1 That Day

23 Desember, Musim dingin.

Hari itu sangat dingin, semua sibuk menyambut natal. Ornamen-ornamen merah hijau bertebaran di sana dan di sini. Aku hanya merasa semua itu begitu menyilaukan. Sekolah masih dalam liburan musim dingin yang panjang, tapi tidak ada yang bisa aku ajak bermain. Aku masih memegangi ponselku yang kini layarnya telah meredup. Tadi, sudah 10 kali aku menelpon sahabatku. Tapi, tak juga ada jawaban.

Entah kenapa aku merasa tidak tenang. Apakah dia marah? Atau sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?!

Malamnya, teleponku masih belum dijawab. Ada apa dengannya? Aku masih terus berpikir di depan ponselku yang layarnya masih menyala dan menampilkan layar panggilan. Tentu saja, aku menelpon sahabatku itu.

Saat itu Aku dan keluargaku sedang berkumpul di ruang tengah, ayahku fokus dengan acara berita, aku dengan ponselku. Lalu ibuku mengangkat telepon rumah kami yang berdering. Sesaat setelah meletakkan gagang telepon di telinganya, wajah ibuku berubah pucat dan melihat panik ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku pelan, ibuku tak menjawabnya. Aku mencoba memahami jawaban-jawaban ibuku yang terbata-bata pada orang dalam sambungan telepon.

Setelah gagang telepon kembali ia letakkan di tempatnya. Ibuku berbalik pada kami. "Tsukasa-kun," ibuku menarik nafas "dia meninggal." jantungku seakan berhenti berdegup untuk beberapa detik. Aku, inginnya berpikir ini lelucon. Tapi, ibuku bukan orang yang pandai membuat gurauan apalagi tentang kematian. Ayahku yang tadinya hanya menonton televisi, kini sudah bersiap dengan mantel hangatnya.

23 Desember, musim dingin pada malam hari.

Dia ditemukan meninggal di dalam bathtub oleh tetangganya. Dalam keadaan telanjang dada dan pergelangan tangannya teriris benda tajam. Ada pisau dapur di lantai kamar mandi yang penuh dengan darah, di duga itu alat yang digunakannya untuk bunuh diri. Tidak ada sidik jari lain pada pisau itu selain miliknya, sehingga polisi menetapkan ini kasus bunuh diri. Dan karena riwayat panggilan pada ponsel dan telepon rumah ini selalu menuju rumahku, polisi menghubungi kami.

Sahabatku, Tsukasa Hakari.

Aku tidak bisa percaya hal ini terjadi. Dia meski pendiam adalah orang yang ceria, pintar, ramah dan bisa diandalkan. Dia tak pernah murung. Kami selalu tertawa bersama. Dia .. tak terlihat depresi sedikit pun. Ataukah aku yang tidak menyadarinya?

***

"Aku menekan belnya sebanyak 10 kali, karena ada paket yang salah kirim ke alamat kami. Aku kira paket itu atas nama Hakari-kun. Aku merasa aneh, karena biasanya dia cepat membuka pintu apalagi beberapa jam sebelumnya aku menyapanya setelah ia pulang kerja sambilan,"

Tetangganya bicara cepat pada polisi, tampak masih terkejut. "Aku meminta suamiku untuk mengecek kembali ke rumah Hakari-kun, dan masih belum ada respon." dia melirik suaminya yang mengangguk pada polisi.

"Aku mencoba masuk ke rumahnya, ternyata pintu tidak dikunci. Jadi aku masuk lebih dalam sambil terus memanggil namanya. Aku mengira dia pasti tidur karena lelah setelah shift malam. Tapi tidak ada jawaban, lalu aku mendengar suara keran kamar mandi menyala jadi aku mengetuk pintu kamar mandi dan terus memanggil namanya.

Aku merasa semakin aneh karena dia tidak menjawab panggilanku. Aku membuka pintu kamar mandi, menuju ke bathtub dan membuka tirainya dan dia sudah .. maaf kan aku!" sang istri memeluk si suami yang tampak masih terkejut melihat keadaan Tsukasa yang bermandikan darah.

"Dia tinggal seorang diri?" Polisi menimpali.

"Ya, selama ini dia tinggal seorang diri. Ibu dan ayahnya bercerai. Aku dengar ayahnya sudah menikah lagi. Dulu saat SMP dia tinggal dengan ibunya. Tapi ibunya bukan ibu yang baik, dia pergi dengan pacarnya dan Hakari-kun tinggal sendirian sampai saat ini."

Dia tak pernah bicarakan hal itu padaku, aku tidak pernah tahu dia bekerja sambilan. Itukah sebabnya dia selalu menolak ajakanku bermain game bersama?

"Aku kurang tahu tempat kerjanya, tapi kurasa restoran dekat sekolah itu." bibi tetangga bicara sambil berpikir, mencoba mengingatnya.

Restoran itu dekat sekali dengan sekolah kami.

Dari dalam rumah aku melihat ibuku menangis di pelukan ayah. Sekejap tadi aku bisa melihat wajah pucat pasi Tsukasa sebelum ia dimasukan ke kantung jenazah dan dibawa oleh beberapa petugas. Ibuku itu.. suka sekali dengan Tsukasa, mereka sering mengobrol bersama jika Tsukasa punya waktu untuk bermain ke rumah kami.

Aku tidak pernah diijinkan berkunjung ke rumahnya.

Selain kamar mandi yang dipasangi garis polisi, aku mengedar ke penjuru rumah. Di dapur begitu kosong, tidak ada tanda-tanda sering digunakan. Hanya ada tumpukan bekas bungkus mie cup di washtafel dan ketel air di atas kompor. Padahal ia sering membantu ibuku memasak. Tapi dia tidak makan dengan baik!

Dengan gontai aku berjalan ke arah ruang televisi yang gelap dan berdebu, jelas sekali ia tak pernah menggunakan ruangan itu. Berlanjut menaiki tangga kayu menuju kamarnya yang selama ini hanya bisa ku pandangi jendelanya dari luar. Saat tanganku sudah meraih kenop pintu, tangan besar dan kuat mencengkram pundakku.

"Hei nak! Kau merusak TKP! Siapa kau?" Seorang polisi dengan suara berat mengagetkanku.

"Aku sahabatnya. Teman sekelasnya." suaraku pelan. Pelan sekali.

"Kembalilah ke bawah. Temani ayah dan ibumu. Hakari-kun sudah di bawa ke rumah sakit."

Polisi itu mengawalku menuruni tangga dan menepuk pundakku saat sudah di ambang pintu depan. Ibuku masih menangis. Ayahku memeluknya dengan wajah sama sedihnya. Mereka seperti kehilangan seorang anak. Begitu terlihat menderita.

Sirine ambulan makin menjauh, membawa jasad Tsukasa ke rumah sakit untuk keperluan visum. Tapi, ibu maupun ayahnya tidak ada yang bisa dihubungi. Ayah dan ibuku bersedia menjadi wali Tsukasa dan membayar semua keperluan kremasi dan pemakamannya.

Di dalam keramaian yang menakutkan itu. Aku berdiam di sebuah sudut, tidak ada hal yang bisa aku katakan, tidak ada ekspresi yang bisa aku tunjukan, tidak ada selain bayang-bayang saat Tsukasa tertawa bersamaku kemarin lusa, ketika kami membahas guru sastra yang wignya terlepas di tengah-tengah pelajaran. Tidak ada, selain pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku, kenapa? Padahal ia terlihat baik-baik saja. Kenapa? Padahal wajahnya begitu bahagia, kenapa? ia tak bicarakan apa pun padaku. Aku sahabatnya kan? Iyakan?

24 Desember. Musim dingin, pagi hari.

Seharusnya saat ini kami akan bermain-main, Menghabiskan malam Natal bersama dan saling mendoakan satu sama lain. Melihat pohon Natal penuh lampu warna-warni di tengah kota.

Tapi kini..

Aku melihatnya, Tsukasa berbalut kimono putih terbaring dalam peti, bukan sebuah setelan pakaian kasual untuk bermain.. Bukan sama sekali! Mataku terus tertuju pada wajahnya yang diam dengan tenang, sampai akhirnya peti itu ditutup lalu dimasukan ke dalam semacam tungku pembakaran besar.

Ibuku, masih menangis di pelukan ayah. Aku yakin sekarang tubuh Tsukasa sudah terbakar. Dia sudah tidak ada. Aku baru menyadarinya sekarang.

Rasanya hampa, dingin. . aku bersedih! Sangat sedih, dadaku terasa ngilu.. tapi kenapa aku tidak menangis?

***

avataravatar
Next chapter