webnovel

Lima Belas-Syuting

"Three... Two... One... Action!"

Rein menarik napas panjang lalu kedua tangannya terlipat di depan dada. Dua hari telah berlalu, sekarang dia melakukan syuting video clip hari pertama. Dia datang bersama mamanya yang dari tadi menunggu di sebelah kameramen.

"Teriak, Rein!!"

Mendengar arah itu dia berjalan dua langkah ke depan hingga mendekat ke pinggiran rooftop. "Aaaa!!!" Setelah itu Rein berteriak kencang.

Tak lama berteriak, Rein merasakan sebuah pelukan dari belakang. Lean memeluk Rein dengan erat. Sekarang adegan di mana Lean sedang membujuk pacarnya yakni Rein. Intro musik masih terdengar dan Lean semakin mengeratkan pelukannya.

"Jadi gimana? Masih lanjutin misi?" bisik Lean.

Rein memutar bola matanya. Di saat seperti ini Lean masih saja membicarakan misi. Beruntung take mereka kali ini membelakangi kamera. Kalau tidak mungkin akan ada take ulang karena dia memutar bola matanya. "Belum, Le. Gue masih takut," jawabnya tak menutupi semuanya.

"Huh..." Mendengar jawaban itu, Lean menghela napas panjang. Dia tahu ketakutan Rein, tentu gadis itu tidak ingin mamanya terluka. "Gue janji, nggak ngelakuin tindakan gegabah lagi."

"Cut!!"

Lean dan Rein mendengar teriakan itu. Rein menoleh, menatap wajah Lean yang hanya beberapa centi dari wajahnya itu. "Gue harus percaya sama lo?"

Lean mengangguk mantap. "Ya. Demi mami kita."

Posisi mereka sekarang masih berpelukan, membuat dua orang yang berdiri tidak jauh dari mereka mulai emosi. Sarah tidak terima lagi melihat anaknya dipeluk Lean. Seketika dia berjalan mendekat lalu menarik lengan Lean. "Jangan nyari kesempatan!"

Tangan Rein ditarik oleh mamanya. Dia melirik sekilas ke Lean lalu mengikuti langkah mamanya itu.

"Huh..." Lean menghela napas panjang. Risiko syuting ditemani mama yang bermusuhan ya seperti itu. Dia lalu berjalan menjauh, menghampiri Ocit yang membawa sebotol air mineral itu.

"Enak banget meluknya," goda Ocit seraya menyerahkan sebotol air mineral.

"Ehm.."

Dehaman itu membuat Ocit dan Lean menelan ludah. Mereka menoleh ke Atika yang melipat kedua tangan di depan dada. Merasa akan ada omelan, Ocit bergerak mundur. "Saya mau nyiapin bajunya Lean dulu, Tante." Setelah itu dia buru-buru pergi.

Lean memilih duduk di kursi dan menegak minumannya. Tak lama dia merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Lean melirik sekilas dan lebih memilih menatap ke arah langit. Dia tahu apa yang akan diucapkan maminya.

"Tindakanmu barusan memalukan, Le,"

Tuh kan! Dalam hati Lean membenarkan dugaannya. Dia memutar tubuh hingga menatap mamanya. "Mi, please. Itu tadi cuma adegan."

Atike melengo, tidak percaya ucapan Lean begitu saja. "Kamu pikir mami nggak denger tadi ada yang teriak cut? Tapi kamu masih meluk anak lampir itu."

Lean menggaruk tengkuk yang tak gatal. Sekarang dia bingung harus menjawab apa. Tidak lama Lean menatap maminya yang masih menatapnya tajam itu. "Mi. Katanya mami nggak mau ke sini? Kok tiba-tiba ke sini?"

"Kenapa? Nggak suka mami ke sini? Mami pengen jagain kamu."

Mendengar jawaban maminya, Lean tersenyum getir. Tentu dia paham maksud menjaga yang diucapkan maminya itu. "Pasti mami pengen lihat Tante Sarah, kan? Masih peduli?"

Atika seketika membuang muka. "Mami nggak pengen mereka nyelakain kamu!" ucapnya setelah itu pergi.

Di posisinya Lean tersenyum kecil. Dia yakin pasti maminya penasaran dengan musuhnya itu, hanya saja enggan mengakui.

Sedangkan di ruang ganti, Sarah mengungkapkan kemarahannya, ,membuat Rein hanya diam agar tidak semakin memperkeruh suasana.

"Mama. Kan tadi cuma adegan!!" ucap Rein memberi pengertian.

Sarah mengangguk paham, tapi yang dia tidak terima saat Lean masih memeluk anaknya setelah kata cut terlontar. "Dia nyari kesempatan ke kamu, Rein. Kenapa dia tadi nggak lepas pelukannya? Apa lagi kalau nggak nyari kesempatan?"

Rein terdiam, lebih memilih memoles bibirnya dengan lipstik nude.

"Ini masih pertama, ya, Rein dia udah kayak gitu ke kamu. Kamu harus ngelawan. Jangan mau dipeluk sama anak nenek sihir itu."

Sebisa mungkin Rein tidak menjawab ucapan mamanya. Mamanya sedang emosi dan orang emosi selalu ingin menang sendiri.

"Rein. Lima menit lagi take."

Rein menoleh, melihat kru wanita yang berdiri di depan pintu. Dia mengangguk sekilas lalu kembali menatap cermin.

Diam-diam Sarah menatap pantulan diri Rein di cermin. "Ingat pesan mama, Rein."

"Iya, Ma. Udah Rein mau take bentar." Setelah menjawab itu Rein keluar ruang ganti.

Saat di luar dia berpapasan dengan mami Lean yang keluar dari lokasi pengambilan gambar. Rein lebih memilih menunduk, daripada kena semprot.

***

Hari ini hari kedua syuting video clip. Berbeda dari hari pertama yang memilih tempat di rooftop, syuting hari kedua dilaksanakan di sebuah pantai. Hari kedua, Rein tidak ditemani mamanya. Mama Rein sedang menemani sang suami yang hari ini pulang dari Kalimantan. Jadi Rein hanya ditemani oleh Ovi asistennya.

"Rein. Nanti kamu lari sambil nangis. Terus peluk, Lean."

Rein mendengar apa yang dijelaskan oleh kru. Dia menatap ke arah pantai lalu perhatiannya tertuju ke langit yang terlihat begitu terik.

"Jelas, kan, Rein?"

Mendengar pertanyaan itu Rein mengangguk tanpa mengalihkan pandang. Perhatiannya lalu tertuju ke bagian ujung pantai. Di sana terlihat Lean sedang duduk. Sekarang memang sedang pengambilan gambar. Ceritanya Lean sedang merenungi pacarnya yang ingin putus. Sedangkan Rein yang berperan sebagai pacar Lean nanti akan berlari dan meminta maaf ke lelaki itu.

Dari kejauhan Rein melihat rambut Lean yang sedikit gondrong itu tertiup angin. Tak lama Lean berdiri sambil mengusap peluh, setelah itu melepas semua kancing kemejanya. Tindakan itu, membuat Rein berhenti bernapas beberapa saat. Tanpa sadar dia menatap ke perut tanpa lemak milik Lean. Membuat Rein ingat dengan kejadian saat dia melabrak lelaki itu gara-gara sebuah gosip.

"Mbak, Rein. Udah waktunya take."

Rein tersentak mendengar ucapan Ovi. Dia tersenyum tipis dan mencoba menghilangkan bayangan perut tanpa lemak milik Lean itu. Rein mengangkat gaun yang panjangnya melebihi kaki lalu berjalan mendekat ke kru yang sedang berkumpul.

Dari arah berlawanan, Lean menatap Rein yang mengenakan long dress berwarna putih itu. Tindakan Rein yang sedikit mengangkat gaun itu membuat Lean gemas.

"Lean! Ambil posisi."

Lean tersentak dan buru-buru mengalihkan pandang, lantas dia duduk di pantai sesuai arahan. Sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat Rein yang tengah diberikan instruksi.

"Action!!"

Rein berlari ke bibir pantai, beradegan layaknya orang kebingungan sambil sesekali meremas rambutnya sendiri. Setelah itu dia menoleh, dan pura-pura kaget melihat Lean yang duduk di pantai. Setelah itu Rein berlari cepat. Entah long dress-nya yang terlalu panjang atau terkena angin, bagian bawah dress itu terinjak oleh kakinya. Seketika Rein kehilangan keseimbangan, hingga dia melangkah ke samping dengan tubuh sempoyongan.

"Cut!! Rein kamu nggak apa-apa!!"

Lean yang mendengar teriakan itu seketika menoleh. Dia melihat Rein yang berdiri sambil menunduk. Tak lama beberapa kru wanita menghampiri dan berjongkok di depan Rein. Lean yang merasa ada sesuatu, seketika bangkit dan berlari menghampiri.

"Gaunnya kepanjangan, terus tadi kena angin. Sial!!" Rein menggerutu. Beruntung dia tadi tidak jatuh kalau jatuh mungkin dia akan jadi bahan tertawaan.

"Rein. Lo kenapa?" tanya Lean sesampinya di hadapan Rein.

Mata mereka saling bertemu. Ada sorot kekhawatiran dari tatapan Lean. Berbeda dengan Rein yang menatap Lean bingung.

"Rein kenapa?" tanya Lean ke kru.

"Gaunnya kepanjangan, dia hampir jatuh."

Perhatian Lean tertuju gaun putih yang dikenakan Rein. Dia lalu menghela napas. "Bisa ganti baju lain nggak? Bahaya, loh!"

Rein mengangguk menyetujui. Awalnya dia pikir akan mudah berlari dengan gaun panjang, tapi setelah dipraktekkan susah juga.

"Ada kok. Ayo Rein ganti baju dulu."

"Ya sudah sana." Lean menatap Rein yang hanya diam itu. Dia mendekat lalu menggenggam tangan Rein. "Tapi lo nggak kenapa-napa, kan?"

Tatapan Lean dan Rein saling mengunci. Rein menelan ludah gugup mendapat tatapan khawatir itu. Baginya itu hanya insiden kecil, tapi Lean terlihat begitu khawatir. "Nggak apa-apa kok, Le. Gue ganti baju dulu," pamitnya setelah itu berjalan menjauh.

Di belakang Rein, Lean berjalan mengikuti. Perhatian Lean tak teralih sedikitpun dari sosok wanita di depannya itu. Dia bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia begitu khawatir.

Sesampainya di ruang ganti, Rein mengusap peluhn. Ruang ganti berada di salah satu ruangan hotel yang masih satu kawasan dengan pantai. Rein melihat dress putih yang panjangnya mungkin hanya sebatas mata kaki itu. "Nah, ini lebih mendingan daripada yang tadi. Semoga nggak ada insiden lagi," ucapnya.

"Ya udah cepet pakai. Gue bilang ke bagian kru dulu," ucap Ovi.

Ceklek...

Rein hendak melepas dress yang dipakai saat mendengar pintu dibuka. Seketika menegang melihat Mami Lean berjalan masuk. "Tan.. te...." panggilnya gugup.

Atika tersenyum tipis ke Rein. Dia tadi melihat bagaimana Rein hampir terjatuh. Bahkan dia juga melihat bagaimana anaknya mengkhawtirkan Rein. "Kenapa kamu ketakutan seperti itu? Saya nggak akan berbuat yang macam-macam ke kamu," ucapnya sambil menatap raut ketakutan Rein.

Rein tidak mampu menjawab ucapan wanita di depannya itu. Dia hanya menatap dan berharap tidak ada sesuatu yang berarti.

"Saya nggak tahu alasan kamu nerima jadi model di video clip Lean. Tapi saya harap kamu nggak menghancurkan karier Lean dengan kamu pura-pura menjadi model video clip."

Rein menggeleng tak setuju. "Saya tidak seperti itu, Tante."

"Kamu kira saya percaya? Mamamu pernah menjelek-jelekkan saya dan menjatuhkan karier saya. Tidak menutup kemungkan kamu juga melukan hal serupa ke Lean."

"Tidak, Tante!"

Atika tersenyum sinis. Dia tidak mudah begitu saja percaya ucapan Rein. "Tidak apa? Tidak salah? Kamu dan mama kamu itu sama. Nggak suka orang lain sukses. Bilang saja, kamu sedang melakukan misi menghancurkan karier Lean, kan?"

Air mata Rein turun dari membasahi pipi. Rasanya sakit mendengar tuduhan yang tidak ada benarnya sama sekali. Rein melempar dress yang ada di tangannya lalu menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Saya nggak pernah berniat seperti itu, Tante. Saya nggak tahu kesalahan besar apa yang mama lakukan ke Tante. Tapi saya tidak pernah berniat benci ke Tante atau Lean. Permisi." Setelah mengucapkan itu Rein keluar ruangan.

Hatinya sakit mendapat ucapan pedas seperti itu. Ini memang bukan ucapan pedas pertama yang Rein dengar dari Tante Atika. Tapi ucapan pedas kali ini melukai hati Rein. Rein bahkan tidak ada niatan sama sekali untuk menjatuhkan Lean. Tidak pernah dalam mimpi terjahatnya sekalipun.

Next chapter