9 Mac and cheese

"Apakah ada kata-kata lain yang Tsukasa ucapkan selain itu?" perasaanku kembali tidak tenang. Kenapa si bodoh itu begitu tertutup padaku. Aku merasa sangat tidak berguna.

"Ya, setelah kejadian itu, Tsukasa menjauhiku, seakan menjaga jarak dariku." Keisuke terlihat sedih. Mungkin saja perasaan 'aku tak berguna' sedang ia rasakan. Sama seperti yang aku rasakan saat ini.

Tiba-tiba aku teringat hal penting. Tanggal 20 kemarin Tsukasa akan menceritakan kembali masalahnya di rumah. Tapi setelah membersihkan rumah lalu memasak dan makan bersama.. Apalagi yang terjadi, aku tak mengingatnya. Yang aku ingat aku sudah kembali ke rumah.

Aku memukul-mukul keras kepalaku tanpa memperdulikan ada Keisuke di sini. Terlalu frustasi bagiku, kenapa aku tak bisa mengingatnya!! kenapa aku begitu bodoh dan melewatkannya?!

Aku menjerit kata bodoh begitu keras, berkali-kali sambil terus memukuli kepalaku.

"Hei, kau kenapa?!" Keisuke terkejut dan panik.

Keisuke berusaha menahan tanganku, agar aku tak lagi memukul kepalaku.

"Oi!! hentikan itu!!" Sekarang dia mendekap erat tubuhku agar aku berhenti bergerak.

Suara derap langkah dari arah tangga terdengar dengan jelas. Ibuku masuk ke kamar dengan wajah panik, "Ada apa?!"

Keisuke masih terus mendekapku, tangannya menjagal kedua lenganku, sehingga aku tak bisa banyak berontak.

Aku tak mengerti. Yang aku tahu saat ini aku sangat membenci diriku sendiri. Aku sangat kesal, rasanya inginku pecahkan kepalaku dan berhenti pada tahap ini.

Tapi..

Wajah tertawa Tsukasa palsu membayangiku. Rasa kesal dalam diriku, menggumpal menjadi satu. aku berhenti bergerak.

Aku akan pastikan bahwa kematian Tsukasa bisa aku cegah.

***

Handuk basah yang dingin menyegarkan wajahku. Membuatku bisa sedikit berpikir jernih. Keisuke menatap cemas padaku tepat saat handuk itu aku angkat dari wajahku.

Pandanganku beralih pada ibuku yang sama cemasnya.

"Aku tak apa-apa. Aku hanya merasa kesal." Aku setengah tersenyum. Berpikir dengan begitu mereka tak lagi merasa cemas. Ternyata tidak.

Mereka saling menatap satu sama lain. Ibuku menghela nafas, lalu duduk di sisiku yang berbaring di kasur.

"Kau memikirkan sesuatu yang menyusahkanmu lagi? apa yang sedang membebanimu?" ibuku membelai rambutku dengan lembut. Anak-anak seumuranku pasti akan merasa malu jika ibunya melakukan hal itu di hadapan temannya. Tapi aku tak punya hak untuk merasa malu. Kasih sayang ibuku adalah sebuah anugrah. Tsukasa bahkan tak bisa merasakannya.

"Mungkinkah karena aku menceritakan hal itu?" Keisuke terlihat sangat menyesal.

"Tidak. Jangan merasa bersalah. Aku hanya sedang memikirkan hal lain." Aku berusaha menghiburnya.

"Apa yang kalian bahas?" ibuku terlihat terkejut, wajahnya penuh waspada dengan gelagat Keisuke.

"Itu.. tentang Tsukasa..." Keisuke tak berani menatap wajah ibuku. Aku bisa melihat mata ibuku sedikit membulat. Ia tak ingin mendengar kabar buruk lagi tentang Tsukasa?

Buktinya ibuku tak bertanya lebih lanjut. Ekspresinya tak tertebak. Begitu samar.

"Kalau begitu aku pamit ya." Keisuke melambai padaku, "Bibi terimakasih banyak, aku pamit." ia membungkuk pada ibuku.

"Lho?! camilannya bahkan belum aku hidangkan, Keisuke-kun." ibuku berusaha mencegahnya, tapi aku tidak peduli. Aku ingin istirahat dan berpikir lebih tenang.

"Lain kali aku akan main kemari lagi." Keisuke melirik padaku, aku hanya mengangguk. Dan ibuku mengerti.

Ibuku menutup pintu kamarku agar aku bisa beristirahat. Rasanya memang pusing akibat pukulan-pukulanku tadi.

Menoleh pada jam weker di sisi ranjangku, sudah pukul 11 siang. Rasanya mengantuk dan tak ingin bangkit dari kasurku yang entah kenapa terasa lebih empuk dari biasanya.

Mataku perlahan mulai terasa berat. semakin lama, semakin tak bisa aku buka kelopaknya. Hingga akhirnya aku tertidur. Terbuai dengan mimpi-mimpi Tsukasa yang terus menghantuiku. Seakan tak ingin membiarkan aku tenang walau hanya sebentar.

Dalam mimpiku. Tsukasa menangis, ia melemparkan bukunya padaku. Berteriak 'bodoh' berkali-kali. Aku yang meraih buku itu tampak meremasnya. Lalu kalimat yang tak terduga keluar dari mulutku.

Rasanya aku mengucapkannya dengan keras. Tapi tak terdengar apa-apa. Hanya ekspresi Tsukasa yang begitu menyakitkan.

Mata Tsukasa membulat, ia kemudian mengusap air matanya lalu pergi begitu saja.

Aku tak mengejarnya.

Aku membiarkannya pergi tanpa memanggil lagi namanya. Kemudian mataku terbuka. Mimpi itu berakhir.

Berapa jam aku tidur? rasanya hanya sebentar, tapi begitu melihat jam, ini sudah pukul 4 sore. Pelan-pelan aku bangun dan duduk di sisi kasur.

Ibuku sedang apa ya? kenapa ia tak membangunkan aku untuk makan siang? aku melewatkan makan siangku. Biasanya ibuku tak akan menyukai hal itu.

Aku memutuskan untuk turun, memanggil ibuku dengan pelan berkali-kali, tapi tak ada jawaban.

Sampai di depan lemari pendingin, ada sebuah kertas notes berwarna kuning tertempel di pintunya. Aku menyipitkan mata agar bisa membaca isi tulisannya.

"Mama pergi belanja sebentar. Ada camilan di dalam kulkas dan mac and cheese. Kau hanya tinggal hangatkan saja di microwave."

Aku menyuarakan dengan pelan isi pesan yang ibuku tulis. Dengan segera aku membuka pintu lemari pendingin, meraih sekotak mac and cheese yang ibuku maksud, meraih garpu dan menancapkan ya beberapa kali ke atas permukaan alumunium foil, lalu langsung memasukannya ke dalam microwave dan menekan tombol timer dengan tulisan 15 di atasnya.

Sambil menunggu microwave berdenting, aku meraih ponselku dari saku dan membuka kunci layarnya. Menelepon Keisuke beberapa kali namun tak kunjung diangkatnya.

Ada hal yang ingin aku tanyakan padanya .

Lagi dan lagi aku terus menekan tombol panggilan saat mesin penjawab bersuara dari seberang sana. Rasanya kesal. Sangat kesal, hingga aku membanting ponselku ke atas meja. Tepat saat suara gebrakan meja berbunyi, microwave di belakangku berdenging.

Tanpa lap tangan, aku meraih box lumuniumfoil macc and cheese dan meletakkannya di atas meja dengan cepat. Memang terasa panas dan perih pada tanganku. Tapi aku tak memperdulikannya.

Benar ternyata, rasa lapar dan amarah dapat membuatmu lebih kuat dari pada biasanya.

***

Mac and cheeseku tersisa setengah. Saat panggilan teleponku yang ke 17 akhirnya Keisuke angkat.

"Kau ini benar-benar tidak punya rasa sabar ya? 17 kali telepon tak terjawab itu terlalu menakutkan untukku. Ibuku bahkan tak pernah sampai 7 kali meneleponku jika aku tidak mengangkatnya." Baru saja aku meletakkan ponselku pada telinga, Keisuke sudah menyembur di sana.

Aku sempat menjauhkan ponselku karena suara Keisuke yang sangat berisik.

"Habisnya kau tak juga mengangkat teleponku!" setelah tak ada lagi bentakan Keisuke. Aku mulai bicara, "Ada yang aku tanyakan, Keisuke."

"Aku sedang membeli mirin tadi. Ibuku tak mau masak makan malam kalau aku tak pergi membelikannya."

"hm.. menarik sekali ibumu." Aku malah mendengung. Tertarik dengan kelakuan ibu Keisuke.

"Jadi apa yang ingin kau tanyakan?" pertanyaan Keisuke membuatku sadar akan tujuan utamaku.

"Apa kau tak bisa mengingat tanggal berapa kejadian itu?"

"Kejadian itu?"

Dia ini pura-pura lupa atau memang bodoh sehingga sulit mengingat sesuatu?!

"Kejadian Tsukasa yang kau lihat sedang duduk di dekat pembuangan sampah belakang sekolah!"

"Ah.. aku benar-benar lupa! kalau tak salah itu beberapa hari sebelum liburan di mulai. Atau.. ah! aku tidak bisa mengingatnya dengan benar! maafkan aku!"

Yah.. Sudah aku duga jawabannya begitu. Awalnya aku berpikir dia bisa diandalkan, ternyata mengandalkan orang lain adalah pilihan bodoh!

Kalau begini aku hanya punya pilihan untuk menghitung mundur lebih jauh lagi daripada cuma 7 hari.

Apakah itu bisa berlaku?

Seketika, aku tak bernafsu untuk melanjutkan makanku. Sisa dari Mac and cheese yang lezat itu aku buang ke dalam tong sampah.

***

avataravatar
Next chapter