3 Lucio

Cleo pikir di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas, dia akan mendapatkan sesuatu yang istimewa dari sosok yang istimewa pula—Mr. Rolleen terkasih. Sayangnya, Cleo justru tidak bisa berkutik begitu tahu bahwa hadiah yang dimaksud pria tua itu adalah seorang pekerja baru di pondok obat mereka.

Cleo baru saja kembali dari desa terdekat untuk mengirim ramuan kepada rakyat miskin yang tidak terjangkau kemakmuran penduduk kota, ketika tiba-tiba saja kakeknya menarik dan membawanya ke depan pondok. Cleo sadar Naserin cukup makmur, tindak kejahatan pun minim terjadi. Namun meski demikian, tidak menutup kemungkinan bila ada beberapa masyarakat kecil yang tidak ikut mendapat cipratan kesejahteraan.

Cleo berdiri menatap pria muda di hadapannya. Mungkin kisaran 20 tahunan, tiga tahun di atas Cleo. Tampilannya mencolok menurut Cleo mengingat rupanya menawan, sangat tidak biasa di kalangan mereka. Warna kulitnya eksotis sementara lengannya yang kekar telah membentuk imajinasi lain di otak gadis itu. Bukan hal mesum, tetapi gambaran bahwa kemungkinan pria itu telah melakukan pekerjaan kasar yang berat hingga membentuk tubuhnya sebagus itu.

Lalu, apa yang dia lakukan di sini? pikirnya.

"Mr. Rolleen, aku rasa kita tidak butuh pekerja." Cleo beralih kepada Mr. Rolleen sementara pria tua itu sedang duduk di bangku kayu tepat di sebelah calon penghuni baru di pondok mereka. "Aku rasa, sudah cukup bila aku yang mengurus semua aktivitas di tempat ini."

Cleo sempat menangkap tatapan datar yang dilayangkan si pria asing sesaat setelah dirinya berkata demikian. Cleo tidak peduli, sebab dia tidak merasa telah melakukan kesalahan. Yang Cleo tahu, bahwa dirinya hanya harus memulangkan si pria sebelum dia melarikan diri karena menyadari betapa tidak menyenangkannya berada di tempat seperti ini.

"Mengapa kamu berpikir begitu?" Cleo mengangkat bahu sedang kakeknya mengernyit kebingungan. "Hei, Nak. Di masa depan, akan ada beberapa hal yang tidak bisa kamu lakukan sendiri dan kamu membutuhkan bantuan orang lain." Bibir pria itu bergerak menjepit cerutu lantas mengisapnya dalam-dalam. Sejurus kemudian berkata, "aku tidak akan selamanya berada di sisimu."

Mendadak Cleo berteriak, "Apa yang kakek—"

"Cleo," Mr. Rolleen telah meletakkan cerutu dan duduk lebih tenang. Cleo tidak sanggup meneruskan kata saat menyadari Mr. Rolleen sedang berada dalam mode serius. Jelas itu tidak bisa diganggu. Tidak ada pilihan selain menunggu pria tua itu melanjutkan kata dan Cleo akan mendengarkan dengan baik. Tetapi, gadis itu bahkan tidak bisa menahan diri untuk terbelalak terkejut begitu Mr. Rolleen berkata tanpa beban, "lagipula, kamu akan meneruskan garis keturunan, sedang pria muda ini lah yang akan menjadi Ayah dari bayi-bayimu kelak. Namanya Lucio."

"Omong kosong!" Manik Cleo memerah. Wajahnya pias bukan main sedang kedua netranya bergulir menatap Mr. Rolleen dan Lucio bergantian, seolah menuding mereka berdua dengan celaan isyarat. Namun keduanya terdiam seolah keputusan Mr. Rolleen tidak salah dan Cleo harus menerimanya. "Aku tidak bisa menerima ini." Langkah kaki gadis itu menyentak pergi dengan wajah masam.

Sungguh, dia tidak habis pikir dengan pemikiran Mr. Rolleen.

Mr. Rolleen menoleh menatap Lucio dengan raut bersalah. "Maafkan dia, Lucio. Dia hanya anak-anak yang baru beranjak remaja."

Lucio menggeleng. "Tidak masalah," ujarnya, tenang. Sejurus kemudian dia melirik ke arah pondok, di mana punggung Cleo terakhir terlihat sebelum pintu kayu di sana menyembunyikannya di balik dinding. "Aku mengerti," imbuhnya.

***

Cleo mendongak. Tepat di hadapannya, berdiri sebatang pohon apel yang besar. Tinggi dan kokoh. Di antara hijaunya daun dan cokelatnya batang, Cleo terpukau menatap merahnya buah di atas sana. Bibir gadis itu tersinggung lebar, dia jelas menjumpai kesenangan baru di atas gunung Reen. Niatnya ingin memanjat dan meraih buah, tetapi bahkan sebelum dia menginjak batang pohon, sebuah tangan kekar yang besar telah lebih dulu meraih tubuhnya; menurunkannya kembali menapak tanah berumput.

"Kamu bisa terjatuh." Suara itu pelan tetapi berat, khas pria dewasa pada umumnya. Cleo tidak membalas sementara Lucio yang pengertian bergegas memanjat dan menjatuhkan buah cukup banyak.

Nyatanya, sudah dua minggu berlalu sejak datangnya Lucio di pondok dan menjadi bagian dari mereka. Kendati Cleo menolak keputusan sepihak Mr. Rolleen yang ingin menikahkannya dengan Lucio, tetapi Cleo sadar dia tidak bisa memungkiri bahwa Lucio akan tetap tinggal di tempat ini.

Cleo pikir kakeknya hanya takut bila suatu saat dirinya akan hidup seorang diri mengingat bagaimana reputasinya di kalangan penduduk. Orang mana yang akan menikahinya di antara semua tuduhan-tuduhan tak berdasar yang dilayangkan kepadanya. Pria tua itu hanya terlalu over thinking. Padahal bagi Cleo pribadi, dia bahkan tidak masalah bila tidak menikah.

Cleo sadar dia tidak menyukai Lucio seberapa pun rupawannya pria itu. Saking tampannya, bahkan dalam kurun waktu kebersamaan mereka, baik ketika mengantar obat ke desa, kota, orang-orang selalu saja membicarakannya. Sosok gadis berambut merah aneh seolah hilang di daftar gosip teratas di kalangan penduduk kerajaan Naserin. Tergantikan dengan berita terbaru mengenai munculnya seorang pria gagah yang tidak biasa.

"Sore nanti kita akan turun gunung. Mr. Ramsley menginginkan obatnya segera diantarkan."

Cleo tidak berbalik untuk menatap Lucio ketika bibirnya mengucap kata itu. Gerakannya terlalu cepat memunguti buah dan memindahkannya ke dalam keranjang. Lucio di belakang pun tidak bersuara selain mengangguk kendati dia tahu Cleo tidak melihatnya.

Sejatinya, dua minggu sudah cukup bagi Cleo menyadari bawah Lucio adalah pria yang baik meski pendiam. Pria itu penurut dan sangat patuh kepada Mr. Rolleen. Apapun yang kakeknya perintahkan, Lucio akan menurut tanpa pernah mendebat. Adakalanya, Cleo berpikir Lucio adalah sejenis robot dengan kelebihan fisik yang nyaris menyerupai manusia.

Walau kenyataannya pria itu benar-benat adalah manusia sungguh.

"Kita harus kembali ke pondok, aku rasa kita sudah terlalu lama mencari tanaman obat." Cleo mendongak menatap langit. Teriknya surya telah meninggi dan itu menjadi pertanda bahwa mereka harus pulang.

"Berikan padaku." Lucio sudah lebih dulu menarik keranjang yang hendak dipanggul Cleo.

"Tidak perlu, sebelum kamu datang pun aku yang melakukan semuanya seorang diri." Gadis itu menarik kembali tali keranjang tetapi Lucio menolak. Keranjang itu dipindahkan ke belakang punggung. Cleo mengerutkan kening lalu menatap wajah Lucio yang menatapnya dengan datar. "Apa yang kamu lakukan? Berikan!" Gadis itu mengulurkan tangan dengan raut kesal.

Lucio menggeleng. "Tidak," wajahnya masih sama datarnya ketika dia melanjutkan, "Mr. Rolleen memintaku untuk membantumu, apapun itu."

Cleo seketika mendengkus sebal. "Jangan pikir dengan begitu aku akan menerima keinginan Mr. Rolleen untuk menikah denganmu." Manik gadis itu berkilat penuh penolakan.

Tetapi, Lucio mengabaikannya sembari berjalan melewati tubuh gadis itu. Cleo menganga tidak percaya, mendadak tudung jubahnya dia turunkan dengan kasar. Detik itu juga rambut merahnya berkibar di bawah teriknya mentari. Dia jelas merasa kesal saat mendengar susunan kata yang keluar dari mulut pria itu.

Lucio berkata, "Jangan terlalu percaya diri, aku juga tidak ingin menikah dengan gadis berambut merah aneh yang hidup di atas gunung kalau saja ini bukan keinginan Mr. Rolleen."

Cleo termangu.

Begitu dia menyadari bahwa Lucio sudah cukup jauh menuruni gunung menuju pondok, gadis itu baru melangkah sempoyong dengan wajah kaku.

Mungkinkah Cleo terlalu percaya diri hingga beranggapan jika Lucio yang menginginkan dirinya?

Menghela napas dengan kasar, Cleo menyentak tanah berumput di bawahnya dengan wajah merah padam.

Oh, dia tiba-tiba saja merasa malu.

avataravatar
Next chapter