webnovel

Reverse Orbital [IND]

Ini seperti yang terjadi sebelum 21-12-2012. Sekelompok paranormal menyatakan bahwa peristiwa besar akan terjadi di dunia ini. Tapi bukan kiamat, mereka mengatakan transformasi, 'Holy Friday'. Hari dimana gerhana matahari total terjadi, tapi kemudian arah matahari berbeda, rotasi bumi terbalik. Matahari akan terbit dari barat. Selanjutnya, manusia akan menerima 'grace' dari alam yang lebih tinggi. Untuk bersaing, meningkatkan, mengembangkan, beradaptasi. Bagaimana tanggapan 'human' dan 'high-human'?

Hamartama · Fantasy
Not enough ratings
17 Chs

Resolusi Yolanda

Kukira Jhennifer juga sudah tahu apa yang aku pikirkan...

Pertama, kalau seorang diminta untuk menipu orang lain dengan iming-iming, maka ia juga harus siap ditipu oleh dalang yang memberi perintah tersebut. Hidup ini hanya tentang siapa yang menguntungkan dan siapa yang tidak. Saat waktunya tiba, trik yang digunakan untuknya menipu, mungkin juga akan si dalang terapkan padanya. Entah bukan Niko atau ia juga termasuk, yang bisa kuasumsikan hanya... kalau ada bentuk kedua dari kelompok, kemungkinan bentuk ketiganya pun juga ada...

Kedua, aku pun tidak melihat nilai yang sepadan untuk mengotori nama baik dengan poin yang masih belum jelas terlihat gunanya ini. Kukira hanya broker yang tahu kegunaannya. Entah Niko broker atau bukan, kukira seorang dengan profesi yang menjanjikan sepertinya tak akan senekat ini kalau seorang diri.

Ketiga, saat aku memancing Om Dika, aku menyadari bahwa peringkat berpengaruh pada aksi mereka. Mungkin mereka hanya berdalih untuk memotivasi pion mereka tapi bukankah mereka bisa saja bohong soal hasil buruannya... oh pakai kata broker ya...

Mereka juga tidak membunuh targetnya dan melakukannya secara hati-hati. Berarti hanya mengumpulkan poin ya... tunggu... semakin banyak poin mereka dapat akan berbanding lurus dengan poin akumulasi high-human di area ini, begitu pula dengan jumlah high-human. Dengan kata lain, melemahkan...

Dengan asumsi Niko bukan dalang sebenarnya, dan ada broker lain yang menghasut Niko untuk melakukan ini, kukira cuma ada satu kelompok yang mungkin jadi dalangnya. Teroris.

Yang kukawatirkan adalah tentang premis melemahkan. Bagaimana kalau rumah sakit ini bukan satu-satunya? Maksudku, bagaimana kalau mereka berusaha memperkuat kelompoknya dengan melemahkan kota ini atau bahkan seluruh negeri?

"Kak... ketawanya sudah? Bisa aku tanya sesuatu?

"Aha... haha... maaf... apa? Kamu mau tanya apa?"

Pertama aku akan meyakinkannya dulu kalau aku mampu berpikir...

"Enggg... grace Kak Yol bisa kontrol udara kan? Udara yang gimana?"

"Eh, maksudnya?"

"Boleh kutebak?"

"Lah katanya tadi mau tanya kok malah mau jawab sen-"

"Udara Kakak itu mengacu ke semua zat yang fasenya gas kan? Entah itu udara maupun uap dari itu coklat panas. Itu juga fungsi dari diffuser elektrik sama serbuk gergaji itu kan? Apa itu berarti di tekanan udara ruang standar Kak Yol bakal kesusahan membuat angin tajam tadi?"

"Eh, wow... hahaha... kamu cermat juga ya... Yup, aku sengaja pakai diffuser plus penyekat pintu sama jendela ya cuma buat itu."

"Hehhh~ cuma buat itu... apa juga buat mempermudah menguping rambatan suara dari mulut orang? Apa kloroform di sana juga buat itu ya... dipasang di diffuser buat bius orang kalau ketahuan mau macam-macam?" Aku menuding etalase yang berisi bahan kimia.

"Wha... eh... kamu..."

"Nah sekarang bisa aku ngomong serius sama Kakak?"

"Kamu... sebenarnya siapa? Cebol? Orang dewasa tapi badannya kecil?"

Aku melempar Kartu Identitas Murid milikku padanya.

"A.A. Regatama... 14 Tahun?! Masih SMP?!!"

"Yup. Aku cuma mau menghormati wanita yang bangga akan intelektualnya, makanya aku tadi ngomong begitu?"

"Hmmm... oh, hahaha... jadi tadi cuma buat bilang kalau kamu bisa paham obrolan rumit ya hahaha. Okok, kamu mau tanya apa tadi?" Dia memperbaiki sikapnya dan kembali duduk tenang dengan mata yang tajam.

Di sisi lain, Om Dika menggelesot di lantai. Pilihan yang tepat. Itu membuatnya tak berpihak padaku, dan juga lebih dekat ke Yolanda. Mungkin, ia tahu apa yang akan kuperbincangkan dengan Yolanda.

"Kak Yol... ruanganmu ini bukannya malah menguntungkan Niko? Apa Kakak begitu percaya ke dia?"

"Hah? Apa maksudmu?"

"Ah nggak, cuma... aku nggak lihat kakak menikmati kelompok ini..."

"..." Ia terdiam dengan keresahannya.

"Kenapa diam? Aku benar? Terus kenapa Kak Yol gabung? Kak... jangan kawatir, ngomong saja, aku dipihak Kakak kok. Percaya deh..."

"Itu... jelas kan... karena di situasi ini lebih aman berkelompok daripada sendirian. Coba lihat ke luar deh, bahkan kepolisian juga kewalahan menangani ini. Terus siapa lagi yang bisa kasih keamanan ke kita?"

Jadi karena terpaksa ya... Menurutku, logikanya juga 100 persen benar. Bahkan Om Dika pun seperti tertampar dengan ucapan Yolanda sampai ia menundukkan kepalanya.

"Bukannya yang paling aneh malah kamu? Kenapa anak SMP nekat terlibat?"

"Enggg... sama kayak Kakak?" Sial, aku sendiri sampai lupa memikirkan alasannya. Iya juga ya, mana ada anak SMP nekat bergabung dengan grup pencurian.

"Tuh kan, berarti pilihanku juga benar kan?"

"Siapa juga yang bilang salah? Aku nggak ada niat menyalahkan Kakak, kan aku tadi juga bilang kalau aku di pihak Kakak." Aku melempar senyum ke arahnya.

Mungkin, jalan ini malah lebih bagus... biarkan aku masuk dulu...

"Ah... ya... makasih..." Ia pun sontak mengalihkan pandangannya dariku.

"Tapi Kak... aku mulai merasa ada yang salah. Gimana kalau ini cuma keputusan impulsif kita karena putus asa. Aku juga nggak begitu paham tujuan sebenarnya grup ini. Mungkin kita nggak bunuh orang, cuma ambil poinnya tapi... gimana kalau nantinya ada pemerintah bentuk instansi khusus buat menangani ini dan akhirnya kita dicap kriminal? Jangankan mencari rasa aman, kita malah diburu sama penegak hukum, terus... ke mana kita harus lari?"

"Ya kalau... kamu... ada benarnya..."

"Ya kalau aku agak nggak peduli sih... karena aku memang suka berkelahi hehehe... Toh itu juga nggak pasti, terus logika Kakak juga ada benarnya."

"Hmmm... kamu yang mana sih sebenarnya? Tadi kamu bujuk Kakak pakai logikamu buat bujuk Kakak keluar grup kan? Tapi... kenapa malah bikin Kakak ragu lagi..."

"Karena yang mau aku dengar bukan logika Kakak, tapi perasaan Kakak." Aku melempar senyumku lagi padanya.

"Ha? Maksudnya?"

"Kak... pernyataan logika bisa dibalik sama pernyataan logika lainnya karena dunia ini cuma tentang perspektif. Tapi suara hati enggak... itulah jawaban asli seseorang soal kecocokannya melalukan suatu hal. Psikopat akan jadi psikopat dan orang suci akan jadi orang suci. Kakak yang mana?"

Hahaha, apa yang aku bicarakan? Padahal sudah jelas, manusia itu ya tentang otaknya hahaha.

Bahkan sekarang pun aku juga sedang mempermainkan logikanya dengan logikaku, bermain dengan perspektifnya. Untuk mengonversi iblis menjadi orang suci.

"Kamu... aneh ya... kata-katamu barusan terlalu berat buat anak seusiamu. Aku juga... sebenarnya merasa salah tapi, gimana cara menolaknya? Nggak peduli sekuat apa kamu, perbedaan jumlah bisa buat kamu kewalahan."

"Nggak usah ditahan Kak. Ceritakan saja."

"Dok- Niko... butuh sokongan graceku. Dia nggak bakal kasih izin aku buat keluar grup. Kita juga kerja di tempat yang sama juga..."

Mungkin sudah cukup... aku sudah cukup masuk. Mungkin aku juga harus berterima kasih ke Jhennifer nanti. Aku cukup belajar darinya. Ya... kalau iblis tak bisa disucikan dalam sekali pemurnian, buat saja mereka berpikir kalau mereka sudah dimurnikan dan sudah menjadi orang suci. Biarkan ia mencoba peran sebagai orang suci yang membasmi iblis lainnya.

Sekarang...

"Om, bisa tolong beberkan saja ke dia..."

"Eh, serius?"

Aku mengangguk dan berdiri dari tempatku. Lalu mendekati Kak Yolanda dan bersiap untuk menyerangnya kapan saja jika negosiasinya gagal. Tapi aku benar-benar menginginkannya bergabung, untuk alasan pribadi.

"Kalian mau apa? Kok pada berdiri... jangan aneh-aneh ya!"

"Mbak Yola... sebenarnya aku ini intel dari kepolisian."

"HA?! INTEL? POL-" Dia menghentikan teriakannya ketika melihatku yang memasang jari telunjuk di bibirku.

"Kak... Kakak mau gabung?"

"Gabung sama siapa? Kalian?"

"Iya. Kakak memang benar kalau polisi kewalahan menangani ini. Di sini pun cuma ada Om Dika, dan nggak menjamin bala bantuan akan datang tapi... aku punya rencana."

"Rencana?"

"Kalau nggak ada, gimana kalau kita buat sendiri?"

"Ha? Hahahaha kamu melawak? Cuma 3 orang? Mereka lebih dari 20 orang."

"Kita nggak cuma bertiga. Aku bakal pecah mereka. Kalau kita nggak punya orang kan tinggal ambil dari pihak musuh. Toh grup ini bukan satu grup yang solid kan... Biarkan mereka yang di labeli kriminal, kita ambil peran sebagai pembasmi. Ada satu polisi di sini. Jadi kalau berhasil mungkin kita bakal lepas dari label kriminal, menyelamatkan orang lain, dan mungkin juga dikasih hadiah poin. Hmmm... gimana kalau kita pakai nama Grace Enforcement?"

"Tapi Rega..."

"Kakak mau keluar apa enggak?"

"Kakak nggak berani ambil keputusan sekarang... gini deh, aku sementara laten... bentar kamu tahu laten kan?"

"He em... kalian berdua nggak ada bedanya ya... kemarin Kak Rena sekarang Kak Yola..."

"Rena? Maksud kamu Renanda?"

"Iya, Kak Renanda. Oh, iya kalau nggak salah dia juga bilang kalau kenal sama Kakak."

"HA? RENANDA? Se- serius?"

"Eh, kenapa?"

"Ah nggak... kaget saja pengecut kayak dia bisa ikut berpihak..."

"Jangan ngomong buruk ke Kak Rena kalau Kakak sendiri juga nggak berani ambil keputusan!"

"Nggak gitu Rega... Kakak cuma mau kamu buktikan dulu kalau kamu punya potensi menang. Kakak nggak bakal bilang ke siapa-siapa kok soal rencanamu. Besok datang lagi ke sini dan bawa bukti soal jumlah orang yang berhasil kamu rekrut. Kamu juga paham kan kondisi Kakak gimana? Kalau aku pergi dari sini otomatis aku jadi musuh Niko. Aku bakal di teror di tempat kerjaku, cari kerja lain juga susah. Kakak juga bingung harus gimana, cuma ini yang bisa Kakak lakukan sekarang..." Yolanda mengatakan keluhannya.

"Yang suruh Kakak terang-terangan melawan mereka sekarang juga juga siapa? Aku kan cuma tanya Kakak mau gabung apa enggak? Toh peran yang mau aku kasih ke Kakak nggak berisiko kok..."

Aku menjelaskan rencanaku dengan terperinci. Awalnya ia ragu, namun setelah ia terlihat merenungkannya kembali, akhirnya ia pun setuju. Aku juga memberi tahu mereka apa yang kupikirkan tentang kasus ini dan kemungkinan kalau ada keterlibatan teroris di dalamnya. Mereka awalnya kaget dan ragu, tapi setelah aku minta untuk menyambungkan kembali kesimpulan dengan beberapa hipotesisku, mereka akhirnya juga menyadari kelogisan dalam asumsiku. Setelah itu, aku pun blak-blakan kalau aku butuh jaminan darinya sebab aku telah membocorkan informasi milikku.

"Kamu mau jaminan apa? Bukannya poin itu juga sudah termasuk jaminan?"

"Kurang Kak, itu karena rencananya begitu, nggak dihitung sebagai jaminan?"

"La terus kamu mau apa?"

"Hmmm... aku butuh..."

Ak butuh sesuatu yang berharga darinya. Tapi apa? Dirinya pun tak begitu menganggap poin sebagai sesuatu yang berharga. Lalu apa yang lebih berharga... ah, apa mungkin...

"Itu!"

"HP?"

"Bukan, tapi isinya. Akun game Ka-"

"ENGGAK MAU!!" Yolanda sontak mengambil ponselnya di meja dan menyembunyikannya.

Aku dan Om Dika saling melihat dan dengan kompak menyipitkan mata kami padanya. Sikapnya seperti anak kecil yang takut mainannya direbut. Tapi setidaknya tebakanku benar. Dari reaksinya tadi saat aku menyinggung tentang game, terutama tentang RPG, dan perhitungan yang ada di kertas, aku tahu kalau ia adalah salah satunya... pemain game online yang mungkin, cukup maniak.

"Pokoknya jangan ini..."

"Tapi kan kita juga butuh jaminan buat bikin kita percaya sama Kakak. Kita sudah kasih tahu rahasia kita lo... Kakak nggak adil kalau gitu..."

"Tapi..."

"Kan cuma sehari juga, besok kalau Kakak memang nggak berkhianat ya aku kasih balik itu akun Kakak."

Yolanda mengerucutkan bibirnya. Tak lama ia pun setuju dengan itu.

"Tapi awas kalau hilang ya! Jangan dibuat main, jangan diubah pokoknya! Awas saja kalau balik-balik kondisinya jadi hancur..." Yolanda menyerahkan ponselnya padaku. Nama akun, kata kunci, dan informasi keamanan lainnya terpampang di sana.

"Iya iya Kak... Kalau gitu langsung dimulai saja."

Setelah aku mencatat informasi akun dan mengubahnya, kami langsung memulai rencana kami.

Yolanda memanggil black-boxnya, dan Om Dika mengambil poinnya. Waktu yang mereka butuh kurang lebih 24 menit. Sembari menunggu aku menulis surat pada 2 lembar kertas. Setelah jadi, aku langsung menunjukkannya pada Yolanda untuk mengonfirmasi pemahamannya soal isi dari surat tersebut.

"Eh... istilahnya... oh, hahahahaha jadi kamu juga main itu game toh."

"Hehehe iya Kak, makanya aku bisa tahu hitungan yang ada di kertas Kakak tadi."

"Ok, kayaknya Kakak bakal langsung paham kalau pakai ini."

"Ya, aku percaya sama Kakak."

"Hehehe makasih."

Dia menyimpan satu di mejanya dan yang satunya lagi ia letakkan di saku bajunya. Karena masih menunggu, aku sekalian membongkar jendela ruangannya.

Black-spot milik Yolanda semakin memudar dan mengecil. Sekarang wujudnya kurang lebih sama dengan kebanyakan orang yang pernah kulihat.

"Kak, karena tinggal 2 menit, jadi kita pamit sekarang ya..." Aku mengulurkan tanganku padanya.

"Hehehe ok, kalau gitu..." Yolanda mengulurkan tagannya juga. Tapi alih-alih membukanya, ia mengepalkannya dan hanya mengacungkan jari kelingkingnya.

"Ok... aku janji besok bakal ke sini lagi. GLHF!"

"Hahaha... okok, Kakak juga janji nggak bocorkan informasi. GLHF!"

Mengabaikan Om Dika yang fokus menahan rasa mualnya, aku dan Kak Yolanda saling mengaitkan jari kelingking kami. Tak lama Kak Yolanda pun kehilangan kesadarannya akibat kondisi zero-poin. Aku menahan kepalanya yang jatuh bebas, dan meletakkannya di atas meja. Om Dika pun juga mengambilkan selimut untuknya. Untuk berjaga-jaga, ya, untuk berjaga-jaga aku juga mengambil beberapa foto Kak Yolanda.

"Ok Om, waktunya pergi."

"Ok!"

Kami keluar dari ruangan itu melewati jendela berukuran sedang yang sudah kubongkar tadi. Setelah kami berhasil keluar dan mengkonfirmasi bahwa tidak ada orang di sekitar area luar rumah itu, kami memberikan sentuhan terakhir...

*Pyarrr...

Aku melempar pot kecil berisi tanaman ke kaca jendela setengah ruangannya.

"Waduh Reg, itu tanaman..."

"LARI!"