengambil handphone miliknya, dan melakukan sebuah panggilan di sana.

"Bams, kamu ikut acara hiking itu, nggak?" tanya ibu begitu telepon tersambung.

"Enggak, Tante!" sahut Bambang.

Aku mendengar suaranya dengan cukup jelas karena ibu menekan mode loadspeaker di handphone-nya.

"Tuh, Mel! Bams aja nggak ikut! Kamu juga nggak usah!" seru ibu sambil menatapku tajam.

"Terus apa urusannya kalau Bambang nggak ikut? Bambang ya Bambang, Melody ya Melody! Ibuuu, ayo dooong, Mel pengen ikutan," rengekku.

"Tapi Bams aja nggak ikut!" Ibu masih bersikeras.

"Ya terus hubungannya apa?"

"Nanti mggak ada yang jagain kamu, Mel!"

"Nanti Melody nempel terus sama wali kelas, aman itu Bu!"

"Wali kelas itu pasti banyak urusan, dia nggak cuman ngurusin kamu doang!"

"Tapi Melody pengeeen!"

Ibu menatapku sangat tajam, membuatku langsung bergidik ngeri.

"Gini aja, kalau Bams ikut, kamu boleh ikut, kalau dia nggak ikut, jangan harap kamu boleh ikut!"

Mendengar hal itu, aku langsung merebut handphone milik ibu, dan membawanya pergi ke kamar. Telepon masih tersambung pada Bambang.

"Bambang," panggilku pelan.

"Nggak mau! Gue males ikutan acara kek gitu! Buang-buang waktu!" sahut Bambang tanpa menunggu aku bertanya.

"Please dong, ikuuut! Aku janji bakal baik ke kamu, aku kasih kamu satu permintaan! Apa pun itu! Pleaseee, ikuuut!"

Terdengar kekehan seorang pria dari sebrang sana. Aku tahu benar bahwa itu bukan suara Bambang.

"Nggak! Nggak ada yang gue pengenin dari lo, jadi tawaran lo itu nggak guna!" seru Bambang dengan nada datar.

"Astaga, jahat banget sih kamu, Mbang!" pekikku kesal.

"Males ya males! Lo mau ngajak ke mana akan gue temenin, tapi kalau hiking? Ogah, pake banget! Tak sudi!"

Ingin aku mengumpat sekasar-kasarnya, tapi tentu saja tidak kulakukan karena bagaimanapun juga, Bambang adalah satu-satunya kesempatan yang kumiliki untuk ikut.

"Mbang, aku kerjain PR kamu selama sebulan juga nggak apa-apa, please dong, masa tega sih? Aku pengen banget ikuuut, ayo dong Mbang!"

"Iyain aja kenapa sih, sama perempuan tega banget lu, Mbang!" celetuk seseorang di sana.

Aku tidak tahu siapa yang berbicara karena aku belum pernah mendengar suara itu sebelumnya.

"Mbang, ini kamu beneran gak mau ikut? Yakin? Kalau gitu, kamu harus tanggung resikonya!" ancamku.

"Wait, resiko apaan nih?!" pekik Bambang.

"Nanti malem, aku bakal datengin rumah kamu, terus bilang ke Om Uyon kalau yang ngerusakin action figure kesayangan Om Uyon itu kamu!"

"Wah, anjir! Lo jangan sembarangan, Mel! Dasar aduan lo!" pekik Bambang panik.

"Salah kamu sendiri, diminta baik-baik masih aja nolak! Bikin simpel ajalah Mbang, kamu ikut, atau aku aduin ke bapak kamu!"

Suara tawa yang renyah langsung terdengar dari sebrang sana.

Mungkinkah Bambang meloadspeaker panggilan ini, hingga teman-temannya bisa mendengar percakapan kami?

Terserahlah!

"Gimana? Kok malah diem?" desakku.

"Ya udah, iya! Gue ikut! Dasar rubah!"

Aku tertawa mendengar makian Bambang. Well, aku tidak peduli, yang penting besok aku bisa ikut.

Aku langsung berlari menuruni tangga dan mencari keberadaan ibu. Kebetulan sekali, ia sedang menonton tv.

"Bu, ini si Bambang udah mau!" teriakku sambil berlari berhambur ke sofa.

"Mana? Ibu mau ngomong sama Bambang!" sahut ibu sambil meminta handphone-nya

"Halo, Tante?"

"Bams, kamu bener ikut acara itu? Ngapain sih, Bams? Udah bagus nggak ikut juga, kenapa berubah pikiran?"

"Iya, soalnya temen Bams banyak yang ikut, Tan. Si Melody juga kelihatannya pengen banget ikut, jadi ya udah bisa barengan di sana!"

Ibu merengut, sambil melirik tajam ke arahku.

"Ya udah, jagain Melody ya selama di sana! Kalau anak Tante lecet dikit aja, awas aja kamu!"

"Aman itu, Tan."

Percakapan pun berakhir. Setelah menyimpan kembali handphone-nya, ibu duduk menghadap ke arahku, dan menghela napas panjang.

"Kamu udah siapin keperluan kamu?" tanya ibu setengah hati.

"Belum."

"Kok belum, sih? Perginya besok, 'kan? Kamu lagi, kenapa ngasih tahu ibu mendadak gini?!" gerutu ibu sambil mencubit pipiku gemas.

"Kan kemaren-kemaren, Ibu di luar kota, jadi ya baru sekarang sempetnya!"

"Ya udah, ayo kita siapin keperluan kamu!"

Aku mengangguk cepat, sambil beranjak mengekori ibu.

"Untung ibu masih simpan tas gunung ibu!" gerutu ibu sambil masuk ke dalam kamarnya.

Ibu lalu mengeluarkan sebuah tas dari dalam almari, dan menaruhnya di atas kasur.

Ini adalah tas gunung terindah dan termewah yang pernah kulihat. Sungguh, aku tidak ingin menanyakan harganya, karena kuyakin, ini jauh lebih mahal dari yang bisa kubayangkan.

"Bau nggak, ya?" gumam ibu, lalu mencium tas tersebut.

"Masih aman. Ya udah, yuk kita isi sama keperluan kamu!"

Aku mengangguk cepat, lalu kembali mengekori ibu menuju kamarku.

Ibu memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan segalanya. Ia terlalu hati-hati memilih baju apa yang harus kupakai di sana.

Ayolah, siapa yang peduli dengan apa yang kukenakan? Kami di sana bukan untuk melakukan peragaan busana! Dan ya Tuhan, ibu memasukkan banyak sekali barang di sana. Aku tidak yakin apa aku benar-benar membutuhkan semua itu.

Dan skincare? Siapa yang akan memakai skincare di atas gunung? Kenapa ibu juga memasukkannya?

"Ibu, kalau Melody membawa banyak barang, akan cukup sulit untuk mendaki."

"Ah, iya. Kamu bener, Mel! Tapi, ini semua barang yang penting dan wajib kamu bawa!"

"Tapi kalau Mel nggak kuat bawanya, gimana?"

Ibu langsung menatap tas yang baru saja ia tutup resletingnya.

"Apa yang harus dikeluarkan ya?" gumamnya pelan.

"Skincare, bodycare, beberapa baju, dan sepatu? Ibu juga bisa mengeluarkan beberapa syal dari sana," usulku.

"Hei, kamu perlu semua itu! Meski di gunung, kamu harus tetap merawat kulit dan wajah kamu! Kamu juga membutuhkan baju yang hangat, sepatu, syal, kamu butuh itu semua!"

"Tapi ..."