webnovel

Tiga Belas-Kegilaan Lean

"Oke cukup!"

Lean melepas headphone dari telinga lalu berjalan keluar dari ruang rekaman dengan tenggorokan yang terasa kering. Sesampainya di luar, dia mendapat sebuah uluran sebotol air mineral plus usapan di kening.

"Makasih, Na."

Satu tangan Lean menjauhkan tangan Nana yang masih menghapus bintik keringat di keningnya itu. Dia berjalan ke sofa terdekat dan menghempaskan tubuh di sana.

Melihat lelaki yang disukai terlihat lelah, sontak Nana mendekat dan memijit pundak Lean. "Capek, ya?"

Lean sedikit menjauh dari jangkauan Nana. Tapi sebenarnya percuma karena Nana kembali mendekat dan memijit pundaknya.

"Le. Kita rapat, ya!!"

Perlahan Lean mendongak, menatap Mas Dru—pihak manajemen—yang memberi kode agar mendekat. Lean mengangguk lalu perlahan dia berdiri. "Iya, Mas," jawabnya.

Nana ikutan berdiri. Satu tangannya melingkar ke lengan Lean, membuat lelaki itu menoleh. Merasa sedang ditatap, Nana tersenyum manis.

"Mau ngapain, Na? Gue mau rapat."

"Gue ikut, ya."

Lean tergelak mendengar jawaban itu. Dia berjalan ke ruang meeting sambil satu tangannya menyingkirkan lengan Nana. Sesampainya di depan pintu, Lean menghela napas berat. "Na. Gue mau meeting dulu," ucapnya meminta pengertian.

Nana mengangguk, paham Lean akan meeting, dia tetap ingin ikut. Apalagi semua kru dan pihak manajemen tahu siapa dirinya.

"Tanpa lo. Please, jangan ngintil mulu," lanjut Lean cepat.

Lean menyentak tangan hingga lengan Nana menjauh. Setelah itu dia menatap Nana dengan penuh peringatan. Seharian ini Lean memang memperbolehkan Nana mengikuti kegiatannya, tapi sekarang tidak memungkinkan gadis itu untuk ikut. "Jangan ikut gue meeting atau lo gue larang ngikutin gue lagi."

Mendengar ancaman itu, Nana mendengus, ancaman yang membuatnya rugi. Akhirnya dia mundur satu langkah. "Oke gue nggak ikut meeting. Gue bakal tunggu di sini."

"Huh..." Lean mendesah sedikit lega, hanya sedikit. Karena setelah dari meeting Nana masih mengikutinya lagi. Tanpa menjawab kalimat Nana, Lean berbalik lalu masuk ke ruang meeting. Seketika tatapannya tertuju ke meja oval yang telah dipenuhi oleh kru itu. Lean mendekati kursi yang tersisa dan menghempaskan tubuh di sana.

"Karena semua sudah lengkap, mari kita mulai meeting malam hari ini."

Lean mengangguk. Malam ini rencananya membahas single terbarunya yang berjudul Tak Ingin Terlepas. Sebelum pergi liburan, dia sudah latihan dan melakukan take vocal. Kegiatan yang baru saja dia lakukan adalah latihan.

Mengingat liburan, membuat Lean ingat dengan Rein. Setelah malam pertengkaran itu, Rein sulit dihubungi. Saat pagi hari Lean ingin menemui Rein, tapi yang didapat gadis itu telah check out.

Dua minggu setelah liburan, Lean tidak bisa melupakan rasa bersalahnya. Setiap malam dalam dua minggu ini, dia selalu menyempatkan ke apartemen Rein. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Lean merasa Rein masih marah, dan entah kenapa kemarahan gadis itu kali ini membuatnya tak tenang.

"Jadi ada saran untuk model wanita di video clip, Lean?"

Lean tak begitu mendengarkan ucapan kru, terlalu asyik dengan lamunannya.

"Lean?"

Sebuah senggolan di lengan membuat Lean tersentak. Dia menoleh, dan kaget melihat semua mata tengah tertuju kepadanya. Lean menggaruk tenguk yang tak gatal, lalu menatap Dru. "Bisa ulang pertanyaanmu?" tanyanya. Samar-samar dia tadi mendengar kalau Dru lah yang memanggilnya.

"Model wanita buat video clip. Lo maunya siapa?"

"Rein."

Nama itu keluar begitu saja dari mulut Lean. Seketika Lean mendapat tatapan bingung dari rekan lainnya. Dia mencoba mengingat apa yang diucapkan barusan. Hingga dia tersadar, dia mengucapkan nama Rein.

"Le. Lo yakin mau pake Rein? Kita semua tahu kalau...," ucap Dru menggantung.

Lean mengangguk seolah tahu apa kelanjutan kalimat itu. Tentu saja kalau Rein anak musuh dari maminya. Lean menggaruk tengkuk, bingung harus bagaimana. Ganti model tapi dia sudah terlanjur basah mengucapkan nama Rein. Pasti semua kru akan mengira Lean sedang memikirakn Rein, walaupun kenyataannya memang benar.

"Ehm gini. Dicerita gue ini, kan, ceweknya udah nggak suka cowoknya, terus marah-marah. Menurut gue wajah yang pas itu wajah Rein. Lo tahu, kan, karakter antagonisnya di sinetron nggak perlu diraguin lagi? Jadi itu menurut gue pas."

Alasan yang bagus.

Dalam hati Lean memuji alasannya. Dia tidak tahu saja kenapa bisa berucap itu. Lean lalu menatap ke beberapa kru yang tampak mengerutkan kening. "Soal dia anak musuh mami nggak usah kalian pikirin. Kita harus profesional, kan?" tambahnya

"Ada untungnya, sih, berita Lean lagi rame, terus kita munculin mereka berdua dalam satu projek. Cukup menguntungkan, sih, ini," ucap salah satu kru.

"Nanti coba kita bahas ini. Terus konfirmasi ke manajemen Rein."

Ide Lean membuat hampir semua orang di ruang meeting itu setuju. Lean tersenyum puas. Tidak ada salahnya Rein menjadi model video clipnya. Selain Lean bisa bertemu dengan Rein lagi. Dia ingin kembali dekat dengan Rein. Apapun risikonya.

***

Rein berjalan keluar dapur dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Senyumnya terbit kala melihat lelaki yang duduk dan menatapnya antusias itu. Rein memilih duduk di sebelah lelaki itu dan menyerahkan secangkir kopi buatannya. "Kopi spesial buat Mikoku tersayang."

Miko terkekeh mendengar ucapan Rein. Dia menerima secangkir kopi itu dan menyeruputnya pelan. Setelah itu dia menatap Rein dengan senyum tipis. "Enak. Pas. Nggak terlalu manis, kesukaanku."

Seketika Rein tersenyum. Akhir-akhir ini dia sering membuatkan kopi untuk Miko. Yah meski hanya kopi instan. Tapi setidaknya itu menyenangkan, apalagi dengan selara lidah Miko yang kurang suka terlalu manis. Berbanding terbalik dengan dirinya.

"Oh, ya, Sayang kamu tadi ke kantor manajemen? Ngapain?"

Rein menyandarkan punggung di sofa. Dia menarik bantal sofa di sebelahnya dan memeluknya erat. Ingatan Rein berputar saat dia ditawari pihak manajemen untuk menjadi model video clip. Awalnya dia senang, tapi saat tahu siapa penyanyinya, dia mulai bimbang.

"Ditawari model video clip. Tapi lagunya Lean," jawab Rein tanpa menatap Miko.

Miko tersentak kaget. Kegilaan apalagi yang dilakukan Lean? Dia tahu dari Rein kalau Lean bertindak gegabah saat di Batu. Miko jadi kesal sendiri ke Lean. "Terus kamu terima?" tanyanya penasaran.

Perlahan Rein menoleh, menatap Miko dengan bibir mengerucut. "Aku belum ngasih jawaban. Menurut kamu gimana?"

Miko diam, masih memikirkan jalan terbaik untuk Rein. Dia yakin pasti akan ada gosip lagi jika Rein dan Lean terlibat satu projek.

"Kalau aku terima, aku takut mama marah lagi. Tapi kalau nggak terima nanti dibilang nggak profesional. Nama baikku, Mik."

Miko mengangguk, paham dilema apa yang tengah dihadapi Rein. Perlahan Miko menarik pundak Rein dan memeluk pacarnya itu. "Kamu udah bicara baik-baik ke mama kamu?" tanyanya. "Jelasin aja, sama ungkapin risikonya gimana."

Kedua tangan Rein melingkar ke sekitar punggung Miko. Dia menyandarkan kepala di dada Miko dengan nyaman. Barulah Rein menjawab pertanyaan kekasihnya itu. "Belum. Aku harus bilang mama dulu?"

"Tentu, Sayang. Apalagi ini ada hubungannya sama Lean."

Rein mendongak menatap Miko sambil tersenyum. Benar apa yang dikatakan Miko. "Aku besok pagi mau ngomong ke mama," ucapnya mantap.

Miko tersenyum, meski hatinya getir. Dia takut Rein semakin dekat dengan Lean. Sebagai lelaki Miko tahu, ada ketertarikan dari Lean terhadap Rein.

"Mik. Daripada duduk diem di apartemen gimana kalau kita jalan-jalan?" Rein melepas pelukan lalu menatap Miko antusias.

"Jalan ke mana? Udah malem banget ini."

Rein berdiri sambil satu tangannya menarik tangan Miko. Mau tak mau lelaki itu ikut berdiri. Rein lalu menarik Miko hingga mereka keluar dari apartemen. "Ya jalan. Cari jajan pinggir jalan. Malam hari itu bikin kita bebas, Mik."

Miko terkekeh dengan antusias Rein. Memang benar apa yang dikatakan Rein, malam hari membuat mereka bebas. Mereka bisa jalan tanpa takut diikuti pihak media, dan fans yang tiba-tiba mengerubungi. Bukannya tidak suka dengan kehadiran fans, hanya saja mereka juga butuh kebebasan. Sama seperti orang lainnya.

Tring!

Pintu lift terbuka, Rein hendak melangkah saat tatapannya tertuju ke lelaki yang berdiri di dalam lift. Lean. "Balik aja yuk, Mik!!" ajaknya ke Miko lalu berlari lebih dulu.

Buru-buru Lean keluar lift. Akhirnya setelah dua minggu dia bisa menemui Rein, meskipun ada Miko di sebelah gadis itu itu. "Rein, gue mau bicara sama lo."

"Gak! Gue masih marah ke lo!" jawab Rein sambil berjalan ke apartemen.

Miko menatap Lean yang melangkah mengikuti Rein itu. Miko berjalan cepat mendekati Lean saat lelaki itu hampir mencapai pintu. Lalu dia berdiri menghadang langkah Lean. "Mau ngapain lo?"

"Mik. Minggir dong. Gue mau ketemu Rein," pinta Lean. Dia bergerak ke kiri hendak masuk ke apartemen, tapi kedua tangan Miko menghalangi.

"Dia masih marah sama lo, Le. Biarin dia sendiri dulu."

Lean terdiam. Dua minggu belum cukup buat dia sendiri? batinnya. "Nggak bisa. Dua minggu ini dia nggak mau ketemu gue. Gue harus ketemu dia."

Satu alis Miko terangkat, merasa Lean bertindak berlebihan. Dia lalu mendorong dada Lean hingga mundur beberapa langkah. Miko menatap Lean tajam.

Sedangkan Lean menatap Miko sebal. "Ngapain sih lo?"

"Harusnya pertanyaan itu buat lo," kata Miko. "Ngapain lo cari Rein? Lo tahu, lo berlebihan! Lo seolah pacar Rein yang nggak ketemu dua minggu dan lo harus ketemu dia hari ini. Padahal lo bukan siapa-siapa dia."

Lean terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Miko. Apa gue berlebihan? Kayaknya enggak, batinnya.

"Le. Gue temen sekelas lo waktu SMA. Lo nggak pernah kayak gini ke cewek," kata Miko mengungkapkan keanehan Lean. "Jangan bilang kalau lo suka pacar gue, Le!!"

Tubuh Lean seketika menegang. Apakah dia mulai menyukai Rein? Enggak! gue cuma ngerasa bersalah. Tapi. Hati Lean mulai meragu.

Miko tersenyum kecil melihat raut terkejut dari Lean. Dalam hati dia semakin yakin kalau temannya itu memang menyukai Rein. Dan Miko harus mengerahkan tenaganya agar Rein tidak diambil Lean. "Kenapa diem? Omongan gue bener kan, Le?" tanyanya setelah tidak ada tanggapan dari Lean.

Lean menatap Miko dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah itu Lean meninggalkan Miko begitu saja. Dalam hati dia bertanya-tanya, apa dia menyukai Rein? Lean memejamkan mata sejenak lalu mengembuskan napas lelah.

Next chapter