webnovel

Alasan Menikahimu

Seluit sinar hangat memaksa masuk melalui celah gorden yang sedikit tersibak. Menimpa wajah tidur Cleo yang terlelap kendati sang Surya telah meninggi di peraduannya. Sementara dari arah luar kamar, sosok Lucio datang dalam langkah tergesa dengan seember air di tangan. Dibukanya pintu jati yang memisahkannya dengan Cleo, lantas kakinya bergerak terburu mendekati ranjang. Dalam hitungan detik, air yang semula bersemayam di dalam ember mendadak berpindah ke arah wajah gadis itu.

Sekonyong-konyong Cleo berderap terbangun dengan wajah syok bercampur terkejut. Nyatanya, ini bukan kali pertama dia dibangunkan dengan cara gila seperti itu. Sudah kodratnya seorang Cleo yang kerasa kepala untuk sulit dibangunkan. Faktanya lagi, Lucio mungkin tidak ingin menghitung sudah berapa kali dirinya mencoba membangunkan gadis itu. Dimulai dari cara paling lembut dan sopan, hingga cara ekstrim yang tidak biasa. Namun tampaknya, Lucio baru teringat jika Cleo hanya bisa dibangunkan dengan guyuran air.

Cleo masih menganga tidak habis pikir ketika lucio bergerak menariknya turun dari ranjang. Kalimat protes yang belum tersusun sepenuhnya di kepala, tidak bisa lagi dia keluarkan dengan baik. Yang ada tubuhnya sudah dipaksa untuk memasuki bathtub yang telah terisi penuh dengan air. Tidak ketinggalan wewangian khas milik Lucio menyeruak keluar dan masuk menjejali hidung.

Apa-apaan ini?

Begitu Cleo berhasil mendapatkan kesadarannya kembali, maniknya sontak melotot tidak terima. Seketika dia bergerak cepat keluar dari bak air yang ditumpuki ribuan kelopak bunga di dalamnya. Mengerikan! pikirnya. Dia mungkin perempuan, namun Cleo tidak ingat pernah mandi kembang seberlebihan ini.

Ada-ada saja dengan pria itu.

"Mandi!" Lucio mengeraskan suaranya saat menyaksikan Cleo hendak meninggalkan bathtub. Tahu-tahu, kedua manik pria itu melotot ngeri saat berkata, "aku tidak ingin mengambil resiko kamu tertidur kembali. Satu-satunya cara membuatmu sadar sepenuhnya ialah mandi."

Cleo tertegun. Rasa-rasanya cara Lucio memperlakukannya hanya untuk mandi terlalu berlebihan. Mungkin Mr. Rolleen cukup kasar saat pria tua itu yang membangunkannya. Namun tidak sekasar yang dilakukan Lucio sekarang. Ini sangat berbeda. Benar-benar membuat Cleo tidak bisa berkata-kata.

Sesaat kemudian, Cleo menarik napas dengan wajah gusar. Dia mengusap wajah setelah mengambil beberapa air di dalam bak mandi, berikutnya beralih ke arah Lucio dengan seringaian lebar. "Baiklah, aku akan mandi, namun apakah kamu masih akan berdiri di situ dan melihatku membuka baju." Wajah Lucio mendadak memerah. Rahangnya kontan mengeras tanpa bisa dia sembunyikan. Tanpa mengatakan apapun lagi, pria itu akhirnya beranjak meninggalkan Cleo.

Sementara itu, Cleo terbahak keras meski sejatinya dia sendiri cukup gugup saat mengatakan kalimat tersebut. Bagaimana jika Lucio balas menjahilinya? pikirnya, namun beruntung sebab tampaknya Lucio sendiri adalah pria yang sedikit pemalu. Mungkin.

Sebelum benar-benar menutup pintu kamar mandi, Lucio berpesan kepada Cleo untuk segera bergegas mengingat dia telah memasak untuk makan siang.

Lihat, sekarang sudah waktunya makan siang. Ingatlah betapa siangnya Cleo bangun.

Belum lagi mereka masih harus meninggalkan rumah Lucio dan kembali ke pegunungan Reen. Kemungkinan, Mr. Rolleen sudah diselimuti perasaan khawatir mengingat mereka belum menampakkan batang hidung.

Berikutnya, Lucio sudah berderap meninggalkan kamar mandi setelah berhasil menutup pintu.

***

"Jadi, sekarang kita akan pulang?"

Cleo menghampiri Lucio yang sedang mengemas beberapa gandum yang tersedia di rumah itu untuk dibawa ke pegunungan Reen. Setelah melihat Lucio mengangguk tanpa bersuara, Cleo beralih mengamati keadaan rumah pria itu. Jelas, Cleo tidak berlebihan saat mengatakan bila rumah Lucio benar-benar mewah. Kamar yang dia gunakan sebelumnya ternyata berada di sayap barat bangunan, tepatnya di lantai dua.

Kemungkinan Cleo terlalu lelah untuk memperhatikan dengan detail, sehingga dia cukup terkejut saat menyadari bagaimana penampilan asli rumah ini. Begitu banyak barang antik dengan bentuk dan ukiran yang tidak biasa. Lantainya terbuat dari batu marmer dan jangan lupakan dinding kokoh yang menopang plafon-plafon bergaya kuno tetapi elegan.

Cleo bahkan tidak berkedip saat menyaksikan ukiran-ukiran serta lukisan hewan di atas langit-langit ruangan. Sungguh, tempat ini benar-benar megah dan mengagumkan.

Sampai kemudian, Cleo tanpa sengaja melayangkan sebuah kalimat yang membuat Lucio berhenti dari kegiatannya. "Lucio, apa kamu seorang bangsawan Naserin? Mengapa kamu memiliki rumah semegah ini? Hanya bangsawan kerajaan yang bisa mendapatkan tempat sebagus ini."

Cleo masih terpana tanpa tahu dan sadar bila Lucio kini menatapnya. Gadis itu terlalu terpanah menatap ukiran-ukiran di atas sana dan mengabaikan keberadaan Lucio.

Dan ketika merasa Lucio tidak mendengarkannya, Cleo berbalik hanya untuk memastikan. Namun dia justru terkejut saat mendapati tatapan dingin pria itu sudah terhunus ke arahnya. "Ah, maaf, apa aku salah bicara?" spontan Cleo berkata demikian.

Lucio diam sejenak. Butuh satu menit membuat Cleo keringat dingin setelah Lucio menatapnya dengan sorot datar, hingga pada akhirnya pria itu memilih mengakhirinya lalu menjawab dengan suara pelan. "Keluargaku bukan bangsawan. Kami hanya pedagang yang sering berkunjung ke beberapa kerajaan lain di luar Naserin." Lucio menunjuk ukiran yang sempat diamati Cleo dengan dagunya. "Ukiran dan lukisan itu dibuat oleh seorang pekerja bangunan dari luar kerajaan. Mereka sangat ahli."

Cleo terpanah. "Benarkah?" Gadis itu masih tidak habis pikir saat berkata, "apa ini berarti pekerjaan keluargamu berhasil sehingga membuatmu kaya?" tanyanya.

Lucio mengangguk tanpa basa basi. "Ya, katakanlah seperti itu."

Namun karena jawaban dan kenyataan itu, kening Cleo justru berkerut kebingungan. "Lalu jika kamu sudah sekaya ini, untuk apa kamu bekerja lagi dengan Mr. Rolleen? Kamu bahkan tinggal menikmati semua aset ini."

Mendengar hal itu, Lucio tidak lantas menjawab. Dia meneruskan memasukkan beberapa kebutuhan dapur yang dia ambil dari gudang penyimpanan. Dia membelakangi Cleo saat memilih berkata, "Karena aku ingin menikahimu. Untuk mewujudkan hal itu aku harus bekerja dan diawasi oleh Mr. Rolleen."

Seketika kedua pipi Cleo memerah. Cepat-cepat dia berbalik dan menepuk pipinya yang terasa ingin meledak saking panasnya. Dengan suara bergetar gugup, Cleo membalas cepat, "O ... omong kosong!"

Tetapi tanpa diduga Lucio justru terbahak. Sementara itu, Cleo mendadak berbalik dengan wajah terpana. Bagaimana dia tidak terpana bila menyaksikan Lucio tertawa untuk yang pertama kalinya. Ini sungguh sesuatu yang langka.

Tanpa sadar, Cleo bergumam, "Ternyata kamu bisa juga tertawa sambil bercanda."

Lucio masih tertawa kecil saat membalas, "Memang kamu pikir aku ini apa sampai tidak bisa tertawa."

Bibir Cleo mencebik. "Itu karena selama ini kamu sangat menyebalkan. Bahkan tersenyum saja tidak pernah."

Lucio menarik napas lalu menatap Cleo dengan sorot tenang. "Terserah," balasnya. "Aku juga perlu meluruskan bahwa jangan salah paham dengan apa yang aku katakan sebelumnya. Sejujurnya aku datang ke pondok obat dan menjadi murid Mr. Rolleen adalah untuk menjalankan wasiat terakhir Ayah dan Ibuku sebelum mereka meninggal, karena perampokan besar saat hendak pulang ke Naserin." Cleo terkesiap saat mendengar hal itu. Namun di sisi lain, Cleo juga merasa salut ketika melihat Lucio mengatakan penyebab kematian orang tuanya setenang itu.

"Lalu apa hubungannya denganku?"

Lucio membuang napas. Dia tidak menjawab dengan cepat, sebaliknya pria itu bergerak kembali melakukan pekerjaannya.

"Itu hanya syarat agar aku bisa menjadi murid Mr. Rolleen," kata Lucio.

Cleo terperangah. "Syarat?"

Lucio mengangguk. Kali ini semua barang yang hendak mereka bawa ke pegunungan Reen sudah berhasil dipindahkan ke dalam karung. Lucio lalu menatap Cleo dengan sorot dalam. "Benar, syarat agar aku bisa menjadi murid Mr. Rolleen adalah aku harus menikahi cucunya, dan itu adalah kamu."

Hah?!

Cleo benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa Mr. Rolleen melakukan hal ini kepadanya. Terlebih, bagaimana mungkin Lucio mau menerima syarat mengerikan semacam itu.

Dengan raut tersiksa, Cleo bertanya keras, "Lalu kamu sendiri, mengapa kamu mau-mau saja menyetujui hal konyol itu?!"

"Karena aku tidak punya pilihan. Lagipula, aku sudah berjanji akan melakukan apapun untuk membuat wasiat terakhir itu terwujud."

Cleo terlihat gusar. "Bahkan jika kamu tidak menyukaiku?"

"Ya, bahkan jika aku tidak menyukaimu," terangnya. "Aku tetap akan menikahimu." Cleo melebarkan mata detik itu juga. Sungguh, dia sangat ingin memaki sekarang.

Namun gadis itu justru terdiam beku, sementara tubuhnya tidak bisa bergerak saat mendengar kalimat terakhir Lucio yang berhasil menembus dinding pendengarannya.

"Lagipula, perasaan bisa muncul kapan saja. Mungkin suatu saat aku bisa menyukaimu, Cleo."

Selebihnya, Cleo sudah terperangah. Dia tidak berkutik dan hanya bisa melebarkan mulut di depan Lucio.

Apa-apaan semua ini?!

Next chapter