1 Prolog

Aku sudah sering merasakan betapa sulitnya bertahan hidup di tengah samudra luas. Mulai dari menakutkannya dihantam ombak, mengerikannya diterpa badai, hingga kehilangan perahu yang membuatku terapung hilang arah. Tetapi, sekarang aku sudah benar-benar lelah dan ingin menyerah.

Berenang mengarungi samudra seperti biasa juga tak akan bisa kembali aku lakukan karena jiwaku tidaklah sekuat dahulu ketika langit menerangi dan seekor kupu-kupu menemani. Maka, kini aku akan membiarkan diriku tenggelam saja ke kedalaman samudra.

Perlahan tubuhku pun mulai jatuh ke dalam pelukan air. Rupanya seperti ini rasanya tenggelam. Di sini gelap, dingin dan sepi. Anehnya aku merasa tenang serta sesak secara bersamaan. Mungkin aku merasa tenang karena sebentar lagi penderitaanku akan berakhir dan aku juga merasa sesak karena tak bisa bernafas dengan sempurna. Namun, setidaknya merasakan sesak sementara ini terasa lebih baik daripada harus kembali sesak dicekik kenyataan untuk seterusnya jika aku melanjutkan hidup.

Kemudian suara-suara tak asing ikut terdengar seolah sedang mengiringi detik-detik kematianku. Bukan nyanyian elegi penuh kehilangan, melainkan kicauan ucapan menyakitkan yang hingga sekarang terus terpatri di kepala.

"Pembunuh! Saya harap Anda menderita karena rasa bersalah!"

"Kalau tidak bisa menjadi anak yang membanggakan, setidaknya jangan jadi anak yang memalukan! Mama capek-capek membesarkan kamu bukan untuk melihat kamu jadi berandalan seperti sekarang ini!"

"Gue nggak sudi temenan lagi sama manusia bejat kayak dia!"

"Papa sangat menyesal. Seharusnya Papa tidak membiarkan kamu terlahir sehingga menjalani hidup penuh penderitaan. Maaf karena terlahir menjadi anak seorang monster"

Suara-suara kejam itu bersahutan memenuhi pikiranku. Cacian, makian, hujatan, sampai ucapan penuh penyesalan yang pernah dilontarkan mereka padaku terus terngiang-ngiang. Perkataan yang selalu membuatku terpuruk dan seolah tengah bersorak senang sebab sebentar lagi aku hanya akan menjadi jasad.

Tubuhku sudah sangat lemas akibat samudra yang terus menghantarkanku pada kematian. Tentu saja karena di sini tak ada ruang untuk bernafas sedikit pun. Rasanya sesak sekali. Sungguh. Fase sekarat ini jauh lebih menyakitkan dibanding memar-memar karena berkelahi  atau di sekujur tubuh akibat kecelakaan mobil sampai terpelanting ke jurang tiga tahun lalu.

Sekarang aku menaruh percaya pada petuah Mendiang Nenek yang sempat berkata jika kematian paling tragis adalah kematian yang diakibatkan oleh diri sendiri. Samudra yang sebelumnya sudah kuanggap sebagai teman setia dan bahkan menjelma menjadi nyawa, nyatanya kini telah aku khianati dengan menenggelamkan diri untuk dibuat mati olehnya. Sepertinya samudra pun akan murka dan mendatangkan badai sebab aku dengan lancang menjadikan tempat indahnya ini sebagai tempat peristirahatan terakhirku.

Mohon maaf, samudra. Namun, kini aku sudah benar-benar tak bisa lagi memaksakan diri hidup berdampingan dengan segala lika, liku, dan luka. Kau pun pasti sudah tahu betapa menyedihkannya menjadi aku. Diabaikan, disalahkan, dihinakan, hingga ditinggalkan.

Duhai samudra, tolong tenggelamkan tubuhku habis-habisan hingga tak bernyawa atau lahap saja tubuhku sampak tak bersisa. Bahkan andaikata bisa, hilangkan saja semua kenangan tentangku agar manusia lain tak tahu bila aku pernah ada di negeri fana.

Aku pergi...

avataravatar