1 #1. Kami

POV Afifah

Sejak kecil kami selalu bersama, entah itu di sekolah, rumah, taman, bahkan tempat bermain.

Sampai kami tumbuh remaja bersama, kami tetap selalu bersama dan hanya menjadi teman biasa.

Ah, tentang status itu begitu menyebalkannn..

Aku tidak bisa memilikinya, aku tidak bisa kehilangannya, aku tidak ingin menghilangkan tawa dan senyumnya, maka dari itu aku selalu memendam perasaan ini untuknya seorang, sampai saat ada kakak kelas menyatakan perasaannya padaku.

Aku pikir itu waktunya untuk melupakan perasaanku padanya, melupakan bahwa hanya aku yang cinta sendiri. Maka dari itu, untuk menghindarinya dan melupakan perasaanku, aku menerima Kaka kelas itu, Riski. Dia pria yang baik, dermawan, populer di angkatannya, pemain sepakbola idaman perempuan.

Rasanya aku jadi minder jika bersanding dengan pria itu, dia terlihat bersinar jika berada di tengah-tengah lapangan sepakbola, bermain dengan gigih, disoraki penonton, serta senyum lebar saat berhasil mencetak gol gawang lawan.

Tanpa sadar itu aku tersenyum tipis melihatnya, dia benar-benar idaman perempuan, kecuali aku sih..

Aku lebih suka pria lembut,perhatian, tampan dan berkharisma seperti Ilham, teman sejak kecilku.

Aiishhh sadar Afifahhh... kamu membanding-bandingkan Ilham dan Ka Riski terus! Itu tidak baik untuk keduanya.

"Keduanya punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing"

Aku menyadarkan diriku sendiri, sambil menepuk-nepuk pipiku pelan.

Rasa dingin terasa di atas kepalaku, aku mendongak ke atas, melihat apa yang terjadi.

Ternyata botol kaleng sprite diletakkan Ilham di atas kepalaku.

Dasarr...

Aku mengambil Sprite itu dan berterimakasih kepadanya. Ilham mengangguk sambil duduk di sebelahku.

"Sudah berapa gol?"

"3-1"

"Lumayan..."

Ilham menatapku lembut, ahh... sial jantungku jadi tidak aman..

"Sudah mengerjakan tugas matematika?"

Dia bertanya, aku terdiam. Dan aku melotot, menggelengkan kepala.

Astagaaa

"Belumm... Haishhh kenapa baru bilang sekarang???"

Ilham mengangkat pundaknya, tanda dia bodo amat.

"Pasti kamu sudah mengerjakan tugass itu kann?!?!"

Sial, pria ini hanya melirikku saja.

Dengan spontan aku melingkarkan lenganku di pundaknya, ini caraku untuk merayunya, hahahaha.

"Ayoo bilangg, pasti kamu sudah mengerjakan tugasnyakann?!?!"

Tanyaku sambil menatapnya tajam. Ilham terkekeh pelan, mendekatkan wajahnya kearahku dan menyeringai.

Astagaa, jantunggkuuu...

"Sudah, kenapa? mau liat"

Sejenak aku terlena dengan tatapannya, wajahnya yang sangat tampan, pesonanya yang tidak ada tandingannya.

Sialnya aku jatuh cinta dengan pria ini, teman masa kecilku.

"RISKIIII"

Teriakan orang-orang membuat perhatianku teralihkan kearah Ka Riski, dia menatap kearah kami dengan tajam. Bodoh Afifah, dia pasti cemburu. Ini salahmu yang tidak tau tempat bersama Ilham.

Ka Riski berjalan dengan kesal kearah pemain cadangan. Dia istirahat disana dengan sejenak, tapi pandangannya padaku tidak dilepaskannya, seperti memperingatkan aku dan Ilham.

"Sepertinya aku melakukan kesalahan."

"Huh?"

Aku menoleh kearah Ilham, dia melihat Ka Riski dengan tatapan lurus. Dan seperti tersenyum tipis, seolah memperlihatkan kemenangan (?).

"Riski, dia terlihat kesal. Tadi saja dia sengaja menendang bola ke gawangnya sendiri, bukankah itu kesengajaan atau sebuah peringatan?"

"Ah mungkin-"

Drrttt....drrrttt....drttt

Getaran hpku membuatku menghentikan percakapanku pada Ilham.

"Dari siapa?"

Aku menoleh ke arah Ka Riski, dia masih menatapku dengan tajam.

"Dari ka Riski"

Ilham mengangguk paham, dia berdiri dan berpamitan pergi ke kelas.

"Jangan lupa kerjakan tugas matematikamuu yaa, Ipehhh"

Ledeknya dengan panggilan menyebalkan, aku melotot tajam. Bisa bisanya dia memanggil panggilan namaku seperti itu lagi.

Ketika Ilham sudah jauh dari jangkauan tatapan mataku, aku membaca pesan dari Ka Riski.

Ka Riski

Dia benar-benar temanmu??!, hanya teman??

Aku melihat Ka Riski yang masih memperhatikanku, alisnya terangkat sebelah, seolah memberitahuku segera balas pesan yang dikirimkannya.

'Tentu saja. Ilham hanya temanku saja, kenapa Kakak meragukan ku??'

Aku membalas pesan itu dengan kesal, memang aku ada perasaan dengan Ilham, tapi aku juga sayang dengan Ka Riski.

Ka Riski

Bisa aku minta kamu jangan terlalu dekat dengannya?

Aku mengernyitkan keningku, berpikir sejenak.

Ka Riski

Bahkan kamu harus berpikir memilih keputusan ini, sulit ya?

Pesan Ka Riski, haiishh ini membuatku tidak nyaman. Tapikan...

'Tapikan, Ilham itu cuman temanku dari kecil. Tidak enak jika aku tiba-tiba menghindarinya bukan?'

Ka Riski

Terserah kamu

Dari jauh aku melihat Ka Riski dengan dingin menatapku dan pergi dari lapangan sepakbola.

Aku merasa sedikit bersalah, tapikan aku tidak bisa meninggalkan Ilham juga.

Aaaaa bagaimana inii!?!?

.

Sekarang jam pulang sekolah, aku masih duduk di kelas, melamun memikirkan beban yang harus aku tanggung dari pacaran dengan Ka Riski dan punya perasaan lebih ke teman sejak kecil, Ilham.

Aaahhh rasanya kepalaku ingin meledak, memikirkan mereka.

Kenapa yaa, ini bisa terjadi?!?!?!

Kisah percintaanku yang rumit, hiks.

"Afifahh.."

Suara itu, ah... temanku Lola.

"Kamu belum pulang?"

"Iyaa belum, Lola masih disini?"

"Ini aku mau pulang, tadi masih ada yang perlu dikerjakan. Mau pulang barengan?"

Aku mengiyakan ajakan Lola dan kami pun pulang barengan. Sambil berjalan bersama aku bercerita dengannya.

"Lolaa aku boleh cerita?"

"Ouh, silahkan Fah"

"Jadi temanku itu punya pacarkann, dan di satu sisi dia jua punya perasaan pada sahabat cowonya. Menurutmu apa itu hal yang wajar?"

"Temanmu itu suka tidak pada pacarnya?"

"Hummm... menurutku suka sih, mungkin sedikit"

Lola menatapku sejenak, dan tersenyum.

"Mungkin itu sebuah pelarian, di saat dia gak bisa mengungkapkan perasaannya pada sahabat cowonya, dia tidak ingin kehilangan sahabatnya itu pastiii dan takut perasaannya bertepuk dengan sebelah tangan. Jadi bagiku itu wajar terjadi, apa lagi kamu itu cewe."

"Hah?"

Aku terkejut dengan kalimatnya yang terakhir.

"Aku tau itu pasti kamu, dan kamu lagi bingung. Tenang saja aku bakal diam kok. Hehe..."

Ternyata Lola orang yang sangat peka dan baik.

"Saranku, kamu jangan menjadikan seseorang sebagai pelarian. Jika kamu suka seseorang, sukai satu orang saja, sampai kamu tau perasaannya. Menjalani hubungan dengan orang lain membuat orang lain menderita dengan perasaan kamu."

Lola memberiku nasihat yang baik, aku jadi terharu.

"Tapi, jika aku belajar mencintai Ka Riski bagaimana?, Kau tau kann Ilham itu sepertinya tidak suka padaku. Dia hanya suka menjaili kuu sajaa, benar-benar menyebalkan."

"Hummm... itu tergantung kamu, semoga beruntung yaa... 'meski aku tau endingnya bakal bagaimana'."

Kalimat Lola terakhir terdengar halus tidak terlalu bisa ku dengar.

"Apa katamu terakhir tadi?"

"Bukan apa-apa"

Lola tersenyum lembut dan berhenti berjalan.

"Rumahku jalannya ke arah kanan, kita berpisah di sini yaa... Kamu hati-hati Afifahh.."

Aku mengangguk dan melambaikan tangan.

Aku jadi kepikiran dengan kata-kata Lola yang sedikit menampar ku, secara tidak langsung sihh.

Aku menjadikan Ka Riski sebagai Pelarian?

Apa itu benar?

Kenapa aku jadi merasa tidak enak begini.

avataravatar