webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 13 "Sunset Terindah"

Malam semakin larut, namun suasana di kedai makanan ini semakin ramai. Beberapa pekerja yang baru saja pulang, mampir kemari hanya untuk melepas lapar dan penat. Dari daun pintu ganda yang terbuka lebar, lebih sering orang yang datang daripada keluar. Membuat kedai ini tambah padat. Jadi tidak jarang bila mereka bergabung dengan orang lain dalam satu meja makan. Suara hingar bingar pecah tak karuan. Membuat pertemuan kami tidak kondusif. Sepertinya pilihan tempat dan waktu kami salah.

Saat ini aku bersama Dimas, Kak Shella, Vian, dan Vani tengah mengadakan sebuah rapat. Hanya segini saja yang hadir. Karena cuma kami yang masih tinggal di kota Glafelden. Sisanya yang kebanyakan laki-laki, mendaftar menjadi tentara kerajaan di ibukota negeri. Atau menjadi asisten saudagar keliling.

Kami baru saja selesai makan. Menyisakan piring-piring kotor di atas meja panjang. Aku mengumpulkan mereka di sini untuk menyampaikan informasi yang baru saja didapatkan beberapa hari lalu. Tentang Kristal Roh. Aku juga menyebutkan dua solusi yang diberikan oleh Almira, dan meminta pendapat mereka.

"Itu sangat berbahaya, Anggi! Menyusup ke ibukota Kerajaan Elvian Barat adalah hal gila yang tidak pernah dipikirkan siapa pun, termasuk Grussel. Siapa tahu kita akan langsung ditangkap begitu sampai di kota mereka." Dimas adalah orang pertama yang memprotesnya dalam hitungan sepersekian detik. Tanpa pikir panjang.

"Bukan kita. Tapi aku," tegasku. Suaraku nyaris tertelan keriuhan di kedai ini, namun yakin bila mereka masih bisa mendengarnya.

"Aku tambah tidak setuju dengan hal itu. Memangnya apa yang bisa dilakukan pemburu bodoh sepertimu? Aku yakin kau akan tergoda kelinci putih itu lagi dan membuat kacau."

"Tidak mungkinlah. Tidak ada orang yang mengulangi kesalahan kecuali orang tolol."

"Orang tolol itu kau!" pekik Dimas.

Jika saja hanya ada kami berdua, aku pasti sudah menghajar si sialan ini. Tapi sengaja kutahan. Aku tidak mau memulai perkelahian di depan publik. Apalagi dengan teman sendiri, itu tindakan tolol. Persis seperti yang Dimas katakan.

"Sudahlah, Anggi, Dimas! Jangan ribut seperti itu!" Kak Shella berusaha menengahi. Kemudian melemparkan pandangan padaku. Ia menatapku dalam diam untuk sesaat. "Aku juga tak setuju denganmu, Anggi. Jalan keluar yang terlalu berisiko bukanlah solusi."

"Kesempatan seperti ini takkan datang dua kali. Mungkin Elvian bisa saja membuka perbatasan dan menerima manusia dengan tangan terbuka. Tapi kapan? Bisa puluhan atau ratusan tahun lagi. Atau mungkin tidak akan terjadi sampai dunia ini hancur. Apa kau tak mau pulang?"

Kak Shella terdiam. Mendengar kalimat terakhir sepertinya membuat lidahnya kelu. Membisu seribu bahasa lalu mengatupkan kelopak mata, berpura-pura tida mau tahu. Aku menoleh ke arah si kembar.

"Bagaimana dengan kalian? Kalian berdua juga pasti ingin pulang, kan?"

Keduanya saling tatap sejenak. Lalu sama-sama mengangguk.

"Tentu saja. Tapi perkataan Kak Shella dan Dimas benar. Kita tak bisa bertindak tanpa persiapan rencana yang matang." Vani yang sifatnya periang, membuka mulutnya. Sementara saudari kembar pendiamnya hanya memanggut pelan.

"Untuk itulah aku meminta bantuan kalian sekarang. Buatkan rencana hebat agar aku bisa menyusup ke ibukota Elvian."

Pltak!

Sesaat kemudian, kepala belakangku terasa sangat sakit. Aku mengaduh pelan sembari memeganginya. Melemparkan tatapan tajam pada Dimas yang duduk di sebelahku.

"Apa yang kau lakukan, bodoh?"

Sebelum aku sempat memprotes lebih banyak, ia sudah terlebih dahulu membuka suara. "Bisa tidak sih, kau hilangkan sifat keras kepalamu! Tenanglah sedikit dan berpikirlah dengan jernih. Kau sadar tidak, kalau ini terlalu bahaya? Kami tinggal di sini bukan berarti kami mau. Tentu saja kami ingin pulang.

"Masing-masing dari kita pasti rindu dengan orang tua, kerabat, atau sahabat di dunia asal. Tapi bukan seperti ini caranya. Memaksakan diri masuk ke dalam bahaya adalah tindakan bodoh. Baik aku, Kak Shella, Vian, Vani, atau teman-teman lainnya, tidak mau salah satu dari kita berada dalam bahaya. Bagaimana kalau nanti kau tak kembali? Percuma saja kita pulang, tapi tidak bersama-sama. Kalau harus seperti itu, aku lebih memilih tinggal di sini bersama semuanya."

"Tapi ... kalau tidak sekarang—."

Pltak!

Lagi-lagi Dimas menjitakku dengan keras. Kali ini di bagian dahi. Rasa panas tertinggal di sana. Aku yakin, bila saat ini dahiku sangat merah.

"Bodoh! Kau mengerti tidak, sih, kalau kami sedang mencemaskanmu? Apa seperti itu sikapmu pada teman yang memikirkan keselamatanmu? Dengan berkeras kepala seperti anak kecil? Tidakkah kau berpikir sedikit perasaan kami yang cemas bila kau berada dalam bahaya?"

Hatiku mencelos. Kata-katanya tepat menusuk dadaku dan membuat lubang di sana. Itu hal yang tak terpikirkan olehku. Saat melihat tiga orang lainnya, mereka mengangguk-angguk. Aku tak pernah tahu bila mereka semua mencemaskanku. Hal ini membuatku malu. Karena yang bisa kupikirkan, hanyalah tentang diriku saja.

Aku menurunkan pandanganku ke atas meja makan. Tersenyum. "Kalian benar-benar baik. Kupikir kalian akan terus menyalahkanku, yang telah membawa kita semua ke dunia ini."

Kak Shella buru-buru mengamit tanganku dan menggenggam erat. "Sudah berapa kali kukatakan, Anggi! Kita tidak akan melihatmu seperti itu. Dan berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kita hidup di dunia ini bersama-sama. Dahulu pun, makan dan tidur berbarengan. Kita senasib. Untuk itulah, kita perlu saling memperhatikan, saling peduli, dan saling menyayangi. Aku yakin, suatu hari kita bisa menemukan jalan untuk kembali tanpa harus membahayakan diri sendiri."

Tidak sanggup melihat ketulusan pada bola matanya yang laksana permata, kepalaku tertunduk. Dari relung hati yang paling dalam, aku berterima kasih telah dianugerahi teman-teman seperti mereka.

"Sekarang, berjanjilah untuk tidak melakukan hal yang berbahaya! Dan lupakan ide gila tentang menyusup ke ibukota Elvian."

Aku langsung menoleh ke arah Dimas.

"Biasanya kau kan susah diberi tahu. Makanya, aku ingin kau berjanji."

Aku mengangguk pelan dan menghela napas. "Baik, aku janji!"

Semua orang tersenyum lebar, lega karena masalah ini telah selesai. Begitu pun aku, bahagia dengan perasaan semua orang yang begitu kuat. Mungkin dengan ikatan persahabatan ini aku bisa mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.

Jika dipikir-pikir, benar juga semua perkataan mereka. Bertindak tanpa rencana matang dan terburu-buru adalah hal yang bodoh. Sebagai pemburu, harusnya aku tahu itu dengan pasti. Mungkin kesempatan ini akan segera hilang dan takkan datang untuk kedua kalinya. Namun selama terus berusaha, tidak ada yang mustahil. Karena keajaiban hanya datang pada orang-orang yang tidak pernah menyerah.

==============

Hari-hari berlalu tanpa tersadari. Sudah nyaris sepekan sejak hukuman yang diberikan Grussel—pengusiran dari markas—berakhir. Besok malam adalah hari perburuan. Kelompok 'Kelam Malam' akan kembali beraksi. Yang kudengar dari Dimas, target kami adalah binatang mirip harimau bernama Orska. Aku hanya pernah mendengarnya saja. Dari gambar ilustrasi yang diberikan olehnya, hewan yang mirip harimau ini bertubuh besar. Nyaris setinggi manusia dewasa. Mereka diburu karena taringnya yang panjang. Sekilas Orska mirip dengan binatang purba Smilodon atau singa gigi pedang. Perburuan ini terlihat menantang, setelah beberapa hari ini menganggur di klinik Bibi Saantya.

Aku melangkah keluar dapur, setelah baru saja membantu para staf klinik mencuci piring-piring kotor. Matahari masih hangat. Waktu yang cocok untuk beraktifitas harian. Aku sudah pergi ke perpustakaan beberapa hari belakangan. Rumah Almira juga sudah terlalu sering dikunjungi, sampai-sampai tuan rumahnya akan mengusirku ketika melihat wajahku di depan pintu. Sekarang, aku bingung mau melakukan apa.

Bosan sekali, pikirku.

Setengah jam kulewati dengan duduk melamun di bangku taman kota. Terdiam bisu bagai seonggok batu. Menatap kosong ke arah kawanan tupai yang tengah menggerogoti buah jatuh di bawah pohon. Walau sebenarnya aku tidak memperhatikannya.

Mendadak instingku memberitahu bila ada seseorang di belakang. Belum sempat aku menoleh, orang itu sudah menarik tudungku pelan. Seakan penasaran dengan apa yang tertutup di baliknya. Buru-buru aku menahannya dengan tanganku dan bergerak menjauh. Berdiri lima langkah darinya dan melempar pandangan tajam.

Pria itu nyengir.

"Kenapa kau melamun di sini?"

"Ya ampun, Dimas! Bisa tidak sih, tak mengagetkanku seperti itu?" tukasku dengan gemas. Kalau saja ia benar-benar menarik tudung yang kukenakan, telinga panjangku akan menjadi pusat perhatian di tengah keramaian ini. Itu bukan hal yang bagus untuk dijadikan candaan.

"Salah sendiri malah bengong." Ia mengangkat bahu dengan santai. Kemudian duduk di atas bangku, lalu menyodorkan bungkusan kue kering yang sejak tadi dibawanya. "Mau?"

Akhirnya aku duduk bersama Dimas sembari menyantap kudapan itu. Hei, aku tahu ini. Kue kering ini dijual di samping perpustakaan kota. Sering sekali aku membelinya sepulang selepas membaca buku di sana. Tekstur kue ini renyah dan manis. Selain itu mereka juga punya varian rasa lainnya. Seperti rasa buah-buahan dan ikan.

Beruntung sekali Dimas membawakanku kue ini. Keuanganku menipis setelah nyaris seminggu tanpa pemasukan. Untukku yang saat ini hanya seorang pengangguran, kue seharga sepuluh keping perunggu ini menjadi jajanan mewah.

"Enak sekali!" ucapku kegirangan. "Rasa apel hijau benar-benar yang terbaik!"

"Sejak kau mencekokiku makanan ini, aku jadi menyukainya."

"Sudah kubilang, kan? Sekali kau mencoba, pasti akan ketagihan."

Dimas memanggut. Kami terus berada di taman sampai menghabiskan semua kue itu. Aku mendongak ke atas. Memandang langit biru cerah tanpa awan sejauh mata memandang. Angin bertiup pelan menerpa wajah. Memberi kesegaran yang dibutuhkan sebelum memulai aktivitas.

Di bangku itu kami bercakap-cakap tentang keseharian 'Kelam Malam' saat aku tidak ada. Pria itu berkata nyaris tidak ada yang berubah sama sekali. Seakan-akan aku memang tak pernah ada di sana.

Sebelum aku mulai bersungut-sungut, merutuki Grussel yang macam-macam. Dimas sudah terlebih dahulu menjelaskan bila sebenarnya pria tua bajingan itu peduli padaku. Sesekali ia menanyakan kabarku pada Dimas. 'Di mana dia sekarang?' 'Apa dia mengacau di tempat Saantya?' 'Semoga dia semakin tambah pintar setelah tinggal di sana.' Kata-kata itu sungguh tak bisa dipakai untuk bertanya kabar seseorang. Sepertinya ia memang tak niat bertanya kabar padaku.

"Bukannya tidak peduli. Hanya sebatas itu perhatian yang bisa diberikan olehnya. Tak lebih. Kalau ia tak mau kesan garang dan tegasnya itu luntur di hadapan anak buahnya sendiri," jelas Dimas. "Coba kau bayangkan, bila Grussel terlalu perhatian. Bayangkan bila ia tersenyum padamu dengan ramah dan selalu berkata sangat lembut. Setiap waktu menanyakan kabar hari ini dan keadaanmu."

"Itu akan sangat menjijikan," timpalku. Sekejap tubuhku langsung merinding seperti dihantui mimpi buruk.

"Benar, kan? Kau harus lebih peka lagi! Sadari hal-hal kecil di sekitarmu."

"Terserah kau sajalah!" ujarku dengan ketus.

"Oh iya, Anggi! Besok sore sebelum perburuan, kau sudah diizinkan kembali oleh bos. Jadi sebaiknya hari ini kau pamitan pada Kak Shella dan Bibi Saantya."

Aku bergumam pelan. "Begitukah? Mungkin sebaiknya nanti aku membelikan mereka sesuatu sebagai tanda terima kasih. Rasanya sudah seminggu ini aku merepotkan mereka."

"Kau kan memang merepotkan! Baru sadar sekarang?"

Cengiran dan tawanya yang tak mengenakkan, membuatku melempar bungkus kosong bekas kue kering ke arah wajahnya. Ia menghindar dengan cekatan. Lalu terus menertawaiku seenaknya sendiri. Aku yang tak terima melayangkan tinju ke tubuhnya, namun dihindari juga. Begitulah kebiasaan kami saat bertengkar. Dari pada disebut bertengkar, lebih tepat dikatakan bercanda. Karena kami tak pernah serius berkelahi.

Seharian ini aku pergi ke berbagai tempat di kota dengannya. Menghabiskan banyak waktu ke tempat-tempat menarik di seluruh sudut kota Glafelden. Aku baru tahu ada taman bunga asri yang besar di sebelah timur kota. Juga kolam ikan dengan sungai-sungai buatan di sebelah selatan.

Kota ini cukup besar. Gerbang yang melindungi kota ini nyaris berbentuk bulat dengan diameter sekitar dua puluh hingga tiga puluh kilometer. Sejak masuk ke kota ini, aku belum pernah mengelilinginya ke setiap penjuru. Ini adalah pertama kalinya bagiku.

Di penghujung hari, di mana matahari mulai tumbang di ufuk barat. Kami berdua masih menyempatkan diri untuk bersantai mengamati sunset di sebuah menara dekat gerbang selatan. Tempat ini merupakan bagian dari situs bangunan tua yang lama ditinggalkan. Letaknya jauh dari bangunan berpenghuni terdekat, jadi jarang ada orang kemari. Menara ini tingginya bisa melebihi gerbang yang mengelilingi kota. Membuatku leluasa menikmati detik-detik matahari tenggelam.

"Kau tahu? Pemandangan sunset di dunia ini adalah yang terbaik," ucapku dengan mata yang terpaut ke depan. "Setiap kali ada kesempatan, aku pasti melihatnya."

"Mengapa kau begitu menyukai sunset? Bukankah sama saja dengan dunia kita?"

Aku menoleh sejenak ke arah laki-laki itu, lantas kembali menatap matahari yang mulai terbenam separuh. "Memang. Tapi di dunia ini, kau bisa melihat hamparan bintang luas begitu malam tiba. Lihat di atas sana! Sudah terlihat, kan?"

Setiap detik matahari meluncur turun, langit gelap semakin menguasai angkasa. Langit seperti terbelah dua, antara siang dan malam, gelap dan terang. Bintang-bintang bermunculan di sisi gelap.

Dimas memanggut-manggut. "Benar juga, sih. Di sini kita bisa melihat jelas dengan mata telanjang hamparan bintang dan debu angkasa yang berwarna-warni. Berbeda dengan kota asal kita yang terlalu banyak polusi cahaya."

Kami terdiam sejenak. Asyik mengamati pemandangan yang menakjubkan di atas sana. Sampai akhirnya mataku terpaku pada sesuatu.

"Dimas, lihat itu!" seruku dengan girang.

Aku kembali menunjuk ke angkasa, di mana ada enam buah bintang yang paling terang. Bila kau menarik garis yang menghubungkan keenamnya, akan tercipta sebuah bentuk mirip sebuah anak panah yang siap dilepaskan oleh busur..

"Apa itu?"

"Rasi bintang Celebrus. Rasi bintang yang paling terang dan dapat dilihat jelas mulai menjelang malam. Seandainya kau tersesat di hutan, lihatlah arah yang ditunjukan oleh anak panah itu. Ia akan membawamu ke arah barat."

"Kau tahu banyak soal rasi bintang di dunia ini, ya?"

"Begitulah," jawabku bangga. "Aku mendapat banyak hal menarik dari buku-buku di perpustakaan, termasuk ilmu astronomi."

"Itu hebat sekali!" puji Dimas. Ia menyunggingkan senyum yang menampilkan gigi putihnya. "Kau benar-benar berbakat menjadi pemburu. Mungkin nanti aku bisa bergantung padamu."

Aku membalas dengan senyum kecut. Entah sungguhan atau ia hanya mengejekku. Aku masih ingat saat beberapa hari yang lalu ia menyebutku sebagai pemburu bodoh. Namun kali ini aku tidak merasakan adanya lelucon dari kalimatnya. Karena ia tak menggodaku setelahnya. Pria itu terkadang punya kejujuran yang sulit ditebak.

Beberapa saat kemudian, matahari yang perkasa benar-benar tergelincir di balik ufuk barat. Meninggalkan semburat cahaya jingga yang masih tersirat di angkasa. Menciptakan garis cahaya yang amat panjang. Langit gelap langsung menyelimuti. Ditemani hamparan bintang dan debu angkasa yang beraneka warna. Terkadang tampak pula satu atau dua meteor yang berpindah.

"Kita pulang sekarang?" tanya Dimas. Ia bersiap-siap menuruni tangga menara.

"Masih ada yang ingin kulakukan."

"Apa itu?"

Sengaja tak langsung kujawab pertanyaanya. Menunggunya membuat ekspresi heran dan kebingungan. "Aku ingin berburu."