1 Prolog

Orang tuaku bercerai setahun yang lalu, karena ayahku memenangkan hak asuh anak jadi aku tinggal bersamanya dan berpisah dengan ibuku.

Aku selalu menjadi anak yang tidak diinginkan, bahkan ketika keluargaku masih utuh. Orang tuaku selalu saja bertengkar mempermasalahkan biaya hidup yang makin mencekik setiap harinya.

Aku dianggap beban oleh ayahku, dan sampah oleh ibuku.

Namun, bukan berarti aku sepenuhnya membenci mereka. Aku berusaha untuk menghidupi diriku dengan bekerja sampingan saat tahu mereka enggan membiayaiku ataupun sekolahku. Harapanku yang lain adalah membantu keluarga retak ini.

Hari-hariku jadi semakin buruk ketika ayah menikah dengan wanita kaya raya pemilik perusahaan minyak di dubai itu. Mereka sama-sama menginginkanku angkat kaki dari rumah.

Kebencian ayah tak lain disebabkan oleh diriku yang berwajah sama persis dengan ibuku. Sementara ibuku membenciku karena aku adalah putra ayahku. Dalam kata lain, mereka membenciku karena aku darah daging mereka.

Puncaknya, adalah saat ayah dan istri barunya menendangku dari rumah. Wanita jalang itu berlagak seperti nyonya besar di papan yang semestinya juga menjadi tempatku bernaung.

Sekarang, disinilah aku. Sendiri di tengah jalan tanpa arah dan tujuan, mungkin pergi ke rumah seorang teman bisa menjadi tempatku berlabuh selanjutnya. Kemudian menginap disana sementara waktu. Tapi sampai kapan? Aku tidak memiliki kawan dekat.

Aku orang yang tahu diri, cepat atau lambat mereka pasti menuntutku melakukan sesuatu untuk mereka. Sebelum mereka bertindak kejam aku harus pergi dari sana.

Lalu apa? Langkahku selanjutnya apakah hanya seperti itu?

Memalukan. Aku tidak akan menjual diriku hanya demi tempat tinggal. Mungkin aku bisa bekerja di restoran cepat saji dan meminta izin tinggal disana.

Ya, kukira seperti itu saja. Hidup mengembara sebagai seorang tunawisma, sambil berharap bisa mendapatkan tempat layak untuk tidur suatu saat nanti.

Ah, lupakan saja. Kukira angan itu terlalu jauh kuwujudkan, bahkan sekarang datang ke rumah teman pun mustahil kulakukan.

Siapa yang mau menerima gadis penyendiri ini di rumah mereka? Tidak seorang pun akrab denganku di kelas. Biarpun mereka menerimaku, mereka tidak akan ikhlas.

Hidup memang tidak pernah adil bagiku, sekali pun tak pernah. Aku bekerja siang dan malam mengharapkan upah yang tak seberapa, lalu pulang untuk dimarahi dan jadi sasaran pelampiasan amarah orang tuaku yang tidak pernah berhenti berdebat.

Aku muak, muak, muka dan muak!

Di sekolah aku bukan termasuk anak yang pintar, ditambah lagi masalah yang mengelilingiku membuat nilaiku anjlok dua semester terakhir. Terlebih, suasana di kelas yang serasa sunyi karena anak-anak lain mengucilkanku membuatku jengah dengan sekolah.

Rasanya lebih baik mati saja, tetapi aku segan untuk melakukan itu.

Aku sudah melakukan sebisaku, tetapi kenapa aku tidak mendapat hasil yang sepadan? Setiap malam aku selalu berdoa agar dunia di sekitarku menjadi lebih baik, tetapi kukira langit tak mendengar rintihan batinku.

Apa aku perlu melihat ke dalam diriku sendiri untuk menemukan sesuatu yang salah dalam diriku? Apa karena aku mengutuk langit takdir buruk jadi menaungiku? Jika begitu, maka kenapa sejak lahir keluargaku selalu membenciku? Apa bayi sudah bisa lancang kepada Tuhan hingga ia memberiku cobaan?

Apakah ini salahku aku tidak bisa memiliki keluarga yang bahagia? Apa ini salahku telah berusaha sebaik mungkin untuk mandiri dan tak bergantung pada orang lain?

Kenapa aku menjadi bahan pelampiasan setiap kali ayah dan ibu bertengkar? Apa mereka hanya melihatku sebagai samsak daging yang lahir ke dunia hanya untuk dihina dan dipukuli?

"Hei, nona."

Suaranya seperti Daichi–sensei yang sering mengomel di depan kelas saat jam belajar. Saat kutengok, aku melihat pria berambut pirang itu tengah mendatangiku dengan tatapan mencurigakan. Pakaiannya tampak seperti seorang berandalan.

Biar kutebak, dia pasti berpikir untuk melakukan sesuatu pada gadis malang tanpa rumah yang kelihatan tak berdaya ini. Toh, aku sasaran empuk. Buat apa menahan diri?

"Kau kelihatan bingung, nona. Dan dengan pakaian piyama itu ... apa kau kabur dari rumah?"

Aku menyentak, "Bukan urusanmu!"

Itu mengagetkannya, memberiku sedikit waktu untuk menjauh. Namun, dia rupanya lebih agresif dari yang kuduga dan langsung mengejarku.

"Hei, ayolah Nona. Kau tampak sedang banyak masalah? Kalau mau bicara aku bisa temani. Kau tahu, gadis manis sepertimu bisa jadi sasaran banyak orang, lho."

Urgh, apa-apaan nada bicaranya itu? Seperti menggodaku saja.

"Maaf, tapi tolong tinggalkan aku!" Aku memacu langkahku.

Pria itu masih bersikeras membujukku. "Nona, nona. Dengarkan aku lebih dulu. Aku bisa memberimu tempat bernaung kalau kau mau. Kau pasti diusir kan? Kenapa tidak menerima penawaran baik hati ini dariku?"

Asumsinya datang dari mana? Meski tepat, tapi bukan berarti aku menerima simpatinya tersebut. Aku terus melangkah tanpa peduli pada pria itu.

"Eitss, Nona. Kumohon, terima lah sikap baikku ini." Dia menghalangi langkahku, mengagetkanku karena lajunya begitu cepat.

"Maaf, Tuan. Aku tidak menginginkan apapun yang kau tawarkan, terima kasih sudah berbaik hati. Jadi, aku mohon tolong tinggalkan aku."

Dia mendecih, sedikit muak karena aku terus menolaknya. Saat aku hendak memutari pria itu tiba-tiba dia mencengkram tanganku. Aku kaget bukan main, pria itu benar-benar bernafsu memburuku!

"Nona manis, jangan begitu pada lelaki yang baik hati ini. Kau bisa tinggal selama yang kau mau di rumahku, tapi dengan satu syarat ... " Dia berbisik, "Lakukan semua yang kuinginkan."

Urgh, mulutnya bau alkohol.

Mataku menyalang saat tiba-tiba tangannya meraba bagian belakangku. Reflekku pun muncul dan dahiku kuhantamkan ke wajah pria itu.

Dia mengerang memegangi hidungnya yang kemungkinan patah. Segera saja aku berlari meninggalkannya yang berdarah-darah itu.

"Jalang! Kemari kau!"

Melihatnya berlari mengejarku, langkahku semakin cepat menapak trotoar berusaha kabur darinya. Keadaan jalan yang sepi membuatku tidak bisa meminta tolong pada siapapun, percuma saja aku menjerit hingga mengeringkan kerongkonganku.

Secara tak sadar aku berlari begitu kencang hingga tiba di sebuah perempatan jalan yang sedikit ramai oleh pejalan kaki. Aku bisa bernafas lega sejenak disini, rasanya aku sekarang aman dari kejaran berandalan itu.

"Disini kau rupanya!"

Memecah ekspektasiku hanya dalam beberapa detik, berandalan itu rupanya telah ada di antara kerumunan dan meraih tanganku dari belakang.

"Tolong!" teriakku membuat beberapa orang sadar aku dalam bahaya.

Namun, pria itu tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancam semua yang ada di sekitarnya. Jika ada satu pun yang mendekat, maka dia akan menusuk orang itu!

Aku panik, dipacu adrenalin dan kecemasan aku menggigit tangan pria itu. Dia mengerang sekali lagi memegangi tangannya dan melepaskanku.

"Bajingan kecil! Kemari kau gadis jalang!"

Aku yang panik bukan main menerobos lampu merah di saat banyak kendaraan tengah lalu lalang.

Beberapa mobil membanting stir untuk menghindariku, namun salah satu diantara mereka malah mengarah ke arah trotoar dan menghantam pria berandalan yang mengejarku.

Teriakannya membuatku menoleh, aku merasa bersyukur dia mati sekarang. Aku bebas dari kejarannya. Hahaha! Senangnya!

Namun ...

"Awas!" pekik sopir itu bersama seruan klakson yang dia bunyikan.

Aku tak menyadari ada sebuah truk tronton melaju ke arahku. Aku terlalu sibuk berbahagia karena kematian pria itu dan melupakan nyawaku sendiri di ujung tanduk.

Truk itu menabrakku begitu saja, melindas bagian bawah tubuhku dan membuat isi perutku terburai bak spageti jatuh dari piring.

Aku tergilas diantara roda dan aspal. Mati mengenaskan setelah diusir dan menjadi sasaran pelecehan.

avataravatar
Next chapter