1 Gadis Berambut Merah

"Mengapa rambutnya merah?"

"Apakah dia penyihir? Warna rambutnya aneh sekali."

"Apakah dia berasal dari kerajaan ini?"

Cleo menarik turun tudung jubahnya lebih rapat. Langkahnya menapak di atas jalan pasar yang ramai tanpa mencoba melirik kiri-kanan. Bisik-bisik itu kian terdengar keras sementara Cleo sangat tahu siapa yang sedang menjadi buah bibir di kalangan penduduk. Tidak ada pilihan lain selain menutupi rambutnya yang sangat aneh—menurut mereka—tetapi menurut Mr. Rolleen warna rambutnya adalah anugerah terindah dari Sang Pencipta.

Ya, Cleo pikir Mr. Rolleen hanya mencoba menghiburnya. Toh, pria tua itu adalah kakeknya sendiri. Seorang peramu obat yang tinggal di atas pegunungan Reen, kerajaan Naserin, sebut saja peramu yang tidak cukup terkenal. Siapa yang akan mengenalnya jika kesehariannya hanya mengobati hewan-hewan hutan yang terluka.

Mungkin jika beruntung, akan ada beberapa kalangan jelata yang mampir untuk meminta resep. Jelas, mereka tidak punya biaya untuk membeli yang lebih baik di pasar kerajaan. Dan sebagai pilihan tepat yang cukup menguntungkan ialah mengunjungi seorang pria tua di atas pegunungan Reen.

Kalau saja kakeknya tidak meminta cerutu baru, Cleo tentu tidak akan menginjakkan kaki di tempat ini. Kerajaan tidak pernah ramah terhadapnya bahkan jika dirinya masih bagian dari mereka. Namun, Cleo sudah cukup dewasa untuk tidak mengharapkan apapun, terlebih yang berbentuk pujian.

Dia hanya akan menginjakkan kaki di tempat ini bila memiliki keperluan; seperti hari ini misalnya. Lagipula beberapa pedagang yang kenal baik kakeknya bisa diajak kerja sama untuk tidak ikut mengejeknya.

Oh percayalah, orang-orang kakeknya cukup baik.

Begitu keluar dari area pasar, langkah kaki gadis itu bergegas menuju pegunungan Reen. Sebelum berhasil berdiri di kaki gunung, tentu dia harus melewati beberapa desa. Di penghujung kerajaan, para penduduk bekerja sebagai petani dan pekebun. Hasil panen tentu akan digunakan untuk membayar pajak dan sebagian dijual.

Kerajaan Naserin tidak besar, tetapi perekonomian penduduk terbilang makmur. Tempat ini jarang dilanda kekeringan seperti kebanyakan kerajaan lain atau mendapati masalah internal yang merugikan rakyat. Sejauh ini, Cleo memang tidak pernah mendengar isu-isu mengenai hal semacam itu.

Hanya saja, Cleo sadar ada sesuatu di istana kerajaan yang coba ditutupi oleh pihak berkuasa. Sejatinya bukan hanya gadis itu yang merasakan keganjilan tersebut ketika menyadari bahwa anggota kerajaan sama sekali tidak pernah terlihat. Tidak satupun dari mereka menampakkan diri hingga generasi ke enam; raja saat ini. Semua kendala dan urusan mengenai kerajaan ditangani oleh empat orang menteri.

Setidaknya, mereka berempat lah yang kerap tampil di luar. Kemungkinan hanya mereka pula lah yang pernah melihat wajah sang raja, ratu, dan bahkan pangeran.

Rasanya terlalu janggal.

Kendati demikian, tidak ada yang berani bertindak. Mereka pikir, selama kehidupan mereka cukup makmur, tidak perlu berbelit dan taati saja apa yang tidak seharusnya dilanggar.

**

Cleo menarik napas. Dari sini dia bisa melihat Mr. Rolleen sedang bergumul dengan seekor ayam. Ada makian keras yang pria tua itu koarkan begitu kotoran hewan dalam dekapannya berhasil bersarang di wajahnya. Mendadak dia melepaskan cekalannya hingga bahan utama sup hangatnya pagi ini berjaya melarikan diri.

"Oh, ayam sialan! Lihat saja, akan aku masak dirimu cepat atau lambat."

Cleo terkekeh sembari berjalan mendekat. Dia mengeluarkan cerutu yang baru saja dia dapatkan dari pasar. Tangannya terulur tepat di depan wajah pria tua itu sementara cerutu tergenggam di tangan. "Mr. Rolleen, aku sudah mendapatkan cerutumu." Mr. Rolleen mendongak. Tidak ada senyum di wajahnya ketika tangan keriputnya bergerak meraih benda panjang yang kerap terjepit di bibirnya.

"Lama sekali," cibirnya.

Cleo mengangkat bahu.

Langkah Cleo melamban untuk mengimbangi laju pelan Mr. Rolleen. Ngomong-ngomong, pria tua itu gencar memperkenalkan diri sebagai Mr. Rolleen. Dia tidak pernah ingin dipanggil kakek bahkan jika itu adalah Cleo, cucunya sendiri.

"Bagaimana keadaan kota, Cleo?" Gadis itu duduk di atas bangku kayu di belakang pondok. Bahunya kembali terangkat sedang wajah mencebik tak senang. Mr. Rolleen menghela napas menyaksikannya, pria tua itu tahu jelas keluhan cucunya. "Lalu bagaimana dengan Sameer? Obatnya sudah kamu berikan?" Mr. Rolleen tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Ya," Cleo menjawab seadanya. Gadis itu menarik tudung lebih turun hingga menutupi mata sementara Mr. Rolleen mengamati dalam diam. Tanpa Cleo sadari, kakeknya menghela napas.

Tahu-tahu Cleo terlonjak begitu Mr. Rolleen memukul bahunya dengan tongkat. Pria tua itu menggerutu ketika berkata, "Apa yang membuatmu murung, anak bodoh!" Tongkat kayunya terancung ke arah kota kerajaan di bawah gunung. "Jika ada yang mengejek rambutmu di sana, pukul saja pantatnya," makinya.

Mendadak seulas senyum terbit di wajah gadis itu. Dia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi bila tidak ada pria tua ini di sampingnya. Cleo pikir dirinya tidak akan bertahan. Mr. Rolleen terlalu tangguh untuk memberinya semangat bertahan hidup. Ketika semua orang mengejeknya terlahir tanpa ayah, kakeknya bersikeras untuk tetap di sisinya. Dan ketika semua orang menghakiminya karena ibunya meninggal, pria tua itulah yang merengkuhnya dalam kehangatan.

"Kakek—"

Cleo mengadu begitu tongkat kayu milik Mr. Rolleen bergerak dan menghantam bahunya sekali lagi. Pria tua itu berteriak keras, "Jangan panggil aku Kakek!"

Cleo terbahak alih-alih protes. Sembari mengelus bahu dengan senyum manis di bibir, dia membalas, "Ok, maaf." Bibir Mr. Rolleen mencebik jengkel, tetapi Cleo bertindak tidak peduli. Dia menarik tudungnya ke belakang hingga memperlihatkan seberapa merah rambutnya. Kemilaunya tampak mengagumkan begitu sinar surya menerpa dan menampakkan refleksi yang jelas. Merah darah.

"Aku akan senang jika hari ini kita bisa makan tumis jamur gunung yang bergizi."

Kontan wajah Mr. Rolleen bersinar penuh antusias. Berkilau umpama bohlam yang baru saja mendapat volt listrik. Dia gemar memasak. "Tentu saja," ujarnya didampingi senyum sumringah di bibir.

Sekoyong-koyong langkah kaki pria itu meninggalkan teras pondok. Diraihnya keranjang yang tergantung tidak jauh di tiang kayu penyangga atap. "Lihat," katanya sembari memiringkan keranjang agar mata Cleo dapat menjangkau isi di dalam sana, "ini adalah jamur yang baru saja aku dapatkan. Ngomong-ngomong para monyet membantuku mendapatkannya."

"Itu terdengar menyenangkan."

"Baiklah, kalau begitu aku akan ke dapur untuk memulai pengolahan." Cleo mengangguk. Bibir Mr. Rolleen mendadak mencebik begitu menyaksikan gadis itu mengacungkan jempol. Nyatanya, Cleo hanya bertindak demikian bila menginginkan sesuatu kepada, bahkan untuk hal-hal kecil seperti memasak.

Tetapi kemudian, sengatan kejut menyambangi Mr. Rolleen begitu satu pelukan hangat yang menenangkan merengkuhnya dari berkalang. Hendak berbalik, tetapi Cleo melarang dengan mengeratkan dekapan hingga pria tua itu memilih untuk diam. Cukup lama mereka berada dalam posisi itu sampai akhirnya bisikan kecil yang nyaris tidak terdengar di sisi kiri telinga, membuat Mr. Rolleen tersenyum namun dadanya sesak bukan main.

"Mr. Rolleen ku tersayang, terima kasih karena telah bersedia menerima gadis aneh berambut merah."

avataravatar
Next chapter