webnovel

Masih mencintainya

Drrttt.... Drrttt...

Ponsel milik Davina tidak berhenti bergetar selama beberapa menit terakhir sejak ia mengaktifkan ponselnya itu.

Terpampang jelas nama Dilan di layar benda pipih tersebut. Entah sudah berapa kali Dilan menelepon Davina namun sama sekali tidak di respon.

Sementara Davina hanya menghela nafas berkali-kali karena ia bingung harus menjawab panggilan itu atau tidak. Inginnya ia menjawab panggilan itu, namun beberapa saat kemudian ia sadar dengan statusnya saat ini.

"Seharusnya aku mengganti nomor ponsel ku lebih dahulu," gumam wanita cantik itu.

Lama kelamaan, karena merasa risih dan Davina juga ada perlu. Ia pun memutuskan untuk menjawab panggilan dari Dilan yang entah sudah berapa puluh kali ia abaikan.

"Davina..." Panggil Dilan dari serang sana.

Davina mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya perlahan. Ia berusaha untuk setenang mungkin.

"Iya. Ada apa?" Sahut Davina.

"Kenapa kau tidak menjawab panggilan ku? Apa kau tau aku sangat merindukanmu?" Ucap Dilan yang terdengar memelas.

"Sudah ku katakan padamu. Hubungan kita sudah berakhir. Lupakan aku dan carilah kebahagiaan mu yang lain. Ku mohon, jangan menganggu ku lagi. Maafkan aku," sahut Davina memohon.

"Tidak bisa. Sekeras apapun aku mencoba untuk melupakan mu, aku tetap tidak bisa. Ku mohon, kembalilah padaku Davina. Aku tau kau masih sangat mencintai ku," pinta Dilan.

Tidak ada sahutan dari Davina. Ia masih terdiam tidak tau harus berkata bagaimana lagi untuk menjelaskan keadaan pada Dilan. Pemuda itu terlalu keras kepala untuk di beritahu dengan cara halus.

Jika di tanya bagaimana perasaan Davina saat ini, tentu saja ia sangat bersedih. Meski ia bisa berkata bahwa ia tidak masalah dengan pernikahannya, tetapi hatinya tetap tidak bisa berbohong.

Ia kecewa dengan keadaan yang mengharuskan dirinya menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia cintai. Impian Davina sebenarnya hanya ingin hidup bahagia dan tenang bersama dengan orang yang ia cintai.

Sementara Dilan pun menganggap Davina sangat berarti baginya karena Davina lah yang menemaninya dari titik nol hingga saat ini.

Lama termenung, hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki menuju kamar Davina. Sudah tentu itu adalah Revan yang baru saja kembali dari kantor.

"Sekali lagi ku katakan. Aku sudah tidak mencintai mu lagi. Aku bahkan tidak perduli jika aku terus merengek meminta ku untuk kembali padamu. Ku tekankan padamu bahwa itu semua tidak akan pernah terjadi. Apa kau mengerti?!" Ketus Davina dan segera mematikan ponselnya.

Ia pun menghela nafas lega. Berharap semoga Revan tidak mendengar obrolan nya dengan Dilan.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan Revan masuk sambil tersenyum melihat Davina yang duduk di depan meja rias itu.

"Sudah pulang? Maaf, aku tidak menyambut mu di depan," ucap Davina.

Wanita itu berdiri dan berjalan menghampiri sang suami. Meraih tas kerja nya dan juga jas kantor yang ada di tangannya itu.

"Tidak apa. Apa kau sedang sibuk?" Tanya Revan penasaran.

Davina terdiam mematung. Ia ingin menjawab, namun takut salah.

"Aku mendengar mu sedang berbicara dengan seseorang dari luar. Apa kau sedang menelepon?" Sambung Revan.

"I-iya, aku baru saja menelepon seseorang," sahut Davina gugup.

"Ah, begitu..."

"Mau ku buatkan teh hangat? Apa kau lelah?" Tanya Davina mengalihkan pembicaraan.

Revan pun tersenyum dan mengangguk kecil. "Boleh, jangan terlalu manis ya..." Sahutnya.

"Baiklah." Pungkas Davina dan segera berlalu menuju dapur.

Melihat Davina yang sudah pergi ke dapur, membuat Revan tersenyum miring.

"Kau pikir aku tidak tau kau baru saja menelepon siapa?" Gumam nya.

*

*

Sementara itu, di rumah kediaman keluarga Arsenio.

Dilan membanting ponselnya hingga hancur berkeping-keping karena tak bisa menahan marahnya lagi. Ia terlalu kesal dengan ucapan Davina yang menyakiti hatinya.

"Kenapa dia bisa segampang itu mengatakan bahwa dia tidak mencintai ku lagi? Apa dia tidak berpikir dan mengingat bagaimana perjuangan ku untuk nya selama ini? Kenapa kau sangat tega padaku Davina? Apa yang ku lakukan padamu sampai kau benar-benar menyakiti perasaan ku? Ini tidak boleh terjadi. Aku harus merebut mu kembali bagaimana pun caranya!" Monolog Dilan di dalam kamarnya.

Tanpa ia sadari, Kinan mendengarkan apa yang di ucapkan oleh Dilan. Wanita paruh baya itu pun tidak tinggal diam mendengar apa yang akan di rencanakan oleh putra semata wayangnya itu.

Bagaimana pun caranya, Kinan harus segera menikahkan Dilan dengan Adelia. Demi kelancaran bisnis perusahaan dan juga supaya Dilan segera melupakan Davina.

Ia pun mengatur pertemuan keluarga untuk menentukan tanggal pertunangan Dilan dan Adelia. Bahkan tanpa meminta persetujuan dari Dilan.

Wanita cantik itu hanya berunding dengan suaminya di dalam kamar.

"Apa?! Dua hari lagi? Apa kau yakin dengan rencana mu ini?" Tanya Bian pada istrinya itu.

"Mau bagaimana lagi? Dilan bahkan tidak bisa di kendalikan. Dia sedang berusaha untuk merebut Davina dari Revan," sahut Kinan mulai panik.

"Kenapa harus Revan yang menikahi Davina? Ck, ini benar-benar menyulitkan ku," gumam Bian frustasi.

Kinan pun duduk di samping suaminya. "Aku ada rencana," ucapnya kemudian.

"Rencana apa?" Tanya Bian tak mengerti.

"Jika Dilan tetap menolak perjodohan ini, maka kau berpura-pura sakit keras lah. Bagaimana?" Sahut Kinan antusias.

"Jangan berpikir konyol. Kau mau itu menjadi kenyataan? Aku tidak mau!" Geram Bian.

"Ku mohon. Sekali ini saja. Ini juga demi perusahaan mu. Apa kau mau perjodohan ini batal dan orangtua Adelia membatalkan investasi mereka? Kau bilang ingin mengalahkan perusahaan putra mu itu," gerutu Kinan sebal.

Bian mendengus kesal ketika Kinan mengingatkan bahwa Revan adalah putra nya.

"Sudah ku katakan padamu berapa kali? Jangan sebut anak itu sebagai putraku!"

Kinan terkekeh kecil. "Kalau begitu lakukan ini demi putramu, Dilan!" Sahutnya.

"Baiklah-baiklah. Kau benar-benar ratu drama!" Pungkas Bian.

Pria paruh baya itu pun berjalan menuju ranjangnya dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur karena mulai lelah menghadapi tingkah istrinya yang mulai kelewat batas itu.

Sementara Kinan tersenyum penuh kemenangan karena sang suami mau menuruti rencananya. Segala cara akan ia lakukan demi kelancaran perjodohan Dilan dan Adelia.

Wanita itu sudah terlalu di kuasai oleh ambisinya sendiri hingga sama sekali tak bisa memikirkan bagaimana perasaan sang anak. Cinta atau tidak, yang terpenting adalah kebahagiaan dan kesenangan dirinya sendiri.

"Bagaimana pun juga pernikahan ini harus terjadi. Susah payah aku merebut Bian dari Alina untuk mengangkat derajat ku, dan sekarang aku terancam jatuh miskin dalam sekejap hanya karena Dilan terus mengejar gadis tidak tau diri itu? ini tidak boleh terjadi." Batin Kinan.

Melihat sang suami sudah tertidur pulas, ia pun berjalan menghampiri suaminya. Wanita itu melihat suaminya sekilas dan kemudian membaringkan tubuhnya membelakangi sang suami.

**

Next chapter