webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 47 "Pertarungan di Dalam Kegelapan"

Kedua mataku terpaut pada dua cahaya yang bersinar di dalam kegelapan. Sebagian otakku sudah mengirimkan perintah pada tubuh ini untuk segera pergi. Namun sebagian lagi penasaran dengan apa yang ada di balik celah dinding yang menjulang tinggi.

Rasa ngeri kian menyelubungi sekujur badan dan membuatku benar-benar mati langkah. Keringat dingin mulai mengucur deras tatkala indera pendengaranku menangkap suara geraman dari dalam celah. Aku ingin pergi dari sini, namun kedua kakiku seolah dipaku oleh rasa takut sehingga tak bisa melarikan diri. Begitu juga Dimas, lelaki itu sama takutnya denganku. Baru kali ini kulihat tangannya bergemetar seperti ini. Padahal biasanya ia tidak gentar menghadapi siapapun, meski lawannya adalah tentara Elvian.

Kupaksa membebaskan diriku dari kungkungan alam bawah sadar, mencoba menggerakkan kaki sedikit demi sedikit.

"Dimas! Dimas!" pekikku dengan lantang, tapi pria itu tak menggubrisnya. Tanganku meraih bahu Dimas lalu menggoyangkan badannya keras-keras untuk menyadarkannya.

"Eh, apa?" sahutnya yang tampak kebingungan, terlihat jelas sekali bila ia terlalu terpaku pada sosok sehingga mengabaikan yang lain.

"Ayo kita segera pergi dari sini!"

Pria itu terdiam sejenak, masih belum mencerna ucapanku. Pikirannya jauh entah di mana.

"Apa lagi yang kau tunggu!?" teriakanku membuka matanya dengan jelas. Kini ia menyadari situasi genting yang saat ini terjadi.

Aku dan Dimas berlari-lari kecil melintasi dataran luas yang membentang. Kami bergegas menuju pintu masuk yang terletak di ujung ruangan. Jujur saja, aku tak berani untuk menoleh ke belakang. Sebisa mungkin kuarahkan pandangan ke lorong kecil tempat kami masuk. Entah mengapa kakiku terasa berat, waktu yang berjalan seolah diperlambat. Tujuan kami yang ada di depan mata seolah berjarak ribuan meter jauhnya.

*DRRRR!

Sesaat kemudian bulu kudukku berdiri, tulang punggungku terasa kaku. Aku masih belum berani menoleh ke belakang, tapi aku yakin telingaku tidak salah. Suara gemuruh dinding bergema ke seluruh penjuru ruangan, diiringi oleh bunyi bebatuan yang runtuh ke bawah menghantam tanah di bawahnya.

Mendadak dataran tempatku berpijak bergoyang sesaat, membuat langkahku terantuk dan nyaris jatuh jika saja Dimas tak memegangku.

"Terima kasih," ucapku dalam posisi setengah berlutut.

"Simpan itu saat kita berhasil keluar dari sini!" Dimas menarik badanku berdiri, kemudian menggenggam tanganku sembari berlari ke arah pintu.

Gemuruh yang tiada henti membuat langit-langit di atas kami runtuh. Bebatuan dan tanah mulai berjatuhan dan menghambat rute pelarian kami. Dimas dan aku harus sering-sering mendongak ke atas guna menghindari reruntuhan. Debu dan kerikil berjatuhan ke atas kepala kami. Membuatku harus menutup mata dan hidung agar partikel debu tidak masuk ke dalam tubuh kami berdua.

Kendati demikian, aku dan Dimas berusaha untuk terus maju. Yang ada di pikiranku saat ini adalah pergi dari sini secepatnya. Setelah bersusah-payah memangkas jarak sembari menghindari reruntuhan, akhirnya pintu masuk terpampang di depan mataku. Hanya tinggal beberapa meter saja lalu aku bisa segera keluar dari sini hidup-hidup.

Namun, keinginanku tak pernah terwujud.

"Anggi! Awasss!!!"

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja Dimas berteriak kencang dari belakang punggungku. Satu kedipan mata berikutnya, Dimas merengkuh badanku dan melempar badan kami berdua jauh-jauh ke samping. Entah apa yang terjadi, suara ledakan tiba-tiba terdengar kencang tepat di sampingku.

Bersamaan dengan itu,debu dan tanah bertebaran di mana-mana, sehingga aku tak bisa melihat apa pun. Yang kutahu saat ini aku berada dalam dekapan Dimas yang memelukku erat di atas tanah. Lenganku terasa perih, mungkin tergores saat Dimas melemparkan tubuh kami tadi. Sebagian badanku pun sedikit mati rasa, aku yakin ini berkat ledakan tadi yang entah dari mana datangnya.

Meski masih belum bisa membuka mata, aku bisa merasakan gemuruh yang telah berhenti. Permukaan tanah tak lagi bergoyang.

Beberapa saat kemudian, kulepaskan diri dari dekapan Dimas dan mencoba untuk memaksa membuka mata di tengah debu dan tanah yang beterbangan. Debu serta kotoran kecil lantas masuk ke dalam mata dan membuatku perih. Aku menahan napas pelan-pelan agar hal itu tak masuk juga ke saluran pernapasanku.

Setelah debu yang beterbangan sudah agak tipis, barulah aku bisa melihat jelas apa yang terjadi. Pintu masuk yang semula berada di depanku, kini hancur berantakan dan tertimbun reruntuhan dan bebatuan. Sementara kami terpelanting ke balik sebuah batu yang cukup besar.

Yang artinya, sudah tidak ada lagi jalan keluar bagi kami.

"Oh, tidak! Jalan keluarnya!" pekikku dengan nyaring.

Aku menoleh ke arah Dimas mengenai langkah selanjutnya. Tapi pria itu bergeming. Ia terduduk di tanah dengan tatapan melotot ke atas disertai ekspresi ketakutan yang sangat jelas. Aku memberanikan diri untuk turut melihat ke arah yang sama dengannya.

Saat itu aku tersadar, runtuhnya pintu keluar bukanlah hal yang harus ditakuti sekarang. Di tengah pelataran yang luas, berdiri sesosok monster yang sangat tinggi. Begitu tinggi hingga monster Tardigrada yang sebelumnya kuhadapi bukan apa-apanya dibandingkan dengan ini. Tinggi monster itu sekitar tiga puluh meter. Bulu-bulu di kepalanya membentuk lingkaran seolah melindungi wajahnya. Dua mata birunya yang besar memelototi kami. Paruhnya pendek melengkung ke bawah. Ia memiliki dua pasang sayap terlipat di badannya. Jika dibentangkan, mungkin akan selebar ruangan raksasa ini.

Bentuk ini ... sangat mirip dengan patung burung hantu yang ada di altar.

Ya, ini tidak salah lagi. Monster ini adalah perwujudan dari patung itu.

"B-Bagaimana ini?" tanyaku dengan ketakutan. Badanku tidak berhenti gemetar. "Tidak ada jalan keluar. Kita tidak mungkin menang melawan monster itu."

"Anggi, gunakan Indera Super-mu! Cari jalan keluar lain di ruangan ini," ucapnya dengan tenang. Sepertinya ia sudah bisa mengendalikan ketakutannya, sehingga kepalanya dapat berpikir dengan dingin dan memikirkan sesuatu yang tak kupikirkan.

"Baik."

Aku segera menutup mata dan mengaktifkan Indera Super-ku. Mengirimkan gelombang gema ke seluruh penjuru ruangan agar mendapatkan tampilan visual sekeliling dalam kepalaku. Aku dapat melihat reruntuhan yang menimbun pintu masuk, lalu tumpukan tanah dan bebatuan yang menghalangi cukup tebal dan tidak memungkinkan untuk dilalui. Kemudian proyeksi dalam kepalaku menyebar ke seberang, melewati bawah kaki monster Burung Hantu dan tiba di sisi lain dinding. Aku mendapati ada sebuah lubang kecil yang yang dapat mencapai permukaan tanah.

"Ada sebuah lubang kecil yang dapat membawa kita ke atas," seruku pada Dimas.

"Kerja bagus!" balas pria itu dengan nada girang.

"Tapi ada masalah."

"Apa?"

"Lubang itu ... berada tinggi dari atas tanah, kita harus memanjat untuk sampai ke sana. Dan juga ... letaknya ada di sisi lain di belakang monster itu," jelasku sembari menelan ludah. Kami berdua terdiam beberapa saat.

Kesempatan memang ada, tapi halangannya begitu besar. Jujur saja, aku tidak tahu ini akan berhasil atau tidak. Kalau saja kami tidak berhasil ... kami pasti akan mati di sini.

Tidak pernah sedikitpun aku berpikir akan menang melawan monster sebesar ini. Rasa takut dan terror yang diberikan terlalu besar dibandingkan dengan monster Tarantula atau Tardigrada. Aku pikir monster Tardigrada sudah cukup besar, tapi monster di depanku saat ini benar-benar sesuatu. Kedua kakiku berasa mati rasa setiap kali melihatnya. Seakan-akan tenaga dari tubuhku terus mengurang setiap detiknya.

"Bagaimana kita akan melewatinya?" tanyaku dengan nada ketakutan.

"Aku akan coba mengalihkan perhatiannya, sementara itu kau memanjatlah ke atas sana! Setelah kau sampai di atas, lindungi aku saat memanjat dengan Esze milikmu," ucapnya dengan raut yang tampak tak gentar sedikit pun.

Ketenangannya luar biasa. Kini ia tidaklah sama dengan beberapa saat yang lalu. Seakan-akan ia sudah menimang baik dan buruk dari keputusan yang dibuat serta beberapa kemungkinannya.

"Bukankah itu sangat berbahaya? Akankah lebih baik aku saja yang mendapat bagian pengalihan perhatian? Aku mungkin bisa bertahan lebih lama dengan Esze-ku."

Dimas segera menoleh ke arahku dengan raut kesal. "Apa kau meremehkanku? Kau pikir aku tidak akan bisa bertahan lama melawan monster itu?"

"Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya khawatir denganmu saja!"

"Justru kalau aku yang naik duluan, aku tidak bisa membantu apa-apa ketika kau naik ke atas!"

Dia benar! Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Pria itu sudah memikirkannya lebih dahulu dari pada aku.

Kendati demikian, tetap saja aku tak bisa berhenti khawatir padanya.

"Dalam hitungan ketiga, aku akan berlari dan mengalihkan perhatiannya. Lalu kau berlari ke arah sebaliknya dan segera menuju ke pintu keluar. Mengerti?" Dimas mengutarakan rencananya dengan nada serius.

"Mengerti," balasku dengan anggukan kecil.

"Kalau lancar, ini seharusnya takkan lama."

"Kamu berhati-hatilah!"

"Iya, pasti. Oke, aku akan mulai menghitung sampai tiga." Dimas menatap tajam pada monster burung hantu yang sedari tadi diam tak bergerak. Namun aku tahu, bahwa sebenarnya dia sedang memperhatikan ke sekitar. "Satu... dua... tiga!"

Dimas langsung melesat keluar dari balik batu, ia berlari melintasi dataran yang berlawanan arah dengan pintu keluar. Mata monster burung hantu itu pun segera mengikuti gerakannya. Perlahan-lahan ia menggerakkan kakinya dan mulai melebarkan keempat sayapnya. Suara teriakannya melengking ke semua penjuru ruangan dan menciptakan gema yang memekakkan telinga.

Aku yang memiliki indera lebih tajam dari manusia pun merasa kesakitan setengah mati. Tubuhku nyaris rubuh. Dengan mati-matian aku mencoba untuk tetap berdiri. Tanganku memegang reruntuhan batu yang menjadi tempat perlindungan dari pengamatan monster.

Kulemparkan pandanganku pada Dimas yang telah berlari jauh. Tidak ingin menyia-nyiakan satu kesempatan yang dibuat olehnya, aku pun segera berlari mendekat ke arah pintu keluar. Tentu saja seusai memastikan perhatian monster burung hantu teralihkan. Ia melangkahkan kakinya perlahan mendekati Dimas. Setiap langkah yang ia buat, membuat bulu kudukku merinding membayangkan jika dia berhasil menumbangkan teman baikku.

Aku menggeleng. Mencoba menyingkirkan prasangka buruk dan menaruh kepercayaan pada Dimas. Setelah beberapa saat aku telah sampai di bawah pintu masuk. Lubang kecil itu begitu tinggi, mungkin sekitar tujuh meter diatasku. Tanpa membuang waktu, aku memanjat dinding dan mencoba menemukan rute yang tidak terlalu terjal. Bebatuan yang mencuat serta serabut akar pohon membantuku naik ke atas. Rute yang cukup bagus namun tidak terlalu lancar. Beberapa kali aku nyaris terjatuh karena serabut akar pohon yang patah ketika kugunakan untuk menarik tubuhku ke atas.

*BRUKKK!

Tiba-tiba saja suara gemuruh terdengar kencang dari tengah ruangan. Sontak aku menghentikan gerakanku dan melemparkan tatapan ke arah sumber suara. Debu beterbangan tatkala kepala monster itu menghantam tanah. Awalnya kupikir Dimas berhasil membanting tubuh monster, namun akal sehatku menyangkalnya. Sekuat apa pun Dimas, tidak mungkin dia berhasil membanting monster yang ukurannya berkali-kali lipat darinya. Lagipula, kedua kaki burung hantu itu tetap pada tempatnya berpijak.

Sesaat kemudian si monster menegakkan kembali tubuhnya yang membungkuk. Di paruhnya, terdapat reruntuhan batu dan tanah. Kemudian ia menyemburkannya ke depan. Dari samping debu tebal yang beterbangan, Dimas melompat keluar. Kedua tangannya memegang pedang pendek yang menjadi teman setia perjalanannya selama ini. Dengan kuat ia mengayunkan senjatanya ke arah kaki kiri si monster burung hantu.

*GROOAAR!!

Monster itu mengerang kesakitan. Suara teriakannya melengking ke segala penjuru dan membuat telingaku sakit. Aku ingin menutup telinga, tapi kuurungkan ketika sadar kedua tanganku telah digunakan untuk memegang akar pohon. Telingaku masih sakit, tapi kupaksakan untuk terus memanjat ke atas.

Selagi memanjat, aku mencuri-curi pandangan ke arah Dimas yang tengah bertarung melawan monster. Dengan gesit Dimas menghindari serangan di saat-saat terakhir. Burung hantu itu menggunakan paruh miliknya yang keras untuk menyerang, tidak bisa dibayangkan apabila serangan itu mengenai tubuh orang. Pastilah akan hancur lebur. Setelah menghindar, Dimas menyerang balik ke arah kaki si monster.

Aku berpikir, jika terus seperti ini mungkin Dimas akan menang. Namun sesaat kemudian, pikiran itu menjadi khayalan bodoh di siang hari. Monster itu mengubah pola serangannya. Dia kini melebarkan keempat sayapnya, terbang, dan mengepakkan sayapnya kuat-kuat. Hingga tercipta angin kencang yang menerbangkan debu dan tanah di hadapannya. Dimas pun kelihatannya tak berkutik menghadapi angin kencang. Ia tertahan di tempatnya berdiri.

Sesaat kemudian, hal yang kutakutkan terjadi. Burung hantu itu mengumpulkan arus angin yang berbentuk bola dalam paruhnya. Kemudian ia melepaskan serangan itu ke depan, tepat ke arah lawannya, tempat teman baikku berada.

"Dimaaaaaaaaaaaaassssss...!"