webnovel

Dua Puluh Dua-Seperti Dugaan

Lean keluar kamar mandi sambil bertelanjang dada. Kaus putihnya berada di tangan, lalu dia memakainya sambil berjalan menghampiri Ocit. "Besok gue harus berangkat jam berapa?"

Ocit membuka notes kecilnya dan melihat list yang belum dia coret. Setelah itu dia menoleh ke Lean yang menunggu jawabannya itu. "Jam delapan pagi. Harus check sound dulu."

Lean manggut-manggut. Dia menyandarkan tubuh di sandaran sofa lalu memijit kepalanya yang terasa berat. Tadi pagi setelah sampai Bali, dia langsung manggung di tiga tempat. Baru tiga puluh menit yang lalu, tepatnya jam sepuluh malam, dia baru bisa check in.

"Bos, soal gosip. Pihak manajemen mau klarifikasi."

Mendengar kata gosip, Lean seketika menegakkan tubuh. Dia menoleh dan menatap Ocit dengan satu alis terangkat. "Klarifikasi? Ngapain?"

"Cuma jelasin. Kasihan Rein yang dituduh macem-macem. Belum lagi gosip hubungannya sama Miko."

"Huh..." Lean menghela napas panjang. Tadi saat perjalanan ke hotel dia menyempatkan diri untuk membaca artikel. Banyak artikel yang membasar-besarkan masalah. Ada yang menduga putusnya Rein dengan Miko hanya setting-an. Ada yang menduga kalau Rein dan Lean terlibat cinlok saat pembuatan video clip. Ada juga yang menduga kalau Rein berselingkuh.

Rasanya Lean ingin mencari tahu siapa pembuat artikel itu. Tidak tahukah bahwa apa yang ditulis membuat orang yang membaca semakin berpikiran yang tidak-tidak? Lalu sekarang manajemen mau klarifikasi? Lean menggeleng tegas. "Nggak usah. Kalau klarifikasi malah ada topik baru lagi. Gue kasihan sama Rein."

Ocit mengangguk mengerti. Dia tadi ditelepon pihak manajemen dan sempat memikirkan dampak klarifikasi itu. Pihak manajemen pun takut kalau Rein semakin tertimpa masalah. Belum lagi masalah mami Lean dan mama Rein yang tidak ada habisnya. "Ya udah kalau gitu. Gue nanti telepon manajemen lagi."

Lean mengangguk. Dia tidak akan membiarkan Rein semakin dibicarakan. Apalagi sekarang dirinya sedang berjauhan dengan Rein. Lean seketika bangkit, ingat belum menghubungi gadis itu. Tapi belum sempat dia mencari ponsel, terdengar pintu yang diketuk.

Tok... Tok... Tok...

"Siapa, ya?" gumam Lean.

"Mami, Bos."

Satu alis Lean terangkat. Maminya memang ada acara di Bali, tapi dia belum sempat memberi tahu maminya di mana dia menginap. Lean lalu menatap Ocit tajam.

"Sorry. Tadi mami telepon gue terus."

"Ya udah. Buka aja pintunya." Setelah mengucapkan itu Lean kembali ke posisinya. "Huh..." Dia menghela napas panjang bersiap mendengar omelan panjang maminya.

"Lean!!"

Perlahan Lean menoleh, mendapati maminya dan Nana berdiri di depan pintu. Dia mendekat dan mencium punggung tangan maminya itu.

"Susah banget, ya, buat hubungi mami?" Atika menatap anaknya yang terlihat segar sehabis mandi itu.

"Nggak gitu, Mi. Kok ada Nana?" tanya Lean mengalihkan pembicaraan. Dia mulai meneliti pakaian Nana, dress merah dengan bagian bawah mengembang. Make up gadis itu juga terlihat semakin tebal.

"Ternyata Nana masih saudara sama temen mami. Jadi, ya, tadi sekalian mami ajak Nana ke sini. Buat ketemu kamu."

Lean mengusap wajahnya gusar. Dia berbalik lalu berjalan kembali ke sofa. Setelah itu Lean menoleh ke maminya yang duduk di sebelahnya itu. Sebenarnya dia sangat bersyukur jika tidak ada Nana.

"Oh ya, Le. Mami mau tanya."

"Soal gosip?" potong Lean.

Atika tersenyum, anaknya mampu menebak dengan benar. Dia lalu mengangguk. Dia sangat tidak terima anaknya digosipkan dengan Rein.

"Na. Lo bisa pergi bentar nggak? Gue mau ngomong berdua sama mami."

Nana yang sejak tadi fokus memperhatikan Lean seketika cemberut. Dia tidak terima mendengar Lean yang sebenarnya mengusirnya itu. "Kenapa? Gue bukan orang asing lagi."

"Tapi gue butuh privasi!!" sentak Lean.

Sentakan itu membuat Nana takut. Dia berdiri dengan berat hati lalu berjalan sambil menghentak keluar kamar Lean. Padahal Nana ingin melepas rindu dengan lelaki yang sudah lama tidak dia temui itu.

Selepas kepergian Nana, Lean menatap maminya. "Mi. Lean cuma nolongin Rein. Rein putus sama Miko dan Miko ngomong kasar ke Rein. Apa Lean salah? Mami pernah ngajarin Lean buat hargain wanita."

Atika terdiam. Dia tahu gosip yang menerpa Rein. Atika juga tahu sifat Miko, beberapa kali dia mendengar cerita Lean saat masih SMA dulu. Ada sebagian hatinya yang kasihan dengan Rein. Baru putus dengan Miko, tapi sudah ada gosip yang tidak-tidak. Tapi rasa marah itu masih menguasai. Rasa marah ke mama Rein.

Melihat maminya yang terdiam, Lean merasa maminya itu sedang memikirkan ucapannya. Lean perlahan menarik kedua tangan maminya. "Mi. Lean suka sama Rein. Semoga Mami bisa ngerti."

Atika tersentak mendengar kalimat itu. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi. Saat awal gosip dulu, dia sangat ketakutan jika cinta itu akan tumbuh di hati anaknya. "Kenapa harus sama Rein? Kenapa nggak sama Nana? Dia juga cantik."

Lean membuang muka. Andai jatuh cinta bisa dikontrol, tentu semua orang bisa jatuh cinta kepada orang yang diinginkannya. "Mami pernah muda, kan? Pernah ngerasain jatuh cinta ke papi, kan? Pernah nggak mami mikir kenapa harus jatuh cinta ke papi? Bukan ke lelaki idaman mami? Mami milih papi yang kerja kantoran. Bukan model kayak mami."

Mata Atika terpejam, sangat paham apa yang dirasakan Lean. Tapi dia bingung harus bagaimana. Jika merestui jelas hubungannya dengan sang besan tidak pernah akur.

"Mi. Lean mohon. Jangan benci Rein."

"Mami nggak setuju, Le!!" Atika seketika berdiri dan meninggalkan Lean yang tertunduk lesu. Lean sudah menebak hal ini akan terjadi.

***

Kalau tidak salah, lebih dari dua jam Rein berbaring di ranjang. Tapi sampai saat ini dia belum bisa memejamkan mata. Rein mengubah posisinya menjadi terlentang, menatap langit-langit kamarnya yang bergambar awan.

Sejak pulang dari lokasi syuting, Rein memilih ke rumah. Seperti yang dia duga, mamanya mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Tapi kali ini ada yang berbeda, mamanya tidak banyak memarahi, malah cenderung lebih banyak mengernyit.

Hal itulah yang membuat Rein bingung. Dia terbiasa dengan kemarahan mamanya yang meledak-meledak. Tapi tadi mamanya seolah sedang berpikir keras. Rein takut mamanya akan bertindak yang tidak-tidak di belakangnya.

"Ah!! Kenapa gue kepikirian gini?"

Rein memejamkan mata. Saat matanya terpejam, bukan kegelapan yang terasa, tapi banyangan saat di lokasi syuting yang tergambar nyata. Rein ingat, tadi saat beradegan dengan Miko, dia sangat canggung. Beberapa kali dia dan Miko harus mengulang dialog yang tidak sesuai script.

"Kerja sama mantan ternyata nggak enak," gerutunya.

Akan lebih mudah melupakan jika seseorang itu tidak terlihat di depan mata. Akan lebih mudah melupakan saat jalan yang diambil tidak sama dengan seseorang itu. Tapi yang Rein rasakan, dia tidak bisa berjauhan dengan Miko. Pekerjaan dan dunia mereka sama, membuat mereka mau tidak mau akan selalu bertemu.

Dada Rein tiba-tiba sesak saat ingat kemarahan Miko. Dia mencoba melupakan kejadian itu tapi dia bukan tipe orang yang mudah lupa. Apalagi dengan hal yang menyangkut dirinya.

Drtt!!

Getar ponsel itu membuat Rein membuka mata. Dia mendongak dan melihat cahaya putih dari atas nakas. Tangannya terulur dan mengambil benda itu. Saat melihat foto Lean muncul di layar, dia langsung terduduk.

Rein turun dari ranjang, menyalakan lampu hingga kamarnya kembali terang. Setelah itu dia mengangkat video call dari Lean.

"Udah tidur?"

Rein kembali duduk di ranjang. Dia menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, lalu menggeleng. Rein melihat wajah Lean yang terlihat segar dengan rambut yang masih basah. "Baru sampai, ya?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Lean.

Di hotel, Lean mendesah lega melihat wajah Rein. Dia tadi sempat bimbang, apa harus menghubungi Rein atau tidak. Awalnya dia takut Rein sudah tidur. Tapi akhirnya dia memilih untuk mencoba menghubungi Rein. "Tiga puluh menit yang lalu. Gimana harimu? Seru?"

"Huh... "Rein menghela napas panjang. "Enggak. Datar-datar aja."

Lean merasa salah memberikan pertanyaan. Di saat banyak gosip seperti ini tentu hari-hari Rein sangat menyebalkan. "Maaf, ya, nggak bermaksud kok."

"Nggak apa-apa," jawab Rein sambil terkekeh geli.

Tak lama suasana mulai mencair. Lean lega melihat senyum yang muncul di bibir Rein. "Gitu dong senyum. Kan, makin cantik."

Rein mencibir gombalan itu. Tapi mendengar kalimat itu membuat hari Rein yang dari tadi datar menjadi sedikit berwarna. "Le. Lo dimarahin mami lo nggak?"

Lean mengalihkan pandang sejenak. Dia ingat percakapannya dengan maminya barusan. Lean tidak mendapat jawaban menyenangkan dari maminya. Ternyata maminya tetap tidak suka dia berdekatan dengan Rein. "Ya gitu deh, Rein. Kayak nggak tahu mami gue aja. Kalau lo gimana?"

Sekarang giliran Rein yang membuang muka. Dia ingat dengan respons mamanya yang tidak pernah dia bayangkan. Setelah itu Rein menatap ponselnya dan menjawab. "Mama gue marah tapi anehnya nggak semarah biasanya. Gue takut mama gue ngerencanain sesuatu."

"Bagus dong mama lo nggak semarah biasanya. Berpikir positif aja, Rein."

Rein mengangguk samar, tapi tetap saja di hatinya masih tidak tenang. "Le. Lo balik kapan?"

Lean tersenyum. Dia menatap Rein yang menggigit bibir itu. Lean lalu mengedip genit. "Kenapa? Udah kangen, ya? Baru sehari nggak ketemu lho, Sayang."

Sudah Rein duga kalau ini jawaban Lean. Dia tadi bingung harus berkata apa. Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Sekarang Rein menyesal. Andai ucapannya bisa ditarik. "Enggak! Palingan lo yang kangen gue."

Lean tersenyum memandangi wajah Rein yang jutek itu. "Kok lo tahu sih kalau gue kangen lo?"

Seketika Rein menegakkan tubuh. Bukan ini jawaban yang ingin dia dengar. Sekarang Rein tidak tahu harus menjawab apa. Ada sebagian hatinya yang senang mendengar ucapan Lean. Tapi sebagian hatinya tidak merasakan apapun. "Le. Udah, ya, gue ngantuk."

Setelah mengucapkan itu Rein memutuskan sambungan. Dia melempar ponselnya ke sisi ranjang lalu menyentuh dadanya yang sekarang berdetak lebih cepat. Jangan bilang kalau gue jatuh cinta? Gue baru aja putus sama Miko.

Sedangkan di tempat lain, Lean menatap ponsel yang kembali gelap. Padahal dia ingin mendengar jawaban Rein. Malah gadis itu menjawab ngantuk dan sambungan terputus.

"I love you, Rein!" ucap Lean masih menatap ponselnya.

Next chapter