webnovel

Reincarnation Of The King

Disaat gejolak peperangan Napoleon dengan Kerajaan Inggris, justru di Kerajaan Canbrai yang dipimpin oleh Paduka Raja Frithestan tengah mengalami perang dingin antara Paduka Raja dan Kaisar Muda Thustan. Kerajaan orang lain justru mengalami dampak peperangan Napoleon dan Inggris kurang mendapatkan bahan pangan untuk rakyat kerajaan. Kerajaan Canbrai masih dikatakan stabil dalam mendapatkan hasil pangan dari rakyat kerajaan yang gigih dan rajin. Thustan adalah pria gagah dan tampan rupawan usia 27 tahun, memiliki mata elang yang sangat tajam. Dia adalah seorang pemanah handal sangat mampu menjatuhkan musuh dari tangan kekarnya, sifat kasarnya sangat berbeda dengan Paduka Raja Frithestan. Paduka Raja sangat baik, lemah lembut bahkan punya sifat belas kasih kepada rakyat kerajaan. Justru disebelah barat Canbrai terdapat Kerajaan Bordeaux yang dipimpin oleh tangan kedua Kesultanan Utsmaniyah yang di percayakan kepada Masson keturunan ke V mereka. Kepergian Paduka Raja Frithestan untuk selama lamanya sangat menyayat hati sang kaisar muda Thustan. Dia justru memberi hukuman lebih ganas kepada rakyat, yang telah memberi informasi kepada Frithestan sebelum kematiannya. Ditengah lapangan luas, berkumpul seluruh rakyat kerajaan Canbrai sebelum pemakaman Paduka Raja Frithestan, beberapa orang yang melapor pagi itu pada sang paduka dihukum oleh sang kaisar muda. Kekejaman yang Thustan lakukan, tanpa memikirkan nasib rakyatnya. Mengakhiri hidupnya di tangan Masson Kerajaan Bordeaux, sementara Gounelle dan Abel dipancung ditiang gantungan, agar tidak meninggalkan bekas pada masa kerajaan Canbrai. Daniel sang pengkhianat menggantung dirinya sendiri di pohon sycamore, sebuah pohon besar nan tinggi yang tumbuh dengan subur diarea istana kerajaan Canbrai. Kerajaan Bordeaux berhasil menghancurkan seluruh kerajaan Canbrai atas perintah seluruh kerajaan pada abad itu. Kekejaman sang kaisar muda Thustan menjadi akhir segalanya bagi kerajaan Canbrai yang tidak memiliki pengalaman dalam mempertahankan perekonomian kerajaan sendiri. Pangeran Masson berhasil meraih adi kuasa menjadi kerajaan terbaik, mampu bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama dengan caranya, menjual bahan pangan kepada kerajaan yang tertindas oleh kerajaan Canbrai. Reinkarnasi tubuh terjadi, saat seorang pemuda terbaring lemah dikamar rumah sakit. Thustan Boulanger seorang militer terbaik, akhirnya tersadar dari koma. Kembali bertemu dengan Solenne merupakan perawatnya didunia masa depan. Thustan kembali dihadapkan dengan Daniel adalah pengkhianat masa lalu, yang merupakan tunangan Solenne putri keturunan Kerajaan Bordeaux yang dipimpin Siclandus keturunan XXV. Begitu banyak kejadian aneh yang dihadapi Thustan, saat kemampuannya kembali meningkat setelah kesadarannya. Kehilangan Pierre dan Anelle yang ditabrak mati oleh orang suruhan Daniel, tanpa diketahui oleh mereka pelaku sebenarnya. Thustan kembali membalas kekejaman Daniel dan membawa Solenne untuk melarikan diri dari Kerajaan Bordeaux untuk hidup bahagia selamanya. Semua tidak seperti yang dia bayangkan, Kerajaan Bordeaux kembali melakukan penyerangan kepada team militer Herald Tribune dan membuat beberapa perjanjian untuk memusnahkan Thustan Boulanger. Akhirnya Thustan mampu melawan dengan kemampuan sihir yang dia pelajari dari beberapa Kerajaan Romawi kuno, yang dia datangi di Italia untuk menyerang Kerajaan Bordeaux dengan caranya dimasa depan, kembali hidup bahagia bersama Solenne hingga akhir hayat.

Taishan_SV_6809 · Fantasy
Not enough ratings
3 Chs

Perkenalkan..

Sudah lebih dari sebulan prajurit militer itu berada dirumah sakit. Pria bertubuh tegap nan tampan tampak membaik, karena mendapatkan perawatan intensif dari Solenne perawat pribadinya yang diutus langsung dari pihak militer negara Prancis. Wanita bertubuh semampai itu sangat sabar saat pasiennya memperlakukan dirinya dengan sangat kasar.

"Siapa namamu?" Solenne menatap lekat iris mata kecoklatan milik pria dihadapannya saat hendak memeriksa tubuh tegap itu.

Pria itu semakin menarik lengan Solenne dengan kasar, "saya yang akan bertanya, siapa namamu, apakah kamu suster yang dengan sengaja akan membunuh saya dengan jarum suntik besar kala itu?"

Deg,

Solenne menatap kearah prajurit militer dengan perasaan takut, "saya tidak pernah ingin melukai pasien, Tuan siapa namamu, jawab!" dia menarik tangan kekar itu, memasang alat digital untuk mengukur tensi darah pria yang menyeramkan.

Dengan sengaja pria gagah itu mendekati wajah cantik Solenne, "siapa namamu?" Mata keduanya bertemu saling menatap.

Solenne menunduk, tidak ingin berlama lama menatap mata elang yang mampu memberikan sinyal yang berbeda didalam hati. Dia menelan salivanya berkali kali, ingin melarikan diri dari ruangan yang memiliki suhu sedikit sejuk.

"Perkenalkan namaku Solenne," tunduknya tanpa melihat tatapan mata milik pria tampan itu.

Sheeeer,

Darah pria itu tiba-tiba mendidih, teringat sesuatu, tapi sulit untuk berkata-kata. Seketika tangan kekar itu mendorong tubuh wanita yang berdiri didekatnya.

Braaak,

Solenne terpental jauh hingga melukai bahu gadis yang selama ini merawatnya, "aaaaagh, ada apa dengan anda, Tuan?" dia meraba bahu yang tergores karena tersandung sebuah rak obat obatan.

Pria dihadapannya tersenyum tipis, menatap tajam kearah Solenne, "saya sangat menyukai cara anda memberi perhatian, tapi saya tidak suka mendengar nama anda!"

Solenne menaikkan kedua alisnya, "siapa anda, Tuan? kenapa anda begitu kejam kepada saya, apa salah saya? apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" dia semakin penasaran, karena tidak menerima perlakuan pria kasar yang selama ini menjadi pasiennya.

"Perkenalkan, nama saya Thustan Boulanger. Putra kesayangan Tuan Pierre Boulanger pembuat roti ditengah kota Marseille, wanita paruh baya yang biasa menunggu disini adalah ibu saya, Nyonya Anelle," Pria itu membuang pandangannya dari Solenne.

Solenne menarik nafas dalam. Bergegas dia mengambil plaster, untuk menutupi luka dibahunya.

Thustan masih enggan melirik kearah Solenne, karena sedikit mengenang sebuah kisah, tapi dia tidak mampu untuk mengingatnya, "kenapa saya membenci wanita ini tanpa sebab?"

Setelah beberapa menit Solenne mengobati lukanya, dia kembali mendekat pada pria yang baru saja menepisnya, "bisa saya kembali menjalankan tugas saya, Tuan Thustan?"

"Hmmm."

Solenne melanjutkan pekerjaannya, tanpa mau berbasa-basi, setiap kulit mereka bertemu, ada suatu getaran yang berbeda dihati keduanya, "kenapa aku merasakan sesuatu," dia hanya bergumam dalam hati.

"Tensi darah anda normal Tuan. Saya permisi," Solenne bergegas meninggalkan kamar perawatan itu dengan tergesa, tanpa mau berbasa-basi.

Thustan hanya menatap punggung gadis itu berlalu, tanpa mau menahan, "bisa panggilkan Dokter Patrick?" perintahnya, tapi tidak diacuhkan oleh Solenne.

Dia terus berlalu, meninggalkan ruangan dengan hati terluka, "kenapa saya harus berhadapan dengan pria sadis seperti dia Tuhan," air mata Solenne mengalir deras dibalik pintu, saat menutup rapat ruang perawatan.

Anelle baru tiba dari toko roti, sedikit aneh melihat kearah gadis yang merawat putranya. Perlahan dia mendekati Solenne, sedikit bingung, "ada apa kamu menangis disini?"

Solenne tersontak kaget, melihat kehadiran Anelle sangat mendadak sudah berada disampingnya. Pelan dia mengusap wajahnya, menggelengkan kepala, memilih meninggalkan wanita paruh baya itu, "saya permisi Nyonya," tunduknya hormat.

Pierre tampak bingung melihat Solenne saat berpapasan, tapi enggan untuk menyapa. Pengawalan ketat masih negara lakukan atas perintah Jenderal Herald Tribune.

"Hmmm, kenapa dia menangis sayang?" Pierre merangkul bahu Anelle.

Anelle menaikkan kedua bahunya, "tidak tahu, aku rasa dia sedang kelelahan menghadapi putra kita."

Pierre tersenyum, membuka pintu ruangan putra kesayangannya.

Tampak Thustan tengah duduk dipinggir ranjang rumah sakit, dengan tatapan lepas menghadap jendela kamar.

"Ooogh putra ku," peluk Anelle pada Thustan.

Thustan menyambut kedua orang tuanya dengan sangat baik, "Mi, apakah Mami pernah mendengar sebuah kerajaan Canbrai?"

Anelle dan Pierre saling menatap aneh, mereka menggelengkan kepala, tanpa menjawab karena memang tidak mengerti.

"Hmm Papi yang tahu. Mami nggak tahu sejarah negara kita," Anelle tersenyum tipis mengalihkan pandangannya kearah lemari pendingin, mencari beberapa makanan yang sengaja dia sediakan, untuk stock jika bermalam disana.

Pierre menemani putranya, merasakan suatu perbedaan pada putra kesayangan, "apa yang terjadi, kenapa mereka mengawasi mu seketat ini. Apa kamu melakukan kesalahan?"

"Saya menjadi target mereka, ada sesuatu yang saya ketahui, tapi mereka tidak mampu mendapatkannya. Saya harap Papi lebih berhati-hati karena kita dalam bahaya," Thustan memilih duduk disofa ruang tamu kamarnya.

Sheeeer,

Pierre kembali teringat beberapa kali, tentara militer mendatangi toko roti miliknya, dengan pertanyaan yang sama, 'apakah anda memiliki putra, Tuan.' Kalimat itu selalu terngiang ditelinga Pierre saat mereka datang.

Anelle mengambil beberapa cup puding coklat, memberikan pada Thustan, menyuapkan putranya. Memperlakukan Thustan seperti anak kecil.

"Enak enggak?" Anelle mengusap lembut punggung putranya.

Thustan mengangguk, seketika matanya liar merasakan sesuatu dari sudut gedung rumah sakit. Ada cahaya merah dari arah gedung perkantoran yang terletak jauh dari gedung rumah sakit, "Pi, jika saya meminta kalian untuk menunduk lakukan segera."

Pierre dan Anelle terlonjak kaget, merasa ketakutan karena sesuatu mengancam keselamatan mereka sekeluarga.

Segera Thustan membuka pintu ruangannya, mencari keberadaan prajurit masih berjaga-jaga diarea rumah sakit, "izin Ndan, digedung seberang ada team sekutu dengan sniper mengarah ke kamar saya!" hormatnya.

"Siap, laporan diterima," prajurit tersebut menghubungi prajurit lainnya melalui alat tercanggih yang mereka miliki.

Thustan kembali kekamar, benar saja, saat akan memasuki kamar, terdengar suara tembakan sniper yang mendesing menembus ruang perawatan rumah sakit.

Solenne dan Patrick yang akan memasuki ruangan khusus Thustan, merasakan sesuatu yang mengerikan melewati kepala mereka.

Bergegas Thustan meraih tubuh Solenne dan Patrick setelah menyembunyikan kedua orang tuanya didalam kamar mandi.

Dor... dor.. dor...

Suara tembakan dari arah lawan kembali terdengar memporak porandakan ruang perawatan khusus milik rumah sakit, yang ditempati Thustan selama beberapa bulan.

"Menunduk!!" teriak Thustan melindungi Solenne. Tubuh gadis itu dilindunginya agar tidak tertembus timah panah, seperti yang dia rasakan beberapa bulan lalu.

Suasana ruang perawatan semakin hancur berantakan berkeping-keping, semua alat bantu terlihat hancur dan rusak parah.

Patrick yang masih menutup telinganya, berlindung dibawah sofa tidak jauh dari Thustan dan Solenne, "hubungi Jenderal Herald Tribune!" teriaknya panik.

Thustan enggan melakukannya, karena dia yakin bahwa dirinya dilindungi oleh prajurit lain. Seketika tembakan sniper berhenti, pikirannya kembali kepada kedua orangtuanya yang dia sembunyikan dalam kamar mandi.

"Papi, Mami, apakah kalian baik baik saja?" teriak Thustan dari ruang tamu kamar perawatan.

Suasana hening tanpa terdengar suara yang berarti dari balik kamar mandi.

"Mami, Papi," Thustan kembali berteriak, masih menyesiasati seluruh situasi dari kejauhan. Wajah prajurit militer Prancis itu sedikit khawatir, karena tidak ada jawaban dari kedua orang tuanya.

_____