webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 36 "Hingar-Bingar di Glafelden V"

Tidak lama setelah Almira selesai memasak, terdengar suara ketukan kencang dari balik pintu depan. Suaranya bahkan mengejutkan Cedric yang tengah menyantap sarapannya. Hal itu sontak membuat bocah itu ketakutan setengah mati. Wajahnya mendadak tampak sangat pucat.

"Permisi!!" teriak seseorang dari balik pintu. Suaranya yang berat dan lantang mampu membuat siapa pun tersentak. Almira bertukar pandang dengan Cedric.

"Ma-Mama, itu apa?" tanya Cedric dengan lirih.

"Tenang saja, bukan masalah! Biar mama yang hadapi ini," jawab Almira diiringi senyum tipis guna menghilangkan ketakutan di wajah Cedric.

Perempuan berkulit sawo matang itu lantas beranjak dari meja makan, berlalu ke arah pintu depan, dan perlahan membuka knop pintu. Bersamaan dengan suara reyot pintu kayu yang berderit, terlihatlah seseorang dengan sosok tinggi dan besar. Kulitnya gelap, tatapan matanya tajam, dan tak terlihat ada sedikit pun senyum di ujung mulutnya ketika bertamu ke rumah orang.

"Maaf, apa ada yang bisa kubantu?" tanya Almira dengan menurunkan nada bicaranya, berpura-pura menjadi perempuan yang lemah.

"Kami ingin memeriksa rumahmu. Sementara itu kau tunggulah di luar," ucap prajurit berkulit gelap itu.

Tanpa mengucap sepatah kata lagi, prajurit bertubuh tinggi besar itu langsung masuk ke dalam rumah, diikuti dua orang prajurit lainnya. Almira sempat terdorong ke belakang ketika prajurit itu memaksa masuk.

"Mama! " pekik Cedric melihat ibunya terjerembab. Bocah itu lantas berlari ke arah pintu.

Almira meraih putra semata wayangnya dan pergi ke luar rumah. Di sana ada banyak penghuni rumah di sekitar yang tengah diperiksa dan diinterogasi oleh para prajurit. Salah seorang prajurit mengarahkannya untuk berbaris, menunggu giliran untuk diperiksa.

"Mama, ada apa ini? " rengek anaknya dengan mata yang mulai berair. Bocah itu ketakutan setelah melihat sikap kasar prajurit terhadap ibunya, ia merasa hal buruk akan segera terjadi.

"Entahlah, ibu juga tidak tahu, " jawab Almira sembari memeluk dan mengelus punggung Cedric guna menenangkannya. "Jangan takut, semua akan baik-baik saja. "

Tidak beberapa lama kemudian prajurit bertubuh besar dan tinggi keluar dari rumah Almira. Wajah datarnya seakan memperjelas bahwa ia tak menemukan apa pun dari dalam sana. Lalu berjalan menuju dua orang prajurit yang tengah menginterogasi.

"Biar kuambil alih bagian ini, kau bantu yang lain untuk menggeledah rumah-rumah! " perintahnya pada salah seorang bawahannya.

"Siap, Kopral Satu Obrigis! "

Setelah seorang prajurit pergi, Obrigis yang baru saja bertukar tugas, mulai menginterogasi para penghuni rumah yang berada di luar. Almira menatap cemas ke arah prajurit berkulit legam itu. Entah mengapa, ia merasa bila pria itu adalah orang yang patut untuk diwaspadai.

Beberapa menit telah berlalu, antrian para penghuni yang akan diinterogasi memendek. Kini tiba giliran Almira. Ia berhadapan langsung dengan Obrigis. Tatapan tajam pria itu membuat Almira terganggu.

Terlihat ada sedikit keraguan di wajahnya, namun setelah menenangkan dirinya sendiri dengan menghembuskan napas panjang, ia berjalan maju. Tangannya mengenggam erat Cedric seakan khawatir bocah itu akan lepas dari pengawasannya dan dilukai Ksatria Elit.

"Siapa namamu? " tanya Obrigis dengan nada datar.

"Almira."

"Apa kau mengenal seseorang bernama Anggi di kota ini? "

Tepat seperti dugaannya, tujuan Ksatria Elit memblokade wilayah pinggir kota, lalu menggeledah rumah penduduk serta menginterogasi penghuninya tidak lain untuk menemukan Anggi si Haier-Elvian.

Saat pertama kali tahu tujuan Ksatria Elit di Glafelden adalah menangkap Anggi, ia langsung berlari ke markas Kelam Malam. Alih-alih bertemu Si Gadis Campuran, ia malah berjumpa dengan Grussel. Keduanya lalu berdiskusi tentang apa yang terjadi di kota ini. Berkat itu perempuan Elvian tahu bahwa Anggi sudah pergi dari kota ini bersama Dimas beberapa hari sebelumnya.

Almira merasa lega. Karena ia begitu takut bila Anggi tertangkap oleh Ksatria Elit. Ia bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kerajaan ini begitu mereka mendapatkan Si Gadis Campuran. Siapa pun pasti sudah tahu jika seluruh anggota kerajaan ini sangat ambisius. Mereka takkan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan. Banyak cara yang akan mereka lakukan untuk membuat Anggi mematuhi mereka tanpa bisa melawan. Apa pun itu, bukanlah hal yang bagus.

"Tidak," jawab Almira singkat. Sebagai mantan pengintai di Kerajaan Elvian Barat, wanita itu kerap berkecimpung dengan hal seperti ini. Jika tak ingin ketahuan berdusta, maka ia harus menjawab senatural mungkin dengan tenang.

Obrigis memicingkan mata. Tatapan yang sedari awal sudah tajam, ia pertajam lagi hingga Almira merasa itu hampir menghunus jantungnya. Prajurit berkulit legam itu memandang Almira dalam-dalam. Seakan ada hal yang membuatnya terganggu.

Pria itu mendekati Almira dan menegaskan sesuatu di depan hidungnya, "orang yang kami cari saat ini adalah buronan kerajaan. Jika kau berencana mengelabui kami atau kedapatan menyembunyikan gadis itu, kau akan menerima hukuman mati."

"Aku memang tidak kenal dengannya. Untuk apa aku harus berbohong?" jawab Almira sembari menggeleng, masih berpura-pura tidak tahu-menahu. Ia melangkah mundur guna menjauhi pria berbadan kekar itu.

Seketika itu juga Obrigis langsung mencengkram erat pergelangan tangan Almira kuat-kuat. Pria itu memasang wajah datar seakan tak peduli dengan suara pekikan wanita yang meringis kesakitan. Dia bahkan tidak mengurangi kekuatannya sedikit pun.

"Apa-apaan ini? Lepaskan aku!"

Teriakan Almira mengundang perhatian di sekitarnya. Cedric langsung menangis melihat ibunya diperlakukan kasar seperti itu. Bocah itu takut bila Ksatria Elit akan memberi ibunya hukuman yang berat, meski ia sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Berbanding terbalik dengan Obrigis, tentara berkulit legam itu sama sekali tidak peduli dengan itu semua. Mau anaknya menangis atau ibunya meronta-ronta minta dilepaskan, ia akan tetap menjalankan tugasnya. Bukan kali ini saja pria berotot kekar harus menghadapi perasaan emosional orang lain ketika sedang bertugas. Sebelumnya ia bahkan pernah memancung terdakwa perampokan di depan keluarganya sendiri. Memang begitulah dia, seorang pria taat aturan yang tidak mencampurkan perasaan dan hati ke dalam pekerjaannya.

"Sudah kuduga, ada sesuatu yang kau sembunyikan," sergah Obrigis, "kau terlalu tenang ketika menjawab pertanyaanku. Semua orang yang kutanyai pagi ini menjawab dengan cemas dan rasa takut. Tapi kau berbeda sama sekali. Kamu begitu tenang seakan memang sudah menyiapkan jawaban untuk mengelabuiku."

"Memang itu kenyataannya! Aku tidak mengenalnya sama sekali!"

"Baru di saat terdesak kau menyangkal dengan keras, ya? Sepertinya ada yang kau sembunyikan. Ikut denganku! Aku akan menginterogasimu secara intens!" ujar Obrigis.

"Tunggu! Mau ke mana kau membawaku?"

Di tengah perhatian orang banyak, Obrigis menyeret tangan Almira dengan kasar. Perbedaan kekuatan yang jauh membuat Almira tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya ia bisa saja menggunakan Esze untuk melempar pria bertubuh kekar ini. Namun akal sehat mencegahnya melakukan itu. Apabila saat ini ia mengungkap identitasnya sebagai Elvian yang bisa menggunakan Esze, maka ia sudah tidak bisa tinggal di kota ini lagi.

"Mama!!"

Pandangan perempuan itu beralih pada anaknya, Cedric, yang terus mengejar ibunya sembari menangis. Jerit pilu Cedric menyayat-nyayat hatinya. Selama ini dia membesarkan anaknya dengan kasih sayang dan melindunginya dari hal buruk agar Cedric terus tersenyum. Namun kali ini Almira dipaksa harus melihat putera semata wayangnya menangis tersedu-sedu.

Ibu macam apa yang tidak terenyuh ketika melihat anaknya seperti itu? Ingin ia segera menghapus air mata anaknya dan menenangkannya. Almira sadar jika ia tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Wanita itu berharap bila ada seseorang dari kerumunan di pinggir jalan menghentikan kegilaan prajurit bertubuh kekar ini. Tapi itu tidak mungkin, pikirnya. Semua penghuni rumah di sini pasti sebal dan marah dengan sikap Ksatria Elit yang semena-mena. Namun tidak ada satu pun yang berani menghalangi jalan prajurit ini.

Orang-orang ini hanya menatap kasihan pada pasangan ibu dan anak itu. Sama sekali tidak ada yang bisa membantu. Almira sudah akan pasrah dengan keadaan. Perempuan itu hanya berharap Cedric akan baik-baik saja, biarlah ia yang menanggung semuanya.

Sedetik kemudian secercah harapan muncul. Obrigis yang sedari tadi menyeretnya dengan paksa mendadak menghentikan laju langkahnya. Almira sempat berpikir, apa yang bisa membuat prajurit kekar ini berhenti? Ketika ia melemparkan pandangan ke depan, barulah ia menyadari apa yang terjadi.

Tepat berhadapan dengan Obrigis, seorang pria yang sama kekarnya berdiri menghalangi sembari melipat tangan. Di saat semua orang di sini merasa takut dengan salah satu pemimpin Ksatria Elit, pria itu justru tak menunjukan kegentaran sekalipun. Justru dagunya dinaikkan seakan hendak menantang. Aura yang terpancar kuat darinya begitu mendominasi, membuat semua orang di sekitar lebih merasa segan dengannya dari pada prajurit berkulit legam.

Obrigis terperangah. Jarang-jarang ia mengeluarkan ekspresi selain wajah datar seperti ini. Lalu ia berdehem. "Aku tidak menyangka orang sepertimu ada di kota kecil seperti ini, Jenderal Besar Grussel! Oh tidak, maksudku Mantan Jenderal!"

"Apa salahnya pensiunan sepertiku menghabiskan sisa hidup di kota ini?" balas Grussel dengan nada menantang.

Prajurit berkulit legam terdiam sejenak, ia memandang Grussel dengan dingin. Sama sekali tidak tampak rasa hormat pada mantan atasannya.

"Jadi, apa yang ingin kau coba lakukan dengan menghalangiku, Grussel? Meski dahulu kau adalah mantan jenderal, sekarang kau hanya warga biasa. Aku akan memperlakukanmu tanpa pandang bulu jika berani menghalangi tugas Ksatria Elit," jelas Obrigis.

"Kenapa kau berpikir aku akan menghalangi kalian? Justru aku kemari untuk membantu."

"Maksudmu?"

"Pertama-tama, bisa kau lepaskan tanganmu dari wanita itu?" pinta Grussel, sembari melempar pandangan ke arah Almira yang meringis kesakitan serta anaknya yang tak berhenti menangis. "Ksatria Elit yang kutahu adalah pasukan yang memiliki harga diri tinggi. Aku tak menyangka jika kalian melakukan tindakan pengecut seperti mengancam penduduk biasa seperti ini."

"Kenapa aku harus mendengarkanmu?"

"Karena perempuan itu tidak tahu sama sekali tentang tujuan kalian," jawab Grussel sembari mendekat ke arah Obrigis hingga satu meter jaraknya. "Kalian datang ke kota ini untuk seorang gadis Haier-Elvian, bukan? Aku tahu di mana dia berada sekarang."