webnovel

Terlahir Kembali Dalam Raga Yang Berbeda

<p>Angin di akhir musim gugur mulai membawa hawa musim dingin, meski salju belum turun. Dalam cuaca seperti ini orang-orang enggan untuk turun ke jalanan untuk beraktifitas. Mereka lebih memilih untuk berdiam diri di kediaman masing-masing. Tak urung ini membuat jalanan di ibukota tak seramai biasanya.<br/><br/>Begitupun di sebuah wisma di pinggiran pusat ibukota. Suasana masih sepi tanpa banyak kesibukan. Hanya sesekali pelayan terlihat membersihkan halaman. Namun, hanya sesaat dan mereka pun kembali masuk ke halaman masing-masing.<br/><br/>Paviliun Lonceng Salju, nama wisma yang terletak di pinggiran ibukota. Sebuah wisma yang cukup terkenal di kalangan para pengelana.<br/><br/>Terletak di daerah pedesaan yang masih terjangkau dari keramaian ibukota, membuat wisma ini menjadi pilihan tepat bagi orang-orang yang harus bepergian keluar masuk ibukota, atau pun sekadar melepaskan penat sejenak.<br/><br/>Di salah satu halaman wisma, di sudut terdalam yang jarang dikunjungi para tamu, seorang gadis terduduk di tepi tempat tidur kebingungan. Gadis berusia sekitar 14 tahun itu menatap kosong cermin di depannya. Dia menatap cermin berlama-lama tanpa berkedip. <br/><br/>Dengan tangan gemetar disentuhnya wajahnya dengan pelan. Bibirnya bergetar, tetapi tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulutnya.<br/><br/>"Siapa aku? Ini bukan wajahku meski agak mirip," gumamnya dalam hati.<br/><br/>"Aku Wang Bao Yu, putri shu Jenderal Wang."<br/><br/>"Siapa yang bayangannya terpantul di cermin?"<br/><br/>"Itu aku juga, Mu Bao Yu. Putri Lady Mu dari Paviliun Lonceng Salju."<br/><br/>Suara-suara itu silih berganti bergema di kepalanya. Membuat kepalanya pening, berputar bak gasing.<br/><br/>"Argh!" Gadis itu berteriak kencang dan melemparkan cermin. Tubuhnya limbung dan ambruk kembali di atas tempat tidur beralas kasur empuk.<br/><br/>Suara-suara yang ditimbulkannya membuat beberapa pelayan berlarian ke kamarnya. Mereka panik mendengar teriakan gadis itu.<br/><br/>"Xiaojie! Xiaojie!" Seorang gadis pelayan mengguncang tubuhnya pelan.<br/><br/>Tapi sepertinya gadis itu pingsan. Dia sama sekali tidak bergeming.<br/><br/>"Panggil tabib dan Lady Mu!" Pelayan yang lain segera bertindak cepat dengan meminta rekannya untuk memanggil tabib.<br/><br/>Pelayan yang sedari tadi berdiri kebingungan segera berlari keluar kamar menuju halaman utama. Dia harus segera memberitahukan kondisi Nona Muda Mu kepada sang ibu, Lady Mu, atau mereka semua akan terkena masalah.<br/><br/>Sementara itu pelayan yang lain segera mengangkat tubuh sang Nona Muda ke atas tempat tidurnya dan menyelimutinya dengan baik-baik. <br/><br/>Sudah hampir satu minggu, nona muda mereka, Mu Bao Yu sakit parah. Panas mendera tubuh mungilnya. Tabib yang dipanggil sang Lady, telah memberinya obat tetapi kondisinya tidak kunjung membaik.<br/><br/>Mu Bao Yu, baru berusia 14 tahun dan merupakan putri tunggal Lady Mu, pemilik Paviliun Lonceng Salju. Suatu kebetulan memiliki kesamaan nama dengan Wang Bao Yu, putri shu Jenderal Wang. Bahkan usia mereka pun sama.<br/><br/>Sepertinya takdir telah membuat jiwa kedua gadis ini bertemu. Wang Bao Yu yang menjemput kematiannya dengan menentang api dan Mu Bao Yu yang berada di ambang hidup dan mati, kini tengah berada dalam batas tipis kesadaran mereka.<br/><br/>Entah berapa lama Wang Bao Yu tidak sadar dalam pingsannya. Dia merasa berada di suatu tempat tanpa dimensi. Jiwanya bersama jiwa seorang gadis lain serasa melayang-layang. Entah mereka berada di mana dan atas kehendak siapa, dua gadis itu dipertemukan takdir tanpa mereka memahami semua yang telah terjadi. <br/><br/>Saat membuka mata, Wang Bao Yu mencoba mengamati sekelilingnya. Kepalanya masih terasa berat membuatnya enggan untuk bangun dari tidurnya.<br/><br/>Dia terbaring di atas sebuah ranjang kang yang hangat, di dalam sebuah kamar yang dipenuhi aroma lembut dupa harum. Sangat nyaman dan juga menyenangkan. Hampir mirip dengan kamarnya di manor Jenderal Wang.<br/><br/>Di seberang kiri tempat tidur ada sebuah jendela yang cukup lebar. Sinar lembut matahari sore menelusup melalui tirai-tirai yang tertiup angin musim gugur.<br/><br/>Di sebelah tempat tidurnya, nampak sebuah cermin bulat yang tergantung di dinding dan sebuah kursi beralas bantal empuk melengkapinya. Seseorang duduk di kursi itu dengan menundukkan kepalanya. Seorang wanita dengan hanfu berwarna ungu muda dengan bordiran bunga lonceng salju menghiasi ujungnya. <br/><br/>Bao Yu tidak bisa memastikan, siapa, berapa umurnya dan apa yang tengah dilakukan wanita itu di kamarnya. Wajah wanita itu tertutup tangan yang menyangga kepalanya. Bao Yu yakin wanita itu ketiduran karena lelah menjaganya.<br/><br/>"Air…." gumam Bao Yu lirih.<br/><br/>Tenggorokannya terasa kering. Badannya terlalu lemah untuk bergerak. Kepalanya pun masih belum memungkinkannya untuk bangun dari tempat tidurnya.<br/><br/>Wanita yang tengah duduk di sebelah tempat tidurnya membuka matanya saat Bao Yu mulai menggumam tidak jelas. Wanita itu terkejut dan segera bangun dan berpindah duduk di tepian ranjang kang.<br/><br/>"Bao Yu, kau sudah sadar? Apa yang kau butuhkan sayang?" Wanita itu menyentuh dahi Bao Yu dan menepuk-nepuk pipinya dengan lembut.<br/><br/>Cemas bercampur lega tergambar di raut wajahnya yang cantik. Wang Bao Yu tertegun menatap wanita yang kini wajahnya terlihat jelas di depan matanya.<br/><br/>Wang Bao Yu menatap wanita itu tak berkedip. Wajah yang tidak asing lagi baginya. Wajah yang selalu dirindukannya meski 9 tahun telah berlalu saat terakhir dia menatap wajah teduh nan lembut itu.<br/><br/>"Niang…." Wang Bao Yu berucap lirih sambil mulai terisak-isak menangis.<br/><br/>"Sayangku, jangan menangis lagi. Ibu di sini, kau tidak perlu khawatir lagi." Wanita itu membantunya bersandar dengan bantuan bantal yang ditumpuknya untuk sandaran punggung dan kepalanya.<br/><br/>"Kau pasti haus. Ibu akan mengambil air untukmu." Wanita itu bangkit hendak mengambil air minum yang ada di atas meja.<br/><br/>Tapi Wang Bao Yu menahannya. Digenggamnya tangan halus wanita cantik itu erat-erat.<br/><br/>"Niang jangan tinggalkan aku!" Bisiknya lirih.<br/><br/>Wanita itu tersenyum dan kembali duduk di tepian ranjang kang. <br/><br/>"Baiklah. Ibu tetap di sini menemanimu." Wanita itu merapikan selimut yang sedikit tersingkap dan kemudian menarik sebuah lonceng yang tergantung di tiang ranjang di bagian ujung kepala.<br/><br/>Beberapa saat seorang pelayan datang dan memasuki ruangan. Dia memberi hormat pada wanita cantik itu dengan gaya yang anggun dan sopan.<br/><br/>"Pergilah ke dapur. Mintalah pada Paman Chou untuk menyiapkan bubur dan sup sarang burung serta teh seruni untuk Xiaojie!" Wanita cantik itu memerintahkan dengan lembut namun tegas.<br/><br/>"Baik Nyonya!" Gadis pelayan itu kembali membungkuk hormat dan pergi untuk melaksanakan perintah wanita cantik itu.<br/><br/>"Niang apa yang terjadi?" Bisik Wang Bao Yu lemah.<br/><br/>Dia masih bingung dengan situasinya saat ini. Suara-suara yang berdengung di kepalanya telah menghilang, berganti dengan kilasan ingatan-ingatan yang bercampur aduk.<br/><br/>"Kau sakit panas selama hampir satu minggu. Tiga hari ini suhu badanmu tidak mau turun. Tabib telah memberikan obat dan akupuntur tapi baru hari ini kau sadar." Wanita cantik itu menjelaskan.<br/><br/>Bao Yu hanya menganggukkan kepalanya. Dia mulai memahami sedikit, setidaknya dia tahu pemilik asli raga yang kini menjadi raganya, bernama sama dan seusia dengannya. Dan dia sakit parah selama hampir satu minggu tanpa ada yang menyadari gadis itu telah tiada dan kini ada jiwa gadis lain yang berada di raganya.<br/><br/>"Syukurlah sekarang kau sudah sehat." Wanita cantik yang semestinya ibu dari Mu Bao Yu, pemilik asli raga yang dihuninya, tersenyum cerah.<br/><br/>Bao Yu kembali menganggukkan kepalanya. Dia tidak tahu harus berbicara apa dengan wanita cantik itu. Canggung dan juga bingung meliputi benaknya.<br/><br/>"Nyonya, silakan bubur dan tehnya!" Gadis pelayan tadi kembali membawa nampan berisi bubur dan teh.<br/><br/>"Kemarikan. Aku akan menyuapinya. Kau berjagalah di depan pintu!" Perintahnya lagi masih dengan nada tegas tetapi lembut seperti tadi.<br/><br/>"Bao Yu, makanlah!" Wanita itu mulai menyuapinya dengan telaten.<br/><br/>Wang Bao Yu menurut dan membuka mulutnya. Tanpa terasa matanya berkaca-kaca. Sudah lama sekali sejak terakhir dia disuapi oleh ibu kandungnya.<br/><br/>"Takdir, permainan apakah ini? Nama, usia bahkan ibu dengan raut wajah yang sama antara aku dan Mu Bao Yu? Apa yang hendak kau jalin dengan semua kesamaan ini, hai takdir?" gumamnya dalam hati.<br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/></p>