1 Satu - Gosip Pagi Itu

Leander Arsenio tertangkap kamera berciuman dengan Lareina Pramudita di malam ulang tahun X tv.

"Shit!!"

Lareina Pramudita atau yang sering dipanggil Rein mengumpat setelah membaca judul di situs gosip. Dia tak menyangka pagi ini berita tentang dirinya dan Lean tersebar di dunia maya. Secepat itu dan terkesan berlebihan.

"Ini semua gara-gara lo, Lean!!" jerit Rein di kamar apartemennya.

Napasnya seketika memburu dan wajahnya berubah memerah. Rein ingat semalam tak begitu sadar saat ada lelaki yang menciumnya. Demi Tuhan itu hanya kecupan singkat, mungkin. Tapi Rein ingatnya seperti itu. Jadi saat merasa ada mengecup bibirnya, dia balas mengecup bibir lawannya, mungkin seperti itu. Lalu lelaki itu mengajak keluar dan Rein menurut.

"Dan begonya gue nurut!!" Rein mengurut pelipisnya dengan ibu jari.

Entah ke mana otaknya semalam. Kemarin dia merasa sangat lelah dan butuh sedikit hiburan. Awalnya dia ingin absen dari salah satu undangan stasiun televisi, tapi sang manager melarangnya habis-habisan. Hingga Rein terpaksa datang ke acara itu yang ternyata membuatnya semakin kena gosip, dengan Lean.

Parahnya tadi pagi, dia terbangun di apartemen Lean penyanyi sekaligus anak dari musuh bebuyutan mamanya. Beruntung Rein bangun dalam kondisi baik-baik saja. Tak ada pakaian berserakan dan tanda lainnya.

Rein sangat syok dan tak bisa berkata-kata selain memukuli lelaki itu. Setelah puas mengeluarkan emosinya dia buru-buru pulang ke apartemennya yang terletak dua lantai dari apartemen lelaki itu.

"Jangan sampai mama tahu. Gue harus hack tuh website!!"

Panik, Rein mencari kontak sahabatnya yang berprofesi sebagai hacker. Dia tak ingin mamanya yang tak pernah akur dengan Mama Lean tahu gosip ini. Rein hendak memencet tombol hijau untuk melakukan sambungan, tapi nama mamanya lebih dulu muncul di layar ponsel.

"Sial!!! Mama telepon!!" Rein menjerit panik. Dia berjalan mondar-mandir sambil menatap ponsel yang menampilkan nama mamanya itu. Rein menggigit bibir, firasatnya mengatakan mamanya akan menanyai--oh bukan--lebih tepatnya memarahinya karena gosip yang beredar itu.

Drtt!!

Getar ponsel itu masih terasa, membuat tangan Rein bergetar dan dia semakin bimbang. Jika mengangkat panggilan itu, dia enggan mendengar kemarahan mamanya. Tapi jika tak diangkat mamanya akan terus menelepon sepajang hari.

"Huh!!" Rein menarik napas panjang. Perlahan ibu jarinya menggeser layar hijau dan meletakkan ponsel di dekat telinga.

"Lareina Pramudita!!! Kenapa ada gosipmu sama anak lampir itu?!"

Mendengar teriakan mamanya, Rein menjauhkan ponsel dari telinga. Mamanya memang musuh bebuyutan Mama Lean sejak remaja. Rein tak banyak tahu mengenai perseteruan mamanya dengan Mama Lean, yang dia tahu hanya persaingan dalam dunia modeling.

"Lareina!!! Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan Mamamu!!"

"Ini mau jawab, Ma."

Rein mengelus telinganya yang lagi-lagi mendengar teriakan itu. Dia berjalan ke ranjang dan menghempaskan diri di sana. "Ma, itu nggak kayak yang Mama pikirin."

"Terus Mama harus mikir apa selain kamu udah ciuman sama anak lampir itu?"

"Rein nggak sadar, Ma" jawab Rein jujur.

"Rein, Mama nggak mau tahu, ya! Gosip ini pertama dan terakhir kalinya. Mama nggak sudi kamu berhubungan sama anak lampir itu."

Tut. Tut. Tut.

Rein menatap ponsel sambil mendesah lelah. Dia tak tahu harus berbuat apa untuk meyakinkan mamanya, meyakinkan wartawan dan meyakinkan rekan kerja lainnya. Rein mengusap wajah dengan telapak tangan. Gara-gara bertindak gegabah dia mengalami hal ini. Hanya karena sebuah singkat, dia harus terlibat gosip.

Sefrustrasi itu gue ada yang nyium aja langsung gue ladenin, batinnya kecut.

Sedetik kemudian, Rein menggeleng tegas. Dia yakin dia tidak salah. Lean dulu yang menciumnya dan lelaki itu yang mengajak keluar lebih dulu. Yah, meski akhirnya Rein menurut.

"Ini semua gara-gara lo, Lean!! Gue harus ngasih dia perhitungan!" Seketika Rein berdiri dan buru-buru keluar apartemen. Dia ingin meluapkan emosinya ke Lean. Lagi.

Beberapa menit kemudian, Rein berdiri di depan pintu apartemen Lean. Dia memencet bel tak sabaran dan menunggu lelaki itu membukakan pintu.

Tet!!!

Rein menekan bel sekali lagi saat pintu apartemen tak kunjung dibuka.

Brak!!! Brak!!

Kedua tangannya memukul pintu bercat putih itu. Tak lama pintu itu dibuka, beruntung Rein dengan cepat menyeimbangkan tubuhnya hingga tak sampai jatuh ke depan.

"Mau apa lagi?"

Pandangan Rein tertuju ke lelaki yang berdiri dengan wajah mengantuk itu. Dia maju selangkah lalu memukul dada Lean bertubi-tubi. "Ini semua gara-gara lo nyium gue semalem!! Gara-gara lo kita ada gosip!! Gara-gara lo nyokap marahin gue!!!"

Kedua tangan Rein kini berganti mengguncang pundak Lean. "Gara-gara lo!! Ih sebel gue!! Sebel!! Lo harus balikin nama baik gue!!"

Tidak ada respons apapun dari Lean. Dia hanya menatap gadis berambut kusut dengan wajah memerah itu. Dia tidak protes saat kedua tangan Rein memukul dadanya dengan kencang. Dia tahu, Rein butuh pelampiasan emosi. Meski tadi pagi, gadis itu sudah meluapkan emosinya.

Beberapa menit kemudian, emosi Rein sedikit mereda Dia menjauh dari Lean dan melihat lelaki itu tersenyum miring.

"Udah marahnya?"

Rein tidak menjawab, hanya menatap lelaki itu sambil menormalkan napasnya yang tak beraturan.

"Emang lo peduli sama gosip itu?" tanya Lean santai.

"Pedulilah!! Gue nggak mau nama gue tercoreng. Gue gak mau orang lain anggep kita ada hubungan. Gue gak... ."

Ucapan Rein terputus karena tiba-tiba Lean memeluk Rein erat. Kedua tangan Lean menekan kepala Rein semakin mendekat ke dadanya. Membuat Rein berontak, tapi tak bisa lepas dari kukungan itu.

"Nggak capek marah-marah terus?" bisik Lean. "Semalem mau-mau aja gue ajak keluar, ke apartemen pula!"

Wajah Rein seketika memerah. Dia berusaha melepas pelukan itu, tapi lengan Lean begitu menekan tengkuknya. "Gue semalem setengah mabuk, Le!"

"Oh, ya? Kok lo nekat ke acara gituan dan nyempetin minum."

"Lo jangan banyak omong! Lepasin gue!!" Rein bergerak ke kiri dan ke kanan, tapi dia tidak kunjung terlepas dari pelukan Lean.

Sedangkan Lean tetap memeluk gadis itu. Dia lelah, dia mengantuk dan telinganya mulai bosan mendengar makian Rein yang itu-itu saja. Lagi pula ini memang risiko dari pekerjaannya, mendapat gosip.

"JADI GOSIP ITU BENAR LEAN!!!"

Teriakan itu membuat Rein dan Lean buru-buru menjauh. Mereka menoleh dan mendapati wanita dengan wajah memerah berdiri sambil bertolak pinggang. Keduanya seketika tercekat, seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekik tenggorokan mereka.

Mati gue, urusan makin panjang, batin Rein.

***

"Sekarang jelasin, Lean!! Bener kamu ada hubungan sama anak penyihir itu?"

"Penyihir siapa, Mi?"

"Nggak usah sok nggak tahu, Lean!!"

Lean terkekeh mendengar ucapan maminya itu. Dia menyandarkan tubuh di sofa dan menatap maminya yang betah berdiri di dekat pintu itu.

"Mi, cuma gosip kok," jawab Lean.

Atika—Mami Lean—menggeleng. Dia tak begitu saja percaya dengan ucapan anaknya itu. "Kalau cuma gosip ngapain barusan dia di sini?"

Lean tersenyum miring. Dia ingat saat sedang tidur ada yang memencet bel tak sabaran. Saat melihat Rein di depan pintu, Lean yakin gadis itu akan memarahinya. Lalu terjadilah saat Rein memukulnya dan Lean memeluk gadis itu erat. Seketika Lean tersenyum, ingat saat tubuh Rein terasa kaku dalam pelukannya.

"Kenapa senyum-senyum, Lean?"

Senyum Lean mendadak pudar mendengar pertanyaan itu. "Mi, Lean cuma gemes sama tuh cewek. Dateng-dateng langsung marah-marah."

"Kamu bilang apa, Lean? Gemes? Kamu nggak boleh gemes ke anak penyihir itu, Lean!!"

Lean manggut-manggut. Dia hafal dengan perilaku maminya yang tak suka dengan Mama Rein. Lean selama ini tak pernah dekat dengan Rein, kecuali semalam. Meski begitu Lean cukup tahu tentang Rein, adik tingkatnya saat les musik dulu.

"Inget ya, Lean. Mami nggak mau kejadian ini terulang."

Brak!!

Pandangan Lean tertuju ke pintu yang tertutup itu. Maminya tak lagi duduk di sofa single. Lean mendesah, begitulah maminya yang selalu pergi tanpa pamit. Lean seketika beranjak dari posisinya. Dia harus bersiap untuk manggung di salah satu stasiun tv.

Drtt!!

Saat hendak mengambil ponsel di nakas, ponselnya berbunyi menampilkan nama Nana. Lean mendesah, mulai risih dengan wanita bernama Nana yang akhir-akhir ini gencar mendekatinya itu.

Lean menyambar ponsel dan mengangkat panggilan itu. "Halo, Na," jawabnya malas.

"Lean, hari ini lo sibuk? Jalan, yuk!"

Mendengar ajakan Nana, Lean menggeleng. Biasanya yang gencar mengajak keluar adalah pihak lelaki, tapi itu tak berlaku untuk Nana.

"Kayaknya nggak bisa. Gue ada syuting sampai malem," jawab Lean tak sepenuhnya berbohong. Dia ada syuting di acara sebuah hotel nanti malam. Sedangkan saat siang, dia free.

"Emang nggak ada waktu buat gue?"

Lean mengernyit mendengar ucapan Nana. Nggak ada waktu? Gadis itu bertindak seolah sudah memiliki hubungan lebih dengannya. "Nggak bisa, Na. Lo tahu gue sibuk."

"Kalau habis lo manggung nanti malem? Lo nggak bisa juga?"

"Gue nggak... ."

Brak!!

Ucapan Lean terputus saat keluar dari lift dan ada seseorang yang menabraknya. Seketika pandangannya teruju ke seorang gadis yang tengah menunduk dan memungut belanjaan. Lean buru-buru menunduk dan membantu gadis itu. "Sorry."

"Gak usah bantuin gue!!"

Penolakan itu membuat gerakan tangan Lean terhenti. Dia menatap gadis yang menunduk itu saksama. Dia tak bisa melihat wajah itu karena tertutup oleh rambut. Tapi mendengar suara ketus barusan, Lean yakin gadis di depannya adalah Rein.

"Lean!! Lo masih di sana, kan?" Suara Nana kembali terdengar.

Lean menatap ponsel dan mematikan sambungan secara sepihak. Setelah itu dia berdiri saat Rein telah berdiri. "Gue nggak sengaja, Rein!"

"Minggir, Lean!!"

"Nggak bisa, ya, sedikit manis sama gue?"

***

Rein menatap lelaki di depannya dengan sebal. Entahlah kenapa hari ini dia begitu apes. Tadi pagi kepergok mama Lean, barusan dia menabrak lelaki itu. Hah, membuat Rein ingin mencincang lelaki itu dan memberinya ke anjing agar lelaki itu tak muncul lagi di hidupnya. Rein bergidik atas pemikiran mengerikannya barusan.

"Rein, kenapa lo diem aja?"

Lean melambaikan tangan di depan wajah Rein. Dia melihat Rein mengerjab. Tindakan itu membuat Lean tersenyum. Menurutnya, mata Rein seperti mata boneka yang bisa berkedip-kedip dengan bulu mata yang tebal dan lentik.

"Lo minggir napa! Gue males ngeliat wajah lo," ungkap Rein.

Rein bergeser ke kiri, dan Lean bergeser menghadangnya. Rein bergeser ke kanan, Lean kembali menghadangnya. Lelah, Rein menatap Lean sambil melotot "Mau lo apa, sih? Minggir!!"

"Senyum manis dulu baru gue minggir."

Lean menatap Rein yang mendengus itu. Semalam, Lean baru tahu kalau Rein memiliki senyum yang manis. Biasanya gadis itu terlihat judes. Sangat cocok dengan peran Rein yang selalu antagonis.

"Ah!! Banyak maunya lo!!"

Rein menerobos dan mendorong Lean dengan sikunya. Tindakan itu membuahkan hasil dan lelaki itu berdiri menunduk. Seketika Rein berlari menuju lift. Setelah itu dia menoleh dan melihat lelaki itu mengusap perut.

"Itu siku apa pinggiran meja, sih? Tajem banget," geram Lean sambil mengusap perut. "Mana senyum manis lo?" tagihnya.

"Kayaknya lo cukup pinter, deh, buat bedain mana siku mana pinggiran meja." Rein memutar bola matanya malas. "Dan nggak ada senyum manis buat cowok kayak lo!!"

Tring!

Pintu lift terbuka dan Rein buru-buru masuk. Dia ingin segera sampai apartemen daripada berlama-lama dengan anak dari musuh mamanya itu. Belum lagi jika ada orang-orang yang membidiknya secara sembunyi-sembunyi kemudian muncul gosip lagi. Sudah cukup gosip yang dia timbulkan tadi pagi.

Sedangkan Lean, masih berdiri di posisinya menatap pintu lift yang tertutup itu. Kemudian dia terkekeh atas perdebatannya dengan Rein barusan. Sepertinya scandal-nya semalam membuat dirinya dan Rein saling bertegur sapa. Lean berbalik dan keluar lobi apartemen sambil bersiul kecil.

"Gue yakin, hari kedepannya nggak akan mudah!"

Lean memakai kaca mata kemudian masuk mobil. Pagi ini, mood-nya cukup bagus setelah menggoda Rein. Tidak disangka, gadis jutek itu ternyata lucu juga.

avataravatar
Next chapter