1 The Fool

(kriiinggg....)

Bel masuk kelas berbunyi.

Aaron, murid SMA berperawakan kurus dengan rambut ikal itu terburu-buru untuk kembali ke kelasnya.

" Sial! Mana habis ini waktunya Pak Ruben. Jangan sampai aku buat Lissa kecewa!" Sambil lari terbirit-birit membawa makanan yang belum habis.

Untungnya dia belum terlambat, belum ada Pak Ruben di kelas. Dengan nafas terengah-engah dia menghampiri bangkunya. Tidak lama kemudian, Guru yang ditakuti itu datang. Membuka pintu perlahan dan melangkah masuk.

"Eh, bukan Pak Ruben?" Aaron bingung.

"Yo! Selamat siang semua! Besok kita ada kunjungan ke luar kota. Perkelas dibagi menjadi 15 kelompok, yang berarti satu kelompok berisi dua orang."

"Maaf, pak. Tapi sekarang bukannya waktunya Pak Ruben?" Tanya Aaron.

"Oh, iya. Hari ini Pak Ruben tidak hadir karena beliau sedang ada urusan." Jawab Pak Bernard. Dia adalah Wali kelas B-3, kelasnya Aaron. Berperawakan kekar tapi sangat ramah.

"Baiklah, sekarang kita undi kelompoknya." Perkataan Pak Bernard membuat seisi kelas kaget. Ada yang berharap satu kelompok dengan teman dekatnya, beberapa ingin satu kelompok dengan orang yang disukainya, termasuk Aaron.

"Semoga aku sama Lissa, pliss..." gumam Aaron. Dia memang menyukai Lissa sejak awal masuk sekolah.

"Kita mulai undiannya. Dimulai dari nomor absen pertama. Silahkan ambil nomor di kotak hitam ini."

Aaron pun maju, karena memang dia absen pertama. Cukup lama dia mengaduk-aduk isi kotak sambil berdo'a sampai Pak Bernard menegurnya agar lebih cepat. Dia mengambil nomor yang dilipat dalam kertas dan kembali ke bangkunya.

"Selanjutnya."

Sampai tiba saatnya Lissa maju, Aaron makin berdebar-debar.

"Semoga dia ambil nomor yang sama denganku, ayo kumohooonnnn....~"

Setelah pengambilan nomor selesai, sekarang waktunya untuk membuka nomor yang diambil masing-masing murid.

"Oke, sekarang kalian buka kertas nomor kalian dan tunjukkan keatas."

Momen yang ditunggu telah tiba, para murid membuka nomor mereka dan menunjukkannya dengan angkat tangan. Ada yang senang karena satu kelompok dengan teman dekatnya, ada yang kesal karena berkelompok dengan si pembuat gaduh. Seketika kelas jadi seperti pasar.

Aaron, dia tertegun, antara senang dan tidak percaya, perlahan dia melihat kertas yang dibawa Lissa bernomor sama dengan yang dibawanya. Keinginannya terkabul, dia berkelompok dengan perempuan idamannya. Dia pun makin yakin untuk menyatakan perasannya kepada Lissa besok.

(tap.. tap.. tap..)

Seseorang tiba-tiba masuk kelas, dan menaruh barang bawaannya di meja guru.

"Selamat siang, anak-anak. mari kita mulai pelajaran hari ini."

"EEEEHHH!!! PAK RUBEEEEEEEENNN!!!" Sontak sekelas berteriak karena kedatangan Pak Ruben.

Pak Bernard meninggalkan kelas, dan mengizinkan Pak Ruben untuk memulai kelasnya.

Bel pulang sekolah berbunyi, semua murid meninggalkan kelas dan pulang, sementara itu Aaron dan James, temannya, ngobrol di jalan menuju rumah.

"Eh, James, Kau tahu? Aku satu kelompok sama Lissa! Besok akan menjadi hari terbaik selama hidupku ini." Aaron terlihat senang sambil membayangkan apa yang terjadi besok.

"Kalau begitu besok kamu punya kesempatan untuk nembak Lissa. Jangan sampai kamu menyia-nyiakan kesempatanmu besok. Kau tahu, dia hampir tidak punya waktu senggang di kelas karena klubnya. Jadi besok adalah satu-satunya kesempatanmu!" Kata James.

"Iya, iya aku tahu..."

Dia terlihat sangat tidak sabar menunggu hari besok. Hari sudah mulai malam, mereka berpisah di persimpangan. Tetapi tiba-tiba..

( DAARRR!!! )

Sebuah suara ledakan terdengar cukup keras. Asal suara itu terdengar tidak jauh dari persimpangan tempat Aaron berada.

"Suara apa itu?!"

Aaron kaget sekaligus bingung. Agak lama terdiam, Aaron pun mulai sadar asal suara itu berada di sekitar tempat tinggalnya, dia berlari sekuat tenaga untuk memastikan apa yang terjadi.

Sesampainya dia tempat kejadian dia melihat beberapa rumah sudah hancur, termasuk rumahnya. Dia kembali berlari sambil sempoyongan karena lelah.

"A- Ada apa ini..?" Suaranya sangat lirih karena tidak percaya dengan apa yang dilihat.

Dia lalu masuk ke rumah dan berharap kedua orang tuanya selamat. Kini rumahnya sudah tinggal puing-puing. Dia berjalan masuk ke ruang tamu dan melihat ada seseorang yang tertimpa reruntuhan. Diangkatnya reruntuhan itu dan dia melihat kedua orang tuanya yang sudah tidak bernyawa dengan posisi ayahnya yang mendekap ibu Aaron. Mungkin untuk bermaksud melindunginya karena tidak sempat untuk kabur.

Dia terdiam dan menangisi kedua orang tuanya.

Tak lama kemudian, terdengar suara seseorang mendekat.

"Hooo, ternyata ada yang selamat ya?" Seorang pria berjubah putih dengan garis hijau pada bagian jahitan tanpa tudung kepala datang menghampirinya. Orang itu bernama Daniel. Dia melihat Aaron yang menangisi kedua orang tuanya yang tewas.

"Itu orang tuamu? Maaf, aku tidak sengaja membunuhnya." kata Daniel sambil tersenyum dan menunjuk kearah orang tua Aaron.

"Apa katamu? Tidak sengaja?!" Aaron menoleh kearah Daniel dengan tatapan marah.

"Sebagai permintaan maaf ku, aku akan membunuhmu agar kau bisa bersama dengan mereka lagi."

Dia memanggil sesosok monster dari dalam tubuhnya. Bertubuh tinggi dengan kepala menyerupai helm dengan armor futuristik warna putih yang juga bergaris hijau dan membawa senjata berupa pedang. Monster itu berdiri melayang dibelakangnya.

"Perkenalkan, namanya Sonicwave. Dia yang akan membunuhmu."

Aaron tetap berdiri menatap tajam Daniel tak bergerak walaupun dia akan dibunuh. Hujan mulai turun membasahi puing-puing dan menghilangkan debu-debu yang berterbangan. Seketika itu, air hujan menyamarkan kesedihan Aaron. Dia membuang tasnya lalu menghampiri si penghancur dengan berjalan perlahan, semakin cepat, dan berlari sambil berteriak. Kakinya yang sudah lemas membuat terseok-seok saat berlari. Dia mengepalkan tangannya dan memukul Daniel. Tetapi Sonicwave menghalau dengan pedangnya dan melemparkan Aaron hingga menambrak reruntuhan rumah dan puing-puing menimpanya.

"Kau jangan sok melawanku, bocah! Kau tidak punya kekuatan seperti yang kumiliki." Ujar Daniel berteriak dan tertawa dengan sombongnya.

Ketika dia beranjak pergi, sebuah cahaya berwarna hijau bersinar dari reruntuhan tempat Aaron berada. Sinarnya tidak begitu terang tapi masih terlihat.

"A-Apa itu?" Daniel menoleh kearah datangnya sinar dan terdiam.

Tak begitu lama, ledakan terjadi dari tempat asal sinar itu. Asap tebal memenuhi area sekitar walaupun hujan yang semakin deras. Daniel memperhatikan ada seseorang yang berdiri sedikit membungkuk dari dalam asap tersebut. Sebelum siluet itu terlihat jelas, dia memerintahkan Sonicwave untuk melemparkan pedangnya dengan maksud menusuk orang itu. Tetapi pedang itu lenyap oleh asap bersama siluet yang dia lihat. Daniel tidak tahu apa yang terjadi dan tetap memperhatikan asap itu. Tak terduga, seseorang muncul dari asap dengan lompatannya dan membawa pedang milik Sonicwave dan langsung menghujamkan pedang itu tepat di dada Sonicwave.

"Ti-ti-tidak mungkin! Bagaimana bisa kau-" Daniel bingung dan ketakutan karena monsternya hampir dibunuh.

Ternyata dia adalah Aaron. Tanpa sepatah kata, dia langsung menyerap Sonicwave kedalam tubuhnya melalui pedang yang ditusukkannya. Mata dan tubuhnya bersinar hijau menerangi malam itu dan kemudian meredup setelah seluruh kekuatan Sonicwave berhasil diserapnya. Seketika itu juga, Daniel mati.

Aaron dengan bajunya yang sudah rusak karena ledakan itu berdiri di hadapan tubuh Daniel yang sudah tak bernyawa. Tatapannya memperlihatkan kebenciannya yang dalam dengan orang itu. Hujan semakin deras, dia mulai kehilangan kesadaran dan pingsan.

Dengan kondisinya yang seperti ini, hari terbaik itu takkan terjadi.

avataravatar
Next chapter