1 Regret

Kutatap murung jiwa yang tengah berduka di sudut bilik petak rumah kami. Aku yang berada di dalam gendongan ibuku menyimak dalam diam, sedang ibu menahan isak tangis seolah dengan bersuara sedikit saja ia akan mengejutkan ayah. Kami berdua disini, diruangan yang sama dengan ayah, ada tapi tak nyata. Ayah tak dapat menemukan keberadaan kami.

Kami berdua menyaksikan bagaimana kepingan kekuatannya hancur dan menyebar ke udara dengan gerakan yang sangat lamban. Ayah memiliki banyak teman, ia pandai bersosialisasi, tapi kini tak seorang pun ada disana untuk membantunya.

Sebelumnya, beliau bukanlah seorang yang pemurung dan suka menyendiri. Ayah mencintai keramaian. Kegemarannya menebar lelucon payah dan membuat orang-orang disekitarnya tertawa keras hingga tak mampu bernapas. Ia suka membuat orang-orang disekitarnya tersenyum karena dirinya.

Tapi bagian terlucu adalah ia tak pernah berusaha membuat ibu tersenyum.

Ayah selalu menyakiti ibu, baik jasmani dan rohani. Tidak ada yang tahu berapa banyak bekas luka tamparan, hantaman, tendangan yang dimiliki ibu terkecuali tuhan dan ibu sendiri. Tapi ibu bertahan, selalu berbakti kepada suaminya yang bahkan tidak pantas mendapatkan wanita semulia dirinya sebagai seorang istri.

***

Saat itu ibu sedang menyiapkan makan malam untuk ayah yang tak kunjung pulang sepanjang 3 minggu berturut-turut. Pergi keluar daerah demi urusan kantor katanya. Tapi ibu tahu itu hanyalah alasan klise yang digunakan ayah agar ia dapat bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana.

Atas nama kesetiaan dan bakti kepada suami, ibu masih disini. Ibu tak meninggalkan ayah meski sebenarnya ibu dapat melakukannya.

Dapat kurasakan kepedihan ibu yang tertahan. Ibu mencintai ayah, tapi pada saat yang bersamaan ia tersiksa dengan cintanya. Ibu hanya merasa sakit, ia tidak mengeluh kepada tuhan yang sudah menuliskan suratan tangannyan sedemikian pilu; dijodohkan dengan lelaki yang hidupnya bahkan tak berorientasi. Ayah hanya terkenal karena menjadi pewaris tunggal harta kekayaan kakek, dan hal itu membuat kedua orang tua ibu tergiur.

**

Ya Tuhan, sepertinya sudah saatnya.

Ketika menuangkan air dari teko ke dalam gelas besar milik ayah, ibu merasakan cairan hangat mengalir turun ke betisnya, dan berakhir di permukaan laintai. Dapat kurasakan jantung ibu yang perlahan berdetak kencang ketika manik hazelnya menemukan cairan dibawah sana.

Ibu berjalan secepat yang ia bisa menuju halaman depan rumah menghampiri Pak Tris. Tukang kebun yang sudah bekerja dirumah ini sejak 7 tahun yang lalu. Pak Tris yang sedang bersantai menikmati secangkir kopi dan roti terkejut melihat cairan berceceran di lantai rumah, tanpa pikir panjang ia berlari meraih sepeda ontelnya dan mencarikan bantuan untuk ibu.

Ibu sudah terengah-engah kesakitan merasakan perutnya yang menggembung seperti balon seolah dipelintir dengan dua tangan besar raksasa. Ia perlahan berjalan menuju gerbang, berusaha mencari bantuan meski Pak Tris sudah melakukannya.

Tepat ketika tangannya berpegangan pada gerbang rumah, orang-orang berdatangan menghampiri ibu bersama Pak Tris. Seorang wanita sudah siap dengan mobilnya untuk mengantar ibu kerumah sakit. Ibu dibopong beramai-ramai ke dalam mobil.

Dua tetangga menemani ibu sedang Pak Tris tinggal untuk menjaga rumah mengingat satpam di rumah itu sudah kabur membawa uang pinjaman yang cukup besar hingga aku tak tahu bagaimana menyebutnya.

Si wanita pemilik mobill mengendarai kendaraannya dengan cepat. Menyelip satu persatu kendaraan di jalan tol menuju rumah sakit terdekat. Di dalam mobil ibu sudah terisak kesakitan. Ia mencengkram tangan dua tetangga tersebut, menahan sakit.

Sejujurnya, aku tidak terlalu paham apa yang terjadi dengan ibu. Yang kurasakan hanyalah aku perlahan-lahan bergerak menuju jalan keluar. Diluar sana ibu menangis menahan rasa sakit, di dalam sini aku tersenyum sumringah menunggu.

Setibanya di rumah sakit, beberapa suster datang dengan cepat menghampiri ibu setelah salah satu tetangga meneriakkan kata tolong.

Ibu digiring oleh beberapa petugas rumah sakit menuju sebuah ruangan yang dipenuhi nuansa putih. Petugas-petugas itu menyiapkan banyak sekali alat yang tidak kuketahui apa namanya. Susasana itu membuatku sedikit khawatir dengan apa yang akan terjadi.

Apa mereka akan melakukan sesuatu yang buruk pada ibu? Apa yang akan mereka lakukan sekarang? Mengapa banyak sekali orang diruangan? Mengapa ibu berteriak teredam? Mengapa-

Tunggu. Aku sudah berada di dunia.

Oh dunia. Cahayamu terlalu terang dan silau, jauh berbeda dengan keadaan tempat tinggalku selama 9 bulan lebih. Membuatku semakin takut dan menjerit menangis kencang. Kurasakan tubuhku dibawa oleh seseorang. Ia membasuhku dengan air bersih. Tapi jerit tangisku masih memenuhi ruangan itu. Aku ingin ibuku, bukan orang asing itu.

Seolah dapat mendengar suara hatiku, orang itu menyelimutiku dengan kain hangat dan tebal. Kemudian memebawa ku mennuju bangkar tempat ibu beristirahat.

Ada yang salah. Orang-orang itu bergerak lebih cepat melakukan sesuatu kepada ibu, aku yakin mereka sedang mengecek kesehatan ibu. Aku ingin melihat apa yang terjadi pada ibuku, namun orang itu membawaku ke ruangan lain dan tak mengizinkanku bertemu dengan ibuku.

Aku tidak paham apa yang terjadi setelah hal itu. Aku telalu lelah menangis, kemudian tertidur di dalam salah satu ranjang bayi di dalam ruangan itu. Tapi kau tahu, aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi kepada ibuku. Untuk beberapa saat setelah aku tebangun dari tidur, aku merasakan seseorang menghampiri ku.

Kubuka bola mata dan menemukan sosok pria yang menatapku dengan mata sembab. Sesuatu membisikkan padaku bahwa ia adalah ayahku.

Ayah. Rupanya sangat tampan dan mencerminkan seseorang yang bijaksana, meskipun tabiatnya betul-betul bertolak belakang. Ayah menangis. Dapat kurasakan lelehan air matanya jatuh di atas permukaan kulitku. Aneh meilhat seseorang yang keras hatinya dapat menangis pilu seperti itu.

Aku mengingnkan ibu. Mana ibuku? Ingin kuketahui rupanya, hati mulianya, dan jiwa bersihnya yang mampu membuat pria seperti ayah takluk.

Aku tertawa, ibu ada di depan pintu ruangan. Ia tersenyum simpul dengan linang air mata haru menatapku. Ibu menghampiriku dengan langhkah pelan tapi pasti. Wajahnya bersih dan cerah, sekujur tubuhnya mengeluarkan sinar yang indah, dan aroma mawar menguar dari tubuhnya.

Ibu menarik kedua lengannya untuk menggendongku, kemudian mencium wajahku penuh cinta. Aku tertawa girang, senang diperlakukan dengan kasih sayang oleh ibuku sendiri. Namun beberapa detik setelahnya, dapat kurasakan kesedihan dari ibu yang menatap ayah.

Ayah masih menatap ranjang, bukan pada kami. Aneh. Siapa yang ia tangis- oh Tuhan. Raga yang tertidur bisu diatas ranjang itu.. aku?.

Ibu menoleh padaku, mengangguk pelan. "Kita sudah berbeda alam dengan ayah nak".

Aku bungkam. Tidak apat mengucapkan sepatah katapun, sebab aku tidak mengerti dengan alam yang berbeda. Apa maksudnya?.

"Kita dapat melihat ayah, tapi ayah tidak. Tak apa, kau tak harus mengerti sekarang juga. Kelak saat kau tumbuh besar, kau akan mengerti".

Kemudian ibu membawaku berjalan menuju portal yang dikelilingi cahaya putih menyilaukan. Aku tidak ingin mengetahui portal apa itu, sekarang aku sudah bersama ibu dan aku yakin aku akan baik- baik saja.

***

Semuanya baik-baik saja. Aku dan ibuku tinggal ditempat yang lebih baik dari pada dunia. Sebelumnya aku masih belum dapat memahami maksudnya alam yang berbeda, namun kini kurasa aku sudah mulai paham.

Ayah berada di dunia fana, sedangkan Aku dan ibuku di dunia kekal.

Di dunia fana, disebuah bilik perak, ayah menangisi kecerobohan dan keteledorannya sebagai suami untuk ibu. Ayah tidak pernah memperhatikan ibu saat ia sedang mengandungku. Tidak memberikan cinta kasih sayang sebagaimana seorang suami seharusnya, dan menyia-nyiakan wanita hebat seperti ibu.

Kami selalu menemani ayah, namun yang ayah ketahui adalah kini ia menangis akibat perbuatannya seorang diri.

TAMAT

avataravatar