webnovel

Sebelas-Strategi Satu

Bagi sebagian udara dingin adalah hal yang menyenangkan. Mereka bisa menikmati sejuknya udara dan merasakan udara dingin yang menerpa kulit mereka, membuat sensasi yang begitu berbeda. Ada juga sebagian orang yang membenci udara dingin. Karena udara dingin selalu membuat beberapa orang malas untuk beraktivitas dan memilih bergelung di bawah selimut tebal.

Rein termasuk ke kategori yang pertama. Dia senang dengan udara dingin. Dia sudah bosan dengan hawa panas Jakarta. Jadi, saat udara yang begitu dingin menghampiri, Rein sangat menikmati sensasi berbeda itu.

Dari balkon Rein melihat matahari mengintip sebelum benar-benar menampakkan kuasanya sambil mengusap lengan. Pagi yang dingin di kota Batu tidak membuat wanita itu mengenakan pakaian hangat. Kembali lagi, Rein memang sedang menikmati udara dingin itu.

Pagi ini dia dan mamanya sudah ada di Batu. Mereka sampai pukul sembilan malam. Setelah itu mereka memutuskan untuk beristirahat dan menyimpan tenaga untuk pagi menjelang. Sekarang hari telah pagi dan Rein siap menjalani harinya. Terlebih dia siap ingin melancarkan aksinya dengan Lean.

"Pagi, Cantik."

Lamunan Rein seketika terhenti. Dia menoleh ke sumber suara dan melihat Lean berdiri dengan cangkir di tangan kiri. Rein buru-buru menoleh ke belakang, takut mamanya melihat.

"Kok lo di sini?" tanyanya penuh selidik.

Lean menyeruput kopinya dengan kedua siku bersandar di pagar balkon. Tatapannya tertuju ke matahari yang perlahan merangkak naik itu, siap menghangatkan. Lean lalu melirik ke Rein. "Gue nginep sini."

Rein bergeser hingga berada diujung balkon. Dia menatap Lean dengan pandangan menyelidik. Pasalnya dia tidak janjian satu hotel dengan Lean. Tapi kenapa lelaki itu ada di hotel yang sama? Bersebelahan pula. "Kok lo bisa tahu gue di sini? Lo ngikutin gue?"

Lean berbadan hingga menghadap Rein. Dia memajukan tubuh hingga bersentuhan dengan pembatas balkon. "Ini hotel tempat gue nginep kalau lagi ke sini. Cuma kebetulan, Rein. Jangan nuduh gitu."

Mendengar jawaban mantap itu, Rein menghela napas. Ini memang tempat umum, siapa saja boleh ke mari. Tapi yang belum bisa Rein percaya kenapa ada kebetulan yang seperti ini? Okelah lupakan! Anggap saja itu memang kehendak Tuhan. "Mami lo mana?" tanyanya mengalihkan topik.

Lean menoleh ke belakang. Dia menatap ke ranjang pojok, di mana sang mami masih bergelung di balik selimut tebal. Setelah itu Lean menatap Rein. "Masih tidur. Mama lo?"

"Mama mandi."

"Mama lo kuat ya mandi pagi begini."

"Pakai air anget kali, Le," jawab Rein sambil geleng-geleng. Dia lalu menatap Lean serius. Lean yang ditatap seperti itu raut wajahnya juga berubah serius.

"Lo udah siap sama rencana kita nanti?" tanya Rein.

Lean mengangguk mantap, bahkan dia sangat siap. "Siap, Rein. Nanti jam sembilan lo ajak mami lo ke perkebunan apel. Di belakang hotel aja. Ganti tempat."

Rein manggut-manggut. Awalnya mereka berencana untuk memetik apel di salah satu agrowisata. Tapi karena di hotel ini juga menyediakan pengunjung untuk memetik apel, sepertinya lebih enak di hotel saja daripada susah-susah mencari tempat. "Terus uletnya?"

Senyum Lean tersungging. Dia sudah merencanakan semuanya. Kemarin sore saat sampai di hotel, dia sudah memastikan kelengkapan untuk aksinya. Lean benar-benar niat ingin menyatukan maminya dengan Mama Rein. "Nanti ada petugas hotel yang bawa ulet."

"Ulet beneran?"

Rein mendapati Lean mengangguk. Rein jadi tidak yakin jika menggunakan ulet beneran. Dia tidak takut dengan ulat, tapi jika melihat ulat dia pasti bergidik.

"Totalitas, Rein," sambung Lean saat Rein tidak kunjung menjawab.

"Rein!!!"

Teriakan itu membuat dua orang yang sedang membicarakan strategi itu langsung bertatapan. Rein menoleh ke belakang tapi tidak terlihat mamanya sedang melakukan apa. "Gue ke dalem ya," pamitnya.

Lean menggangguk lalu memperhatikan Rein yang berbalik dan berjalan masuk itu. Tapi belum sempat Rein masuk, Lean mengucapkan sesuatu. "Pakai baju hangat, Rein. Biar nggak sakit."

Rein menghentikan langkah, dia mendengar jelas apa yang diucapkan Lean barusan. Rein mengangguk mantap lalu masuk ke kamar.

***

Pukul sembilan pagi seperti rencana awal, Lean mengajak maminya memetik apel. Sempat maminya itu menolak ajakan Lean. Tapi bukan Lean namanya kalau gampang menyerah begitu saja. Dia membujuk maminya hingga mau memetik apel.

"Udah deh, Mi. Jangan ngomel mulu."

Lean berjalan di belakang maminya dan mendengar maminya itu mengomel sejak keluar hotel. Di belakangnya Lean berkali-kali menoleh ke sana ke mari. Dia sedang mencari keberadaan Rein yang katanya sudah sampai kebun apel sejak sepuluh menit yang lalu.

"Kamu, kan tahu, Lean. Mami itu nggak suka ke kebun. Mami itu geli sama hewan-hewan di daun-daun itu."

"Ma!!!"

Lean tidak begitu mendengar ucapan maminya. Samar-samar dia mendengar suara Rein. Lean menoleh dan mendapati Rein tengah melompat-lompat di depan pohon apel. "Mi. Kayaknya di sana banyak apel yang udah matang!" ajak Lean.

Atika menghentikan langkah lalu menoleh ke arah tunjuk Lean. Dia menghela napas, melihat apel yang sudah matang tidak menarik perhatiannya.

"Ayo, Mi." Lean berjalan lebih dulu. Tidak lupa dia menggenggam tangan maminya agar tidak kabur. Tidak jauh dari Rein, Lean melihat petugas hotel yang telah dia minta untuk membawakan ulat.

"Duh!! Kalian kenapa ke sini?"

Rein yang masih melompat menghentikan kegiatannya. Dia menoleh dan mendapati kehadiran Lean dan maminya itu. "Udahlah, Ma. Biarin aja. Jangan bikin malu. Banyak orang."

Lean melihat mami tidak berkomentar, hanya menatap Sarah dengan tatapan malas. Lean lalu mengambil tempat. Dia memberi kode agar petugas hotel itu lewat dan menjatuhkan ulat di kaki maminya.

Tak lama teriakan kencang itu terdengar. "Aaaa!! Ini apa?!!"

"Kenapa?"

Lean, Rein dan Sarah mendekati Atika. Mereka menunduk melihat ke arah tunjuk Atika, di mana ada ulat di ujung sandal. Rein sontak menoleh ke Lean dan mereka tersenyum penuh arti.

"Kenapa harus ada ulat, sih? Bentar!!" Sarah menunduk, memungut daun lalu mendorong ulat itu hingga jatuh ke tanah. Setelah itu dia menarik Atika agar menjauh dari ulat tadi. "Nggak apa-apa, kan?" tanyanya.

Atik manggut-manggut. Dia sangat takut dengan hewan kecil berbulu itu, atau bisa dibilang trauma. Saat kecil dia sering ditakut-takuti dengan ulat. Dan itu berimbas hingga sekarang.

"Ayo, Rein. Kita pergi aja!" kata Sarah sebelum Rein dan Lean mampu berkata-kata. Dia menarik tangan Rein dan pergi menjauh. Sarah menyesal karena membantu Atika. Harusnya tadi dia tidak membantu, tapi tindakkannya tadi refleks. Dia sangat ingat jika Atika sangat ketakutan.

Selepas kepergian Rein, Lean tersenyum penuh arti. Dia sadar kalau sebenarnya masih ada sedikit rasa perhatian antara Tante Sarah dan maminya.

"Lean!! Kita pergi!! Gara-gara kamu ngajak ke sini, mami kena ulat. Mami nggak mau lagi nurutin kemauanmu!!"

Lean panik mendapati kemarahan maminya. Dia sudah menebak risiko terburuk seperti ini akan terjadi. Lean mengacak rambutnya frustrasi. Dia harus memikiran cara lain agar tetap bisa menjalankan aksinya.

***

Tok. Tok. Tok.

Rein yang tengah berbaring menoleh ke arah pintu. Dia mengernyit mendengar ketukan itu. Dia merasa tidak memanggil room service. Perlahan Rein turun dari ranjang. Tapi dia kalah cepat dengan mamanya yang turun dari sofa dan membuka pintu.

"Ngapain kamu ke sini?" geram Sarah.

Lean menatap Tante Sarah yang terlihat sebal itu. Lean sebisa mungkin tetap sopan di depan musuh maminya itu "Lean mau ngajak Rein sama Tante buat bakar jagung."

Rein berdiri di sebelah mamanya dan menatap Lean bingung. Karena acara bakar jagung tidak termasuk dalam rencana. Sejak insiden tadi siang, mama Rein lebih banyak diam. Lalu Rein meminta Lean agar menghentikan aksi selanjutnya dan diganti dengan esok hari.

"Bakar saja sendiri! Nggak usah ngajak!!"

Brak!!

Setelah mengucapkan itu Sarah menutup pintu, membuat Lean tersentak kaget. Lean lalu mengusap dada naik turun. "Sabar, Lean. Sabar."

Tatapan Rein tertuju ke pintu yang telah ditutup itu. Dia menatap mamanya bingung. "Mama kenapa? Daritadi keliatan marah terus."

"Udahlah, Rein. Kita tidur aja."

Rein menghela napas lelah. Kalau sudah mengalihkan pembicaraan seperti ini itu artinya mamanya sangat marah dan tidak ingin membahas. Rein berbalik dan kembali ke ranjang. Dia mengambil ponsel dan membuka chat-nya dengan Lean.

Lareina: Sorry ya. Mama gue ngusir lo.

Lean yang sedang di dalam lift merasakan getar ponsel di sakunya. Dia merogoh ponsel dan melihat chat dari Rein. Lean tersenyum. Baru pertama kali ini Rein mau mengucapkan kata maaf.

Leander: nggak apa-apa, gue ngerti kok.

Send.

Leander: Kalau lo bisa keluar, lo bisa temuin gue di halaman samping. Gue mau bakar jagung.

Rein membaca dua chat dari Lean itu. Dia lalu melirik mamanya yang telah tidur pulas. Rein perlahan turun dari ranjang, berjalan pelan lalu keluar dari kamar. Rein tidak perlu membalas pesan Lean, ingin langsung menemui lelaki itu.

Sedangkan Lean terlihat sebal karena chat nya hanya di read oleh Rein. "Huh..."Dia menghela napas berat. Lalu mengambil deretan jagung yang disediakan pihak hotel dan membakarnya di pembakaran yang tersedia.

Saat sedang membakar, Lean melihat ada jagung lain yang berada di sebelah jagungnya. Seketika dia menoleh dan menemukan Rein berdiri dengan cengiran khas gadis itu. "Gue kira lo nggak ke sini," ungkapnya.

Rein mengangkat bahu. "Gue bosen di kamar. Mama udah tidur. Ya udah gue diem-diem ke sini."

Lean tersenyum senang. Akhirnya dia ada teman yang bisa diajak ngobrol. Sejak dari kebun apel, maminya tidak mau berbicara. Lean berkali-kali meminta maaf, tapi maminya itu hanya mengangguk tidak berarti.

"Ini udah matang belum?" tanya Rein setelah beberapa saat hening.

"Udah. Duduk di sana, yuk!"

Rein mengikuti langkah Lean. Hingga lelaki itu memilih duduk di bangku dekat lampu taman. Rein duduk di sebelah kiri Lean, lalu memakan jagungnya.

"Sialan!!" maki Rein saat merasakan panas jagung itu menyengat bibirnya.

"Lagian nggak sabaran banget." Lean terkekeh melihat Rein yang menepuk-nepuk bibir itu.

Perhatian Lean lalu tertuju ke pakaian yang dikenakan Rein, kaus setengah lengan, tanpa memakai jaket.

"Kenapa susah banget sih pakai jaket?"

Satu alis Rein terangkat lalu menunduk dan baru menyadari tidak mengenakan jaket. Pantas saja dia merasa kulitnya menerpa angin dingin. "Lupa, Le."

"Kan, tadi gue udah bilang. Jangan lupa pakai jaket. Batu banget jadi orang."

Lean melepas jaket hitam yang dia pakai. Tanpa permisi dia menyampirkan jaket itu di pundak Rein. Rein yang mendapat peralakuan itu seketika mendongak, menatap Lean tanpa berkedip.

"Nggak usah natap gue kayak gitu, Sayang. Gue tahu gue ganteng."

Seketika Rein buang muka. Sialan! Dia dikerjai Lean. Rein sebisa mungkin tidak menoleh dan lebih memilih memakan jagungnya.

Di sebelahnya, diam-diam Lean mengamati Rein. Rambut gadis itu yang biasanya tergerai, sekarang di cepol asal. Wajah Rein yang bisanya dihiasi make up kini polosan. Entah kenapa melihat Rein yang seperti ini, Lean suka. Dia suka penampilan natural Rein, gadis itu terlihat lebih cantik. "Lo cantik, Rein."

Sontak Rein menoleh dan mendapati Lean tersenyum ke arahnya. "Emm. Lo gombal," jawabnya. Sedetik kemudian Rein merasa salah bicara. Jika, menggombal wajah Lean tidak seserius itu. "Makasih pujiannya," lanjutnya kemudian.

Tangan Lean terangkat, mengusap puncak kepala Rein dengan lembut. "Gue suka kalau rambut lo diiket kayak gini. Lo makin gemesin."

Rein mengigit jagungnya sambil melirik Lean. Entah kenapa suasana mendadak canggung. Harusnya Rein tidak merespons pujian Lean barusan. Atau bahkan gadis itu langsung saja pergi dan memarahi Lean. Bukan malah diam dan tidak tahu harus melakukan apa, seperti saat ini.

Next chapter