1 PROLOG & BAB 1

· Prolog

Ini terlalu sulit bagiku. Aku menyerah untuk coba memahami jalan pikiran kedua orang tuaku. Aku tahu mereka melakukannya untuk kebaikan dan demi masa depanku, tapi semua ini terasa menyesakan. Aku tertekan dengan apa yang mereka lakukan selama ini, dan aku pikir sudah saatnya aku menentukan jalan hidupku sendiri.

Aku sudah dua puluh tiga tahun, aku tidak ingin jadi perempuan yang hanya bisa terkurung di rumah dan hanya bisa menunggu ijin dari para lelaki kepala rumah tangga untuk melakukan ini dan itu. Aku tidak ingin terus menjadi tidak berguna dengan bergantung pada keluargaku yang memiliki pemahaman yang sangat kuno tentang kehidupan. Aku akan menunjukan bahwa aku bisa mandiri, aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri. Aku pasti bisa.

Oleh karena itu, di suatu sore, saat semua orang di rumahku tengah sibuk dengan urusan masing-masing, aku menyelinap keluar dari rumah dengan membawa ransel berisi pakaian dan sedikit uang. Menggunakan ojek yang sembarang kuhentikan di tengah jalan, aku berangkat menuju terminal bus, untuk menunggu bus antar kota yang kemarin tiketnya telah kubeli dengan tujuan acak.

Sumenep-Madura.

Ah. Aku tidak tahu, akan seperti apa hidupku disana nanti. Aku memang telah siap menerima segala konsekwensi dari keputusan yang kubuat, tapi ... Bolehkah aku berharap kalau hidupku disana tidak akan seberat yang kuhadapi disini?

· SATU

(ERIN)

"Tuh bocah beneran kampret deh!" Cewek cantik bertampang bule yang duduk di kursi di depanku bersama seorang teman cowoknya, berdecak kesal sambil melotot keluar jendela mobil. Memperhatikan beberapa penumpang yang belum naik.

"Siapa? Ervin?" Nada suara teman cowok si cewek cantik itu terdengar malas, "Ngapain lagi tuh anak?"

"Kayak biasa. Dia nggak bisa ngeliat mahluk yang dada ama pantatnya mancung dikit, langsung digoda."

Aku meringis mendengar perkataan si cewek bertampang bule itu. Enggan mendengar kelanjutan obrolan mereka, ataupun mencaritahu lebih lanjut siapa objek yang menjadi topik pembicaraan dua orang ganteng dan cantik di depanku, aku segera mengeluarkan ponsel dan kartu layanan provider yang baru kubeli. Setelah terdiam ragu selama beberapa detik, aku kemudian menyibukan diri mengganti kartu nomer ponsel lamaku dengan yang baru. Untuk saat ini aku belum siap bicara dengan keluargaku, aku tidak mau diseret pulang. Ayahku adalah Ayah yang paling egois di dunia. Dia memiliki ambisi untuk mengatur hidup semua anaknya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tak peduli itu akan berdampak baik atau buruk untuk sang anak, dan bahkan tak peduli bahwa sang anak sama sekali tidak berniat menuruti keinginannya, dia akan memaksa sampai semua keinginannya tercapai.

Dua puluh tiga tahun, aku hidup sebagai anak baik dengan menuruti semua kemauan Ayah. Dan aku sudah mencapai titik dimana aku tidak sanggup lagi untuk menjadi anak baik bagi keluarga.

Bus mulai berjalan setelah semua penumpang naik. Aku masih menyibukan diri dengan ponsel, membuka internet untuk mencari pekerjaan dan beberapa penginapan murah di tempat tujuanku, saat seseorang tiba-tiba duduk di kursi penumpang kosong di sampingku.

Aku menoleh dan agak terkejut ketika seraut wajah tampan menyambutku dengan sebuah senyuman yang bisa membuat hati meleleh.

"Hai," sapanya ramah. Mata cokelatnya tampak berbinar geli saat melihat reaksi kampunganku. Yeah, memalukan. Aku memang tidak terbiasa berhadapan dengan laki-laki tampan.

Apalagi yang setampan ini.

"H-hai," balasku gagap. Aku kembali menunduk, berpura-pura sibuk bermain ponsel.

"Naiknya sendirian Sist?" Aku kembali mendongak ketika mendengar suara pertanyaan yang kelewat ramah itu.

Perkataan ibu untuk berhati-hati terhadap orang asing kembali terngiang di kepalaku. Walaupun orang asing itu seganteng Mas Reza Rahardian, aktor favoritku, tapi tetap saja itu berbahaya. Siapa tahu dia punya catatan kriminal? Mucikari? Perampok? Pembunuh? Muka ganteng kan nggak bisa menjamin baik atau tidaknya orang tersebut.

"Iya." Aku meliriknya sesaat dan mendapati dia sedang memperhatikanku serius. Tampak begitu tertarik.

Aku berdoa dalam hati, semoga saja orang asing ini bukan perampok, pembunuh, mucikari, atau apapun namanya. Aku benar-benar tertarik dengan profilnya, dia tinggi, memiliki dada bidang dan postur bagus (kaus abu-abu pas badan dan celana khaki yang dia gunakan, memperlihatkan semuanya dengan jelas). Dia memiliki rambut hitam agak ikal dan lumayan gondrong, membuatnya kelihatan cukup ganteng dan laki banget, saat rambutnya dikuncir ke belakang. Dia memiliki kulit agak kecokelatan, garis rahang tegas, hidung mancung, mata kecokelatan yang hangat. Dia juga memiliki wajah yang agak kebule-bulean seperti cewek yang duduk di depan kami.

"Tujuan mana?" Tanyanya penasaran.

"Ummm. Madura." Aku enggan memberitahu kemana tujuanku secara terperinci, siapa tahu dia ini penjahat atau psikopat gila.

Mata cokelatnya tampak berbinar senang. "Oh. Sama dong!"

Waduh.

"Aku sama teman-temanku ..." Menggunakan jempol dia menunjuk ke arah dua orang yang duduk di bangku depan kami, dan juga beberapa cowok yang duduk di samping pak sopir di bangku nomer satu-dua-paling depan, "juga mau ke Madura."

"Oh." Hanya itu respon yang bisa kukeluarkan.

Aku tidak pernah berinteraksi dengan orang asing. Jadi ini terasa sangat canggung.

"Hmm?" Aku kembali terkejut saat dia tiba-tiba menyodorkan tangannya ke depanku.

"Kita belum kenalan kan?"

"Iya." Aku mengangguk. Membalas jabatan tangannya kikuk.

"Aku Ervin Prawira. Panggil aja Ervin."

"Erina Fajrani. Panggil aja Erin."

Senyuman Ervin benar-benar berbahaya untuk kesehatan jantung.

"Nama yang cantik. Secantik orangnya."

Aku menunduk, tak tahu harus merespon seperti apa. Aku tidak terbiasa digoda cowok. Aku memiliki beberapa saudara laki-laki hampir seumuran, yang biasa mengintimidasi para laki-laki di sekolah, kampus, maupun lingkungan sosial untuk menjauh dariku.

Agar Ervin tidak bertanya apapun lagi, aku membuat kursiku mundur sedikit. Agar bisa berbaring nyaman, dan tidur-kalau bisa.

"Selamat malam, Erin. Mimpi indah ya."

Ervin berbisik pelan, aku bisa mendengar senyum dalam suaranya. Dan itu membuatku memejamkan mata dengan erat.

#

"Rin. Erin ..."

Ini benar-benar tidak nyaman. Leherku terasa sakit, dan badanku pegal. Sesaat aku kehilangan orientasi dan berpikir bahwa aku perlu membeli kasur baru, karena kasur yang ini terasa begitu keras. Belum lagi volume AC yang terlalu dingin menerpa beberapa bagian kulit telanjang, hingga aku mengginggil.

"Erin. Ayo bangun, kita sudah sampai."

Suara asing seorang laki-laki seketika membuat mataku terbuka lebar. Mulutku menganga lebar ketika muka ganteng seorang cowok bertampang bule terpampang jelas di depanku. Aku mengerjap linglung, berbagai macam pikiran negatif yang membuatku hampir menjerit kencang melintas di kepala.

"Maaf kalau aku ngeganggu tidur kamu." Cowok ganteng itu tampak geli melihat ekspresiku. "Tapi kita sudah sampai di Ampang. Kamu nggak mau turun dulu buat makan?"

Aku kembali mengerjap, bingung. Sepertinya aku masih terdisorientasi karena baru bangun. Suara orang-orang yang terdengar ramai membuatku menoleh ke sekeliling. Para penumpang tampak ogah-ogahan bangun dari kursi mereka masing-masing, lalu berjalan tertib menuju pintu untuk keluar dari bus.

Oh. Akhirnya aku ingat apa yang terjadi. Aku kabur dari rumah. Duduk sebangku dengan cowok ganteng bernama Ervin, dalam perjalanan menuju Sumenep-Madura.

"Ah. Maaf." Malu-malu aku merubah posisi berbaringku jadi duduk tegak. "Terimakasih udah ngebangunin aku."

"Yup. Sama-sama!" Kata Ervin riang.

Siulan menggoda yang datang dari kursi depan kami, membuat kami berdua menoleh. Si cewek muka bule teman Ervin memandang kami dengan sorot mata dan ekspresi aneh. Cengiran lebar tersungging di mulutnya.

"Pantas aja daritadi kamu nggak ngerempongin kami seperti biasa," cowok yang disebelah si cewek terkekeh geli, dia tampak memakai jaketnya dan bersiap turun, "rupanya lagi sibuk ngecengin cewek cakep."

Disebut cakep oleh orang yang jelas cantik membuatku tersipu.

"Mbak. Kalau dia mulai ngegombal jangan percaya, nih anak Buaya. Nggak bisa ngeliat cewek langsung digoda."

Aku meringis. Setelah melipat selimutku rapi, aku kemudian berdiri, memeriksa uang di sakuku dan bersiap pergi.

"Enak aja." Ervin sewot mendengar ejekan si cewek bule. "Yuk, Rin. Turun sama-sama."

Aku berjalan di belakang Ervin. Diikuti si cewek muka bule dan pasangannya.

"Hei." Cewek muka bule menyejajarkan langkahnya denganku. Dia terlihat ramah dan baik.

"Hei."

"Aku Avery. Adik kembarnya Ervin." Dia tiba-tiba memperkenalkan diri.

Ah. Pantas mirip, dan rada bule. Ternyata mereka kembar. Aku agak canggung untuk berinteraksi dengan Avery dan Ervin, mereka sangat supel.

"Erina," jawabku kikuk sembari memasukan tangan ke dalam saku jaket. Ini jam dua subuh. Suasananya benar-benar dingin.

"Aku dengar pembicaraan kamu sama Ervin, katanya kamu mau ke Madura juga ya?"

Aku, Avery, dan pacarnya yang belakangan kuketahui bernama Romeo memasuk ke rumah makan yang telah ramai oleh puluhan penumpang dari bus yang kami tumpangi.

"Iya," aku menjawab pertanyaan Avery sambil memperhatikan sekeliling untuk mencari meja dan bangku kosong.

Ervin yang masuk lebih dulu, tampak berbicara dengan beberapa orang temannya di sebuah meja yang telah penuh. Ketika melihat kami bertiga, dia kemudian memberi isyarat dengan menggedikan dagunya ke meja yang masih kosong.

"Kesana yuk," ajak Romeo memahami isyarat Ervin. Aku tahu ajakan itu ditujukan untuk Sang pacar, Avery, dan bukan aku.

Aku terpaksa mengikuti mereka, karena memang tidak ada lagi kursi dan bangku kosong.

#

Avery itu gadis yang menyenangkan. Dia cerewet dan memiliki banyak lelucon lucu yang bisa membuatku tertawa. Romeo bahkan tidak bisa melepaskan tatapannya dari sang pacar walau hanya sedetik. Dia tampak tergila-gila pada Ave.

"Menggunakan mode transportasi apapun, aku biasanya terkena motion sickness jika ada orang di kendaraan yang kutumpangi, yang mual dan muntah-muntah," jelas Avery sambil menjejalkan potongan perkedel jagung dan sesuap nasi ke mulutnya, "suara orang yang muntah membuat perutku melilit tak enak."

Aku tersenyum mendengar penjelasan Ave, sementara Romeo berdecak.

"Kalau jijik sama suara muntahan orang, ya jangan bicarain muntah waktu lagi makan!" Katanya tak sabar.

"Hehehe. Sorry Beib." Ave cengar-cengir tak jelas.

Aku melanjutkan acara makanku sambil coba mengabaikan kemesraan pasangan yang duduk di seberang meja.

"Abangmu itu benar-benar dah." Gerutuan Romeo membuat atensiku dari nasi dan laukku yang hampir habis kembali teralih.

"Hmm?" Aku dan Ave memandang Romeo penasaran.

"Tuh." Dia menggedikan bahunya ke sebuah meja yang letaknya tak jauh dari pintu masuk warung makan. Meja itu diisi oleh beberapa gadis cantik berpakaian seksi, celana skinny jeans dan kaos ketat pas badan (cuma Tuhan sama diri mereka sendiri yang tahu, apa mereka kedinginan atau nggak dengan pakaian macam itu. Aku aja walau udah make jaket, dinginnya udara subuh masih kerasa). Ervin tampak duduk di meja itu, berbicara dengan yang paling cantik, sambil sesekali melempar rayuan yang membuat gadis berambut brunnete dengan body aduhai itu merebahkan kepala di pundaknya. Haaaah. Buaya.

Ave mencebikan bibir melihat kelakuan abangnya. "Aku heran sifat player Ervin sebenarnya nurun darimana, Papaku itu orang yang jaim dan kelewat kalem kalau di muka umum, sementara Mama orangnya pemalu."

"Mungkin dia mengalami depresi genetik," tambah Romeo.

"Yah, mungkin," gumam Ave pasrah.

Setelah selesai makan, aku dan Ave memutuskan untuk pergi ke toilet menuruti panggilan alam. Lalu membeli beberapa snack dan minuman. Begitu kami kembali ke bus, Ave masih tidak bisa berhenti bercerita mengenai banyak hal dalam kehidupannya. Aku jadi berpikir, jika Ave dan Romeo mengatakan Ervin mengalami depresi genetik karena tidak tahu darimana sifat playboy-nya berasal, maka aku bisa mengatakan hal yang sama mengenai Avery. Jika ayahnya dan kelewat kalem dan ibunya seorang pemalu, lalu darimana kecerewetan Avery berasal?

Aku memejamkan mata dan hampir tertidur ketika Ervin kembali, duduk di sampingku.

"Hai," sapanya riang.

Aku mengangguk, terlalu mengantuk untuk menyadari bahwa bus sudah kembali berjalan lagi. Avery yang duduk di bangku depan berbalik.

"Cewek mana lagi yang kamu goda di rumah makan tadi?" Tanyanya datar.

"Owh. Namanya Jenny, dia kuliah di Bali." Ervin menjawab kalem, seolah Ave hanya bertanya soal cuaca.

"Udah dapet nomer ponselnya pasti."

"Udah dong. Malah sama Pin BB dan alamat lengkapnya juga."

Avery mendengus. Dan setelah itu terjadi perdebatan sengit antar saudara mengenai masalah 'menghormati perempuan', dan aku tidak mendengar apapun lagi setelahnya, karena aku tertidur.

#

"Kamu nggak bisa berhenti ngegodain perempuan ya?" Dalam kapal penyebrangan dari Sumbawa ke Lombok, aku menegur Ervin, yang lagi-lagi tidak bisa diam ketika melihat gadis cantik penumpang bus lain, yang menaiki kapal yang sama dengan kami. Gadis cantik itu duduk di deretan bangku terdepan di dek kapal, sesekali dia menoleh ke belakang untuk melempar senyum malu-malunya pada Ervin yang langsung membalasnya dengan kedipan mata ala playboy.

Oh. Ya ampun. Aku memutar mata melihat kelakuannya. Romeo dan Ave tidak turun ke kapal, mereka lebih memilih tetap berada di atas bus.

"Menggoda cewek itu baik untuk kesehatan. Lagian ceweknya juga nggak nolak tuh waktu kugoda." Dia membela diri.

"Tapi itu sama seperti kamu mempermainkan perempuan."

Ervin terkekeh. Matanya tampak berbinar senang. "Aku tidak mempermainkan perempuan. Mereka saja yang selalu datang padaku, dan mereka juga tidak keberatan dipermainkan."

Aku cemberut mendengar jawaban Ervin. "Kamu jugakan punya kembaran cewek, gimana perasaanmu kalau Ave dipermainkan cowok kayak kamu?"

Ervin tertawa keras mendengar pertanyaanku. "Rin, percaya deh, nggak ada cowok yang akan berani mempermainkan singa betina macam Ave."

Heh?

"Bahkan Romeo takut sama Ave. Adikku itu garang dan jago martial arts. Jadi cowok yang kenal Ave dan mau mainin dia, bakal mikir-mikir dulu sebelum melaksanakan niatannya. Dijadiin samsak tinju sama Ave, nyaho dah."

"Oh." Aku meringis mendengar penjelasan Ervin.

"Oh ya ..."

"Hmmm?"

"Kamu ... Kabur dari rumah ya?"

Pertanyaan Ervin membuatku hampir merosot jatuh dari bangku. Ya Tuhan, bagaimana dia bisa tahu? Aku menoleh gugup ke arah Ervin yang menatapku serius.

"K-kenapa kamu bisa nebak gitu?"

"Orang yang berpergian untuk kuliah atau apapun biasanya akan menelpon atau mengirim pesan singkat pada keluarga. Kamu tidak melakukannya," nada suaranya terdengar menuduh, "dan kamu juga terlihat canggung saat berinteraksi dengan orang asing. Apa ini kali pertama kamu berpergian sendiri?"

Aku berusaha menatap objek apapun, kecuali bola mata cokelat yang saat ini menatapku tajam dan penuh selidik.

"Kamu benar-benar sok tahu," kataku pelan sembari bangun dari bangku dan beranjak menuju kantin kapal untuk membeli cemilan. Dan saat aku kembali, Ervin sudah pindah di bangku gadis cantik tadi. Mereka tertawa-tawa dan mengobrol akrab.

#

"Bosaaaaaan." Keluhan Ave terdengar dari bangku depan.

Sekarang bus yang kami tumpangi sedang melaju di jalanan besar kota Mataram. Aku duduk bersandar sambil menonton kesibukan pagi penduduk Mataram melalui jendela mobil, sementara Ervin sejak tadi sibuk dengan ponselnya.

Pembicaraan dengan Ervin di atas kapal tadi, membuat perasaanku mendadak kacau. Aku tiba-tiba teringat pada keluargaku, Ayah, Ibu, Oma, beserta kedua adikku, Raskal dan Paskal. Mereka pasti sedang kelimpungan mencariku. Aku harap penyakit jantung Ayah tidak kambuh. Betapapun aku tidak suka pada cara egois Ayah mendidik kami, Beliau tetap Ayahku dan aku menyayanginya.

"Rin! Eriiiiin?"

Eh? Suara panggilan Ave di depan membuatku keluar dari lamunan. Aku menoleh mendapati wajah bingung Averi yang muncul di atas sandaran kursi di bangku depan, wajah khawatir Romeo yang juga ikut memperhatikanku dari celah kursinya, dan juga wajah-aku tidak bisa membaca ekspresi apa yang diperlihatkannya-Ervin yang duduk di sampingku.

"Ya?"

"Kamu mabuk ya? Daritadi dipanggilin kok nggak nyahut."

"Eng. Maaf, aku melamun," aku meringis kikuk. "Ada apa?"

"Kita udah nyampe di tempat perhentian. Mau turun makan?"

"Eng. Oke."

#

Sambil menunggu Pak Supir dan para penumpang lain selesai makan di warung, aku berjalan-jalan sendiri. Di sekitaran rumah makan terdapat beberapa warung dan toko penjualan buah, cinderamata, dan pakaian. Ada satu barang yang menarik perhatianku, sebuah gelang dengan liontin perak berbentuk mawar yang dihinggapi sepasang merpati di atasnya. Aksesori yang lucu. Namun ketika aku bertanya harga pada si penjual, nominal yang dia sebutkan membuatku mengurungkan niat untuk membelinya. Sayang sekali.

Kalau saja aku tidak kabur dari rumah dan masih 'akur' dengan keluarga, aku tentu akan bisa membeli puluhan aksesoris semacam ini. Tapi ... Yeah. Aku harus berhemat. Aku tidak mau jadi gembel di kampung orang.

"Itu bagus. Kenapa nggak jadi beli?"

"Eh?" Teguran suara berat dekat telinga membuatku berbalik kaget, Ervin ternyata sudah berdiri di belakangku sambil tersenyum geli. "Ngapain kamu disini?" Tak menjawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya.

"Jalan-jalan abis makan," jawabnya dengan satu sudut bibir melengkung ke atas. Dia memperhatikanku sebentar, lalu menatap gelang perak yang hendak kuserahkan kembali pada penjualnya. "Gelangnya bagus, kok nggak dibeli?" Dia mengulang pertanyaannya tadi.

Aku meringis. Memberikan kembali gelang itu pada si penjual, lalu beranjak keluar dari toko aksesori. Ervin mengikuti di belakang.

"Harganya terlalu mahal untukku," jawabku malu-malu.

Ervin terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kita kembali ke toko itu, biar aku yang bayarin buat kamu," tawarnya dengan sangat baik hati.

Aku mendengus. "Nggak usah deh. Makasih."

"Aku serius lho."

Aku meliriknya. Dan ekspresi Ervin memang terlihat serius. Hal itu membuatku tertawa.

"Ada yang lucu?" Tanyanya bingung.

Aku mengangguk.

"Apa?"

"Kamu." Aku menunjuknya tepat di dada.

Dahinya berkerut bingung mendengar jawabanku. Dia tampak geli. "Apa muka gantengku ini sudah berubah jadi seperti badut di mata kamu, sampai kamu ngetawain aku kayak gitu?" Godanya sambil memasang ekspresi pura-pura sakit hati. Tawaku makin keras, sementara Ervin tersenyum lebar.

Kami berdua berjalan beriringan menuju bus. Para penumpang lain juga sudah mulai naik.

"Kamu lucu karena kamu terlalu baik sama aku, orang asing yang bahkan baru kamu kenal."

"Owh. Terus kamu maunya dijahatin gitu?" Tanyanya main-main.

"Hihihi. Nggak juga sih. Kamu mau beliin gelang buat aku yang harganya lumayan mahal, menurutku itu aneh." Ervin naik lebih dulu ke atas bus, dia kemudian mengulurkan tangan dan menarikku untuk ikut naik ke atas bus, dan ... Yeah, aku menyambutnya. Tangannya besar dan hangat.

"Tapi buatku itu nggak aneh," dia menanggapi perkataanku setelah kami kembali duduk di kursi penumpang kami. Ave dan Romeo sepertinya belum kembali.

Aku mendengus. "Iya. Buatmu yang selalu 'melakukan kebaikan' pada semua cewek cantik yang kamu temui di jalan, itu memang nggak aneh. Tapi buatku itu iya."

"Rin. Aku memang selalu melakukan banyak kebaikan untuk cewek-cewek cantik asing yang kutemui di jalan. Tapi sekalipun aku nggak pernah membelikan barang untuk mereka."

Pembelaan diri Ervin membuatku menoleh. Dan seketika mata cokelatnya yang hangat memerangkapku.

"Terus kenapa kamu nawarin beliin gelang buat aku?" Aku masih terhanyut dalam tatapannya.

"Karena kamu berbeda. Kamu nggak seperti cewek-cewek yang selama ini kutemui."

Aku terdiam sesaat mendengar jawabannya. Aku hampir meleleh mendengar rayuan Ervin, beruntung akal sehatku mulai berfungsi. Ervin itu player, kata-kata kayak yang barusan keluar dari mulutnya pasti sudah biasa dia ucapkan sama banyak cewek.

Aku mendengus dan langsung mengalihkan atensiku darinya. "Dasar gombal," gerutuku.

Ervin tertawa masam. Beberapa menit kemudian Ave dan Romeo kembali. Di saat Pak Supir mengumumkan kalau kami akan berangkat lima menit lagi, Ervin tiba-tiba turun dari bus. Dia bilang, dia melupakan ponselnya di warung makan. (Mungkin dia terlalu sibuk merayu para gadis sampai melupakan ponselnya.) Dan dia kembali di saat bus sudah akan berangkat. Syukur, nggak ketinggalan.

#

Aku merasa seperti sampah. Penyebrangan kedua menggunakan kapal dari Lombok ke Bali membuatku merasa mual dan pusing. Ombak yang menggoyang kapal, ditambah dinginnya angin laut sore membuat isi perutku berdemo minta keluar. Aku muntah di dek. Beberapa orang yang lewat memandangku jijik, namun aku tidak peduli. Hampir empat jam kapal yang kutumpangi terombang-ambing di laut. Dan kalau kalian bertanya dimana Ervin, Avery, dan Romeo ... Mereka bertiga sudah memesan kamar yang nyaman bersama teman-teman rombongannya. Aku tidak mungkin ikut, aku cuma orang asing yang baru tiga dikenal selama dua puluh empat jam lebih oleh mereka. Jadi tidak mungkin mereka mengajakku untuk masuk ke dalam kamar nyamannya.

Aku berjalan lunglai menyusuri koridor kapal, aku baru saja membersihkan mulutku dari sisa muntahan yang menjijikan, ketika berpapasan dengan Ervin.

Dia mengerutkan keningnya saat melihatku. "Rin, kamu sakit?" Nada suaranya terdengar khawatir.

"Nggak." Aku menggeleng lemah. "Cuma mabuk ..." Berjalan menuju dek, untuk kembali ke bangku panjang tempatku menyimpan ransel. Dan syukurlah ranselku tidak hilang.

"Erin!" Ervin menahan tubuhku saat aku hampir terjatuh karena pusing dan kehilangan keseimbangan. "Kamu nggak apa-apa? Mending kamu istirahat di kamar bareng Avery, dia juga kurang enak badan."

Aku tidak menjawab karena semuanya terlihat dan terdengar samar.

"Ayo Rin, jangan keras kepala. Mending ikut aku ke kamar dan kamu ..." Aku tidak mendengar kelanjutan kalimat Ervin karena semua mendadak terasa sunyi dan gelap. Yang terakhir aku tahu, kepalaku terasa sakit karena membentur sesuatu.

#

Ave tidak bisa berhenti menggodaku saat aku sadar dari pingsan. Dia bercerita tentang bagaimana kembarannya menghawatirkan aku, menggendongku dari dek menuju kamar kapal yang mereka sewa, dan karena aku belum juga sadar saat kapal berlabuh di Pelabuhan Bali, Ervin juga menggendongku naik ke bus. Ugh. Ini memalukan.

"Sudahlah Ave, jangan gangguin Erin mulu. Kasihan dia masih sakit." Ervin yang sejak tadi diam menegur kembarannya.

"Oke Kakak." Avery melempar senyum ganjil pada kami, lalu kembali memutar tubuhnya untuk menghadap ke depan dan berbincang dengan Romeo.

Keheningan yang canggung menyelimutiku dan Ervin.

"Bagaimana keadaan kamu?" Dia coba memulai pembicaraan.

"Enn. Aku baik," jawabku kikuk. "Terimakasih ya."

"Hn." Ervin lalu mencairkan suasana canggung diantara kami dengan menceritakan beberapa humor lucu yang sebagian besar diambil dari pengalaman pribadinya.

#

"Aku anak pertama dari tiga bersaudara." Sepanjang perjalanan dari Bali menuju pelabuhan penyebrangan ke Banyuwangi, aku dan Ervin saling bertukar cerita tentang keluarga kami. "Dua adikku laki-laki semua. Raskal dua tahun lebih muda dariku, sementara Paskal baru duduk di bangku kelas dua SMA."

"Jadi yang cewek cuma kamu sendiri?" Ervin memotong ceritaku dengan sebuah pertanyaan. Aku mengangguk. "Wah. Sama dong, aku juga anak cowok satu-satunya di keluargaku ..."

Oh ya?

"Dan Ave juga anak cewek satu-satunya di keluarga kami."

Hah?

"Karena orang tuaku cuma punya dua anak, aku sama Ave doang," jelasnya sambil tersenyum jahil melihat ekspresiku.

Aku mencebik cemberut dan langsung mendaratkan beberapa cubitan di perut ratanya yang keras. Ervin hanya tertawa-tawa sembari coba menghindari serangan cubitanku, yang jelas tidak terasa sakit untuk dia.

#

"Warna favorit?" Setelah semua cerita tentang kehidupan pribadi habis. Kami saling melempar pertanyaan mengenai hal-hal yang disukai dan tidak disukai.

"Jingga," sahutku cepat. "Makanan favorit?" Aku kembali melemparkan pertanyaan untuknya.

"Kepiting lada hitam," jawabnya. Lalu giliran dia mengajukan pertanyaan untukku. "Lagu favorit?"

"Maps dan Sugar, Maroon 5." Aku benar-benar menyukai semua lagu yang dinyanyikan si ganteng Adam Levine.

Ervin menyeringai, "Bukan Justin Bieber?"

"Nggak semua cewek mengidolakan Justin, Bung." Ervin mengangguk-angguk seperti bebek. Oh ya giliranku bertanya. "Nama pacar pertama dan ketemunya kapan?"

Ervin langsung terkikik mendengar pertanyaanku. "Penasaran sama masa laluku?"

"Yeah, bisa dibilang begitu." Aku mengangkat bahu, berpura-pura tak peduli.

"Via. Ketemunya waktu MOS di SMP," jawaban Ervin sukses membuatku melongo, "dia kakak kelasku yang jadi salah satu panitia MOS di SMP."

Jadi nih anak pertama kali pacaran waktu kelas satu SMP? Dan yang digaet kakak kelas pula. Waduh, pantasan udah besar modelnya buaya begini.

"Ciuman pertama?"

Rasanya semua darah yang ada di badanku mengalir naik ke kepala begitu mendengar pertanyaan Ervin. Aku nggak tahu mesti jawab apa, aku malu.

"Erin? Ciuman pertama kamu?" Ervin mengulang pertanyaan.

Aku menggeleng pelan. Dia langsung melongo.

"Jadi ... Kamu belum pernah ciuman?" Tanyanya terdengar geli.

Aku mengangguk, tidak sanggup menjawab.

"Jangan-jangan kamu juga belum pernah pacaran?"

Cuma bisa ngangguk lagi. Hiks. Ketahuan nggak laku.

#

"Rin. Di Sumenep nanti kamu udah punya tempat?"

Aku menggeleng mendengar pertanyaan Avery (yang lagi-lagi berbalik ke belakang untuk mengobrol denganku dan Ervin).

"Belum," jawabku jujur.

Mata cokelat cantiknya langsung berbinar riang. Ave pikir aku ini seorang backpacker. Dia nggak tahu kalau aku ini anak hilang yang kabur dari rumah. Kaburnya nggak tanggung-tanggung lagi, dari NTB ke Sumenep. Madura paling ujung. "Tinggal bareng kami yuk?" Tawarnya riang.

Aku mendengus. "Ave. Kita baru kenalan tiga puluh jam yang lalu."

"Ya, terus?" Dia terlihat bingung.

"Ibuku bilang untuk tidak mempercayai orang asing."

"Kamu kayak anak kecil aja. Lagian kami bukan orang jahat kok!" Katanya tersinggung.

"Gimana kalau aku yang orang jahatnya yang mau ngambil keuntungan dari kalian?" Anak sebesar ini kok nggak ngerti ya maksud kalimat untuk tidak mempercayai orang asing? Mengajak orang asing ke rumah, atau diajak orang asing ke rumahnya, kan sama-sama berbahaya. Siapa tahu orang yang ngajak atau orang yang diajak itu rampok?

Ave, Romeo, dan Ervin, langsung kompak memperhatikanku dengan seksama ketika aku mengumpamakan diri sendiri sebagai orang jahat. Ave kemudian mencibir, Ervin terbahak, sementara Romeo tersenyum geli.

"Orang klemer kayak kamu nggak mungkin bisa jadi penjahat Say, kalau semua penjahat di dunia ini kayak kamu, polisi bakal senang karena penjara penuh."

Aku cemberut mendengar ejekan Ave.

"Yah, kalau penjahatnya kayak kamu, aku rela kok dirampok," goda Ervin sambil menyundul lenganku menggunakan pundaknya. Hal itu membuat cemberutku makin dalam.

#

Begitu bus melewati jembatan Suramadu dan memasuki wilayah Kabupaten Bangkalan, Romeo dan dua orang teman laki-lakinya yang lain meminta Pak Supir menghentikan Bus di pertigaan jalan, di depan sebuah kantor Polisi. Dia berpamitan pada kami (lebih spesifiknya sih pada Avery) katanya dia ingin menemui orang tuanya lebih dulu. Dan bagaikan sebuah adegan di film-film bollywood, dengan sedih Avery mengijinkan kekasihnya pergi. Halaaah.

Keputusan Romeo untuk turun di Bangkalan, membuat Ervin menggoda Ave habis-habisan, dengan mengatakan bahwa Ave terlihat begitu konyol setelah ditinggal Romeo. Mereka pasangan yang tidak kompak. Sebagai laki-laki jantan seharusnya Romeo mengantar Ave dulu ke Sumenep baru bisa pulang ke Bangkalan. Karena laki-laki itu yang mengajak Avery untuk berjalan-jalan ke beberapa wilayah di sekitaran NTT dan NTB. Sementara Ervin hanya menemani saudarinya.

Ternyata Romeo, Ave, dan Ervin adalah teman satu kampus. Mereka dulu kuliah di STKIP PGRI SUMENEP. Romeo dan Ervin sekelas, sementara Ave mengambil jurusan yang berbeda dengan mereka. Tapi sekarang mereka bertiga bekerja di kantor yang sama di sebuah cabang Perusahaan IT ternama di Sumenep.

#

Ketika akhirnya kami sampai di tempat tujuan akhir, terminal Bus Sumenep, tiba saatnya bagi kami bertiga untuk berpisah.

"Seriusan nih? Nggak mau tinggal di rumah kami dulu sampai kamu nemu tempat?" Avery kembali menawarkan kebaikannya yang teramat mulia untukku.

Aku menggeleng. Melihat beberapa penumpang yang kerepotan membawa banyak barang, aku bersyukur karena hanya membawa sebuah ransel besar berisi pakaian dan ijazah.

"Kalau gitu kasih tahu kami dimana tempat kamu tinggal untuk sementara?" Kata Ervin, "Biar nanti kami main ke tempat kamu, dan ngasih kamu tour gratis keliling Sumenep."

Tawaran Ervin terdengar amat sangat menggoda, tapi aku tetap menggeleng. Biar bagaimanapun mereka berdua adalah orang asing untukku, aku tidak mau menjadi gadis tidak tahu diri dengan memanfaatkan kebaikan mereka. Lagipula ... Anu, bukannya mau su'udzon, belum tentu mereka orang baik. Iya mereka memang baik, cuma siapa tahu Ave dan Ervin itu anggota sindikat penjual organ tubuh manusia macam ginjal, jantung, dan lainnya. Hiii takut.

Ibu mengajariku untuk tidak terlalu mempercayai orang asing, karena itu berbahaya.

Ave dan Ervin berpamitan padaku saat melihat mobil jemputan mereka datang. Ajib. Mobilnya keren, warna dan modelnya mirip sama mobil Bumblebee di Transformer.

Setelah Ave dan Ervin pergi, aku segera menaiki sebuah angkot yang kebetulan hanya diisi beberapa penumpang Ibu-Ibu. Setelah bertanya pada supirnya apakah dia bisa mengantarku juga ke salah satu hotel murah yang ada di daerah ini, bapak supir berwajah ramah itu menyanggupinya.

Hotel Wijaya II. Biaya sewa hotelnya permalam (yah, untuk kamar tanpa fasilitas AC, tivi, dan kamar mandi serta toilet di dalam kamar) memang amat sangat murah. Aku langsung membayar sewa kamar untuk sebulan, setelah menyerahkan KTP-ku pada resepsionis hotel. Aku tidak tahu berapa lama aku akan berada di kota ini, tapi aku harap aku bisa mendapatkan pekerjaan secepatnya.

avataravatar
Next chapter