webnovel

REWRITE THE STAR'S

"Kamu adalah kata semu, yang tak jua menemukan titik temu." Arunika Nayanika, gadis cantik pemilik netra hitam legam dan pipi bolong disebelah kiri. Terkenal tidak bisa diam juga asal ceplas-ceplos saat berbicara, membuat gadis itu banyak memiliki teman, meski hanya teman bukan sosok yang benar-benar berarti dalam hidupnya yang disebut sahabat. Gadis yang sering menguncir kuda rambutnya itu adalah gadis yang rapuh. Dibalik sifat bar-bar dan asal ceplosnya, ia memiliki trauma berat dengan segala hal yang disebut 'rumah'. 'Rumah' yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk kembali, saat dunia menyakiti. Namun tidak, untuk sosok Arunika. Sekolah, menjadi tempatnya melepaskan luka dan trauma pada 'rumah'. Hingga, Tuhan mengirimkan sosok luar biasa bernama Sandyakala Lazuardi. Sosok dingin, ketus, pedas dan misterius. Yang mampu membuat Arunika menemukan arti 'rumah' sebenarnya. Namun, berbanding terbaik. Menurut Sandyakala bertemu Arunika adalah kesialan dalam hidupnya, yang tak seharusnya tertulis dalam lembar cerita.

Mitha_14 · Teen
Not enough ratings
214 Chs

Sandyakala dan Skateboard

Goresan 14 ; Sandyakala dan Skateboard

Kamu ilusi tak bertepi, tapi mengapa aku tak bisa berhenti?

-Unknown

----

Bel pulang khas SMA Guardian bergema keseantero sekolah, membuat mereka tersenyum bahagia atau bahkan menghela nafas luar biasa. Karena hari ini, mereka bisa terbebas dari sekolah yang lebih seperti penjara menurut mereka.

"Gue capek banget... pingin makan masakan Mama." Suara Zidan menggema diruangan, membuat mereka menatap kearah Zidan dan menggeleng-ggelengkan kepalanya.

"Anjir, gue capek," giliran suara Alerio yang kini memenuhi ruangan.

Arunika melangkahkan kaki mendekat kearah, meja Sandyakala didepannya. Senyum tercetak dibibir perempuan itu karena melihat Sandyakala dengan wajah datarnya sedang membereskan buku-buku diatas meja.

"Halo Sandyakala, pulang bareng yuk." Arunika duduk dimeja depan Sandyakala dan berbalik menghadap laki-laki itu. Dengan tangan yang menopang kedua wajahnya.

Bersamaan dengan itu Alterio masuk kedalam kelas mereka, mata laki-laki itu menatap tajam Sandyakala dan Arunika, andai saja mata Alterio bisa mengeluarkan laser diyakini pasti tubuh Sandyakala akan terbagi dua, jika Arunika tentu saja Alterio tidak tega.

"Ayo, kita pulang bareng ya ya ya..." Arunika mengeluarkan puppy eyes yang malah membuat Sandyakala menatap gadis didepannya itu jijik.

"Nggak usah ribet." Sandyakala menatap Arunika tajam, tapi yang ditatap malah tertawa.

"Gue duluan." Sandyakala menatap teman-temannya sebelum akhirnya ia melangkahkan kaki meninggalkan kelas disusul oleh Arunika yang berlari namun sesekali tersandung oleh bangku, membuat Alterio yang sejak tadi melihat kearah gadis itu hanya bisa menggeleng.

Namun, tiba-tiba gadis itu berhenti membuat Alterio merubah wajahnya menjadi cuek.

"Al, nanti bilang sama Papa kalau kita pulang bareng ya. Thanks." Arunika kembali berlari.

"Gue nggak tau deh, kenapa bisa kembaran gue segila itu sama Arunika." Alerio menggeleng dan berjalan menuju ambang pintu, meninggalkan Zidan yang juga menatap takjub.

°°°

Arunika masih setia menampilkan senyum manisnya selama berjalan bersisian bersama dengan Sandyakala, banyak yang menatap gadis itu takut atau malah tertawa karena sikap luar biasa Arunika. Sekali lagi, siapa yang tidak mengenal Arunika Nayanika Nabastala?

Setelah keduanya sampai pelataran sekolah, Sandyakala membuka jok motor mengambil Hoodie biru miliknya, memakai dan mulai menggunakan helm bergo miliknya.

Dengan tidak tau dirinya, gadis itu tanpa aba-aba naik ke jok belakang motor Sandyakala, membuat laki-laki itu memegang motor Vespa miliknya yang sedikit terguncang akibat kelakuan milik Arunika.

Sandyakala menatap Arunika dengan tatapan tajamnya, sedangkan gadis itu malah tertawa dan menepuk-nepuk jok depannya, menyuruh Sandyakala untuk cepat duduk bersama.

Entah mengapa, laki-laki itu sama sekali tidak marah atau malah mengeluarkan kata-kata sarkasnya. Sandyakala hanya diam dan mulai menaiki motornya, lalu melajukan motor itu menjauh dari pekarangan sekolah. Tanpa mereka berdua sadari, jika dari arah berbeda sepasang mata milik Alterio menatap mereka berdua dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.

Motor Vespa Sandyakala berhenti ditaman khusus para pemain skateboard bermain. Arunika turun dan melepas helm yang sejak tadi ia gunakan, pemberian Sandyakala dipertengahan jalan tadi.

"Kita ngapain kesini Kala? Gue nggak bisa main skateboard tau." Arunika menatap para pemain Skateboard yang dengan profesional nya memainkan papan beroda itu.

"Gue ajarin."

Sandyakala berlaku dari hadapan Arunika yang terdiam, sejenak ia memikirkan perkataan Sandyakala barusan. Gadis itu tak salah dengarkan? Sandyakala akan mengajarinya bermain skateboard? Apakah ini artinya semesta sudah memberikan izin untuk mendekati Sandyakala. Ah, semoga saja.

Arunika melangkahkan kaki menuju Sandyakala yang sedang berbincang didepan sana dengan dua laki-laki, yang satu seusianya dan satu laki-laki lagi Arunika perkirakan berbeda dua tahun dengan mereka.

"Halo Arunika.." Laki-laki seumuran Sandyakala dan Arunika, melambaikan tangan dan tersenyum kearah Arunika. Saat gadis itu baru saja sampai didepan mereka bertiga.

"Gue Rizal, temen Sandyakala diarena ini. Lo harus lihat gimana kehebatan dia mainin papan beroda ini." Rizal tertawa diakhir perkataanya membuat Arunika dengan semangat tersenyum kearah Sandyakala.

Sandyakala yang melihat Arunika tersenyum kearahnya, merasakan perasaan yang was-was dengan apa yang akan gadis gila itu katakan.

"Sandyakala emang beda, makanya gue cinta." Dengan tidak tau malunya, Arunika mengatakan hal itu didepan teman-teman Sandyakala yang notebene nya baru gadis itu kenal.

"Lo emang gak salah pilih, Arunika." Rizal menimpali dengan cengiran ala laki-laki itu, membuat Arunika tersenyum senang karena ada teman Sandyakala yang berada pada kubunya.

"Arunika menarik, seharusnya lo suka." Rendy laki-laki yang lebih tua dua tahun dari mereka menyenggol lengan Sandyakala, membuat laki-laki yang disenggol lengannya itu ingin sekali hilang dari tempat itu saja. Mengapa jadi dia yang disudutkan disini? Ah, seharusnya memang Sandyakala tidak membawa Arunika kemari.

Rendy adalah pemilik dari taman skateboard ini. Sedangkan Rizal adalah teman Sandyakala semasa di Bandung, Rizal terlebih dahulu pindah ke Jakarta, barulah Sandyakala dan mereka bertemu kembali seminggu yang lalu.

"Gue sama Rizal pergi dulu ya. Arunika kalau butuh apa-apa panggil kita aja ya." Arunika mengangguk berlebihan dan tersenyum.

Sekarang, tinggallah Arunika dan Sandyakala dibawah pohon rindang yang langsung memperlihatkan wajah-wajah yang sedang bermain skateboard didepan mereka.

Jam sudah menunjuk angka tiga lewat tiga puluh menit, matahari masih memancarkan sinarnya meski tidak sepanas tadi, tapi tetap saja beberapa orang membutuhkan tempat berteduh dari sinar matahari yang terkadang masih mampu membakar kulit atau malah membuat mata burem tak terkecuali Arunika dan Sandyakala.

Sandyakala mengambil skateboard yang berada disamping Arunika dan memberikan pada Arunika.

"Nih, lo seimbangin dulu satu kaki terus dorong pakai satu kaki yang lain." Arunika mencoba instruksi Sandyakala

Dan.... viola gadis itu dengan mudah melakukan instruksi Sandyakala tanpa gagal sekalipun. Diam-diam Sandyakala tersenyum simpul melihat Arunika yang sedang antusias memainkan papan skateboard itu.

"Gue tantang lo, main diarena sana. Kalau lo bisa gue bolehin main kerumah ketemu Mami sama Papi." Perkataan Arunika membuat mata gadis itu berbinar, dengan anggukan kepala yang cukup banyak gadis itu melangkah kearah arena dimana ada beberapa pemain yang sibuk bermain dengan papan beroda milik mereka.

Sandyakala mengikuti Arunika dari belakang.

Gadis itu menarik nafas dan mulai menjalankan aksinya, membuat beberapa orang sampai mangap melihat gadis yang dengan lihainya memainkan skateboard, karena memang bisa dihitung jari saja perempuan disini yang bisa bermain skateboard dengan lincah.

Arunika terus membawa papan berdoa itu melewati tantangan, terkadang menaiki kedua kakinya keatas papan, membiarkan papan itu membawa tubuhnya.

Lima belas menit lamanya, Arunika menyelesaikan kegiatannya. Langkahnya membawa gadis itu mendekati Sandyakala yang sedang bersama seorang gadis. Eh tunggu, seorang gadis? Siapa dia? Arunika tidak bisa melihat sosok itu.

Tanpa aba-aba gadis itu memeluk Sandyakala, hingga Arunika menghentikan langkahnya tiba-tiba.

••••