webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Fantasy
Not enough ratings
53 Chs

Chapter 05 "Dunia Juiller part 02"

Dalam ruangan kecil, lembap dan minim cahaya, aku duduk di atas kursi kayu keras dan rapuh. Keempat kakinya tidak sama panjang, tubuhku berulang kali bergoyang bila hendak merubah posisi. Perasaan tidak enak dan ketakutan menyelimuti hati ini. Bukan karena aura sangar dari jejeran senjata yang dipajang di seluruh dinding, atau deritan binatang-binatang pengerat di atas plafon yang bisa saja jatuh kapan pun. Namun karena keberadaan pria besar yang duduk di balik meja di hadapanku.

Kedua tangannya disatukan di atas meja. Seolah sengaja memamerkan satu set otot yang terbentuk sempurna dari atas bahu hingga turun ke lengan. Baju singlet yang ia kenakan menambah kesan seksi meski usianya sudah menginjak lima puluh tahunan. Kumis serta janggutnya adalah sumber terbesar penghasil hawa intimidasinya. Membuat siapa pun yang melihat pria itu akan menaruh hormat padanya. Tentu saja. Karena dia adalah Grussel, ketua tim pemburu 'Malam Kelam' yang terhebat di kota ini. Keberadaan tim pemburu ini rahasia. Hanya secuil orang yang tahu tentang hal ini. Sedangkan bagi kebanyakan orang, Grussel dihormati sebagai mantan panglima perang kerajaan.

Matanya menatapku dengan tenang, namun mematikan. Bila tatapan mata bisa membunuh seseorang, mungkin aku sudah mati ratusan kali dari tadi karenanya.

Pria itu dengan pelan mengangkat kedua tangan guna menopang dagunya. "Sebelumnya Igresti sudah menyampaikan hal ini padaku. Tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu. Anggi ...." Suaranya berat dan ada sedikit penekanan nada ketika menyebut namaku. "Apa di perburuan malam kemarin kau mengacau?"

Aku langsung melemparkan pandangan pada Igresti yang duduk di samping, pria sialan itu balik menatapku sinis. Di ujung bibirnya tersimpul senyum licik, jelas ditujukan padaku.

"Dasar bajingan tengik! Sepertinya ia memang punya dendam pribadi padaku. Kalau memang begitu, selesaikanlah secara pribadi. Bukan dengan menjatuhkanku seperti ini!" umpatku dalam hati.

Seketika itu juga Grussel berdehem. Menegaskan bila ia sedang menunggu jawaban yang berasal dari mulutku. Bagaimana ini? Igresti memang bermulut besar, aku yakin ia menambahkan bumbu pedas lain ke dalam ceritanya pada Bos. Tapi hal yang tak bisa dipungkiri adalah inti permasalahannya memang murni karena kesalahanku.

Keringat mengucur setetes demi setetes dari dahiku. Hawa intimidasinya besar, membuatku terselimuti ketakutan. Bibir ini tak sanggup mengucap. Mata pun tak mampu menatap. Hanya terdiam menanti waktu berakhir. Sampai akhirnya Dimas yang semenjak tadi berdiri di samping, menyentuh bahuku. Memberi secercah kehangatan guna menyingkirkan kekalutan dalam hati. Matanya lembut memandangku. Senyum tipis tampak pada wajahnya.

"Bos! Aku tahu Anggi melakukan kesalahan. Persis apa yang dikatakan oleh Igresti. Harus kuakui, kesalahan yang bodoh memang. Tapi bisakah kau maafkan dia?" ujar Dimas dengan suara yang tegas. Yang bahkan tak termakan oleh hawa intimidasi gila yang bos keluarkan.

Grussel melirikan matanya pada pria yang menentangnya. "Kau ... ingin jadi pahlawan untuknya? Kau pikir itu akan menyelesaikan semuanya?"

"Tentu tidak. Tapi tolong pertimbangkan, mengingat kami belum lama berada di dunia ini. Sudah pasti banyak hal yang belum kami ketahui. Jadi, aku mohon kebijaksanaan Anda!"

"Kau tahu? Aku benci kegagalan."

Pria tua berotot itu tampak gusar. Berdirilah ia dari singgasananya, kursi reot yang rapuh termakan usia. Suara ketukan terdengar menggema di ruangan sempit ini ketika ia berjalan mendekat. Matanya sangar. Seperti siap meninju siapa pun yang menghalangi jalannya. Grussel berhenti tepat di depan Dimas.

Dipandanginya pria muda dan gagah yang berdiri di hadapannya dari atas sampai ke bawah. Setelahnya ia tersenyum kecut.

"Kau mungkin benar. Aku tahu rasanya berada di tempat yang tak pernah kudatangi sama sekali. Saat aku masih menjadi tentara dulu, aku ditugaskan bersama anggota peletonku menyusup ke Benua Hijau." Saat suaranya tertahan, ia melanjutkan dengan berjalan perlahan mengitari kami berdua.

"Hutan di sana sangat berbeda dengan yang kukenal. Pohon-pohon berjalan layaknya manusia, sulur-sulur pohon yang menari-nari. Aku berani bersumpah, itu adalah tempat paling aneh yang pernah kulihat. Hasilnya, tak banyak dari peletonku yang selamat. Saat menghadapi musuh, informasi adalah senjata utama. Berapa jumlah musuhmu, seberapa tangguh mereka, senjata apa yang mereka miliki. Jadi ingat ini kalau kau ingin jadi pejuang tangguh." Grussel menaruh tangannya di atas bahu Dimas. Pandangannya pada temanku ini terlihat dalam, seolah hendak menanamkan pikirannya pada orang lain. "Ketahuilah seluk-beluk musuhmu terlebih dahulu sebelum menaklukan mereka. Aku harap ini jadi pelajaran untuk kalian."

"Siap, Bos!" jawab Dimas dengan penuh hormat. Sementara aku mengiyakan tanpa mengucapkan sepatah kata. Sembari melempar senyum padanya.

"Tapi ...."

Grussel kemudian menatap kemari. Sedetik setelahnya, ia langsung menyambar wajahku dengan tangannya. Telapak tangannya yang besar memungkinkan pria tua itu mencengkram mukaku. Kekuatan yang ia berikan memang tak tanggung-tanggung. Sekali lagi ia menguatkan genggamannya, kepalaku pasti hancur berkeping-keping.

Aku merintih kesakitan. "Ampun, Bos! Bukankah kau sudah memaafkanku?"

"Memang kapan aku bilang akan memaafkanmu?"

"Tapi tadi kata-katamu—."

Mendadak aku terdiam. Telingaku masih berfungsi baik. Bahkan lebih baik dari orang-orang yang berada di sini. Semuanya terdengar jelas. Dari semua ucapannya, tak ada satu pun kata yang mengatakan bila ia memaafkanku. Sepertinya aku tertipu dengan kalimat terakhinya. Grussel juga mengucapkannya dengan nada yang rendah yang melankolis. Jadi kupikir ia sudah memaklumi perbuatanku.

Kalau begini, artinya ia masih akan menghukumku? Oh sial! Bodohnya aku yang sudah kegirangan terlebih dahulu. Pak Tua bajingan itu tidak melepaskan tangannya dariku meski sudah ditahan oleh Dimas. Ia tampak bersungguh-sungguh ingin menghancurkan tengkorakku. Dasar benar-benar tanpa belas kasih! Sialan! Perlawananku sia-sia. Kekuatanku sangat tak sebanding dengannya. Tendangan dan pukulanku mungkin hanya gelitikan anak kecil saja baginya. Napasku jadi sesak. Kututup mataku rapat-rapat.

Sesaat kemudian, aku bisa kembali bernapas normal. Telapak tangannya telah lepas dari wajahku. Langsung kugunakan kesempatan ini sambil menarik napas banyak-banyak. Sembari melirik ke arah Pak Bos dengan sinis.

"Baiklah, untuk kali ini kau kumaafkan," kata Grussel. "Tapi kegagalan adalah kegagalan. Aku harus tetap menghukum Anggie bagaimana pun juga."

"Hukuman?" balas Dimas yang kebingungan. Menggantikanku yang masih tercengang.

"Ya!" jawab pak tua itu dengan tegas. "Perburuan selanjutnya diadakan minggu depan. Sampai saat itu tiba, kau bebas mengemis, mencuri, membunuh, atau melacur di luar sana. Yang jelas, aku tidak ingin melihat wajahmu sampai saat itu. Karena itu ... enyahlah kau dari sini!!"

***===***===***

"Aduduh ..!"

Aku meringis perih ketika kain yang baru dicemplungkan ke dalam air dingin, menyetrika wajahku. Cengkraman pak tua bajingan sebelumnya meninggalkan bekas luka pada pipiku. Tidak serius memang, namun cukup berasa. Tapi untunglah rasa sakitnya sudah berkurang saat ini.

"Sebentar, kuambilkan dulu obat salepnya, ya!"

Kak Shella segera bergegas ke lemari penyimpanan obat yang berada di dekat pintu masuk. Karena ruangan ini cukup besar, perlu waktu untuknya sampai ke sana dari ranjangku yang ada di ujung kamar. Melewati deretan tempat tidur kosong yang disejajarkan dalam dua baris. Membuat setiap langkah sepatunya menggema dalam tempat yang sepi ini. Ia membuka pintu kaca, tangannya lihai menyelisik rak yang berisi obat-obatan. Tak butuh waktu lama, jarinya berhenti pada sebuah botol kecil berwarna kuning gelap. Tampaknya itu adalah obat salep yang disebutkan sebelumnya.

Perempuan itu lalu kembali ke sisiku. Menuangkan sedikit salep pada kedua tangannya, kemudian menyapukannya di atas luka memarku. Rasanya sejuk. Rasa sakit seakan hilang seketika. Dibanding dengan kain basah sebelumnya, cairan ini lebih nyaman dan efisien.

"Terbuat dari apa obat ini?" tanyaku, rasa penasaran menguasaiku.

"Dari rumput ungu dan tulang ikan salmon liar. Bagaimana rasanya? Tidak perih, kan?"

"Iya, juga terasa sangat lembut."

Kak Shella membalasku dengan secercah senyum tipis. Kemudian membereskan obat salep tadi dan menaruhnya kembali ke rak penyimpanan obat. Ia tampak seperti seorang apoteker yang sangat bisa diandalkan. Anggun, lembut, murah senyum, dan baik pada sesama. Menyatukan semua komponen itu ternyata mampu meningkatkan daya tariknya. Bahkan Dimas yang duduk di kasur sebelahku terpesona melihatnya. Matanya menatap punggung wanita itu dengan dalam.

"Oh ya, Anggi" seru Kak Shella, membalikkan badannya sekejap. Hal itu mengagetkan Dimas dan langsung membuang mukanya.

"Ya?"

"Tadi kau bilang butuh tempat tinggal selama seminggu, kan? Bagaimana kalau kau menginap di sini?"

"Memang itu tujuanku kemari."

Tiba-tiba Dimas menendang keras kaki tempat tidurku. Aku tersentak karenanya. "Dasar tidak tahu malu!" makinya. Kemudian mendengus kencang tepat di depan hidungku.

"Ah, tapi sebaiknya kau minta izin dahulu pada Bibi Saantya!" Aku mengubah gaya bicaraku jadi lebih sopan.

"Aku yakin beliau akan mengizinkan," jawab Kak Shella. Baru saja ia akan duduk di ujung tempat tidurku, namun seketika ia teringat sesuatu. "Ah, aku lupa! Sekarang adalah giliranku."

"Giliran apa?"

"Menyiapkan makan malam." Perempuan itu bangkit dan buru-buru berjalan ke arah pintu keluar. "Aku permisi dulu sebentar, ya!"

"Tunggu!" seruku dengan nyaring. Kak Shella menghentikan langkahnya. Memutar badannya dan melemparkan pandangan penuh tanda tanya. Tepat sebelum ia bertanya, aku menyampaikan maksudku. "Bagaimana kalau Dimas membantumu? Ini karena kesalahan kami yang bertamu tanpa diundang. Jadi biarkan kami, ah tidak, maksudnya dia membantu tugasmu."

"Tunggu dulu! Kenapa harus aku?" protes Dimas, wajahnya bersungut-sungut.

"Ayolah! Masakanmu itu enak. Bantulah Kak Shella! Lagipula, kau hanya menggangguku di sini! Nanti kalau sakitku bertambah parah bagaimana?" seruku sambil mendorong-dorong punggungnya.

Kami saling berpandangan selama beberapa saat. Kemudian Dimas menghela napas panjang. Bukti bahwa ia telah menangkap maksud yang kuberikan. Lelaki itu segera bangkit dan mendekat ke arah pintu keluar selagi aku melambaikan tangan pada mereka. Dalam momen terakhir sebelum keduanya menghilang sempurna ke koridor depan, aku melihat sekilas senyum pada wajah Dimas.

Aku turut tersenyum. Membayangkan lelaki itu kesengsem saat berduaan dengan pujaan hatinya. Sebelumnya Dimas pernah memberitahu, bila ia jadi mulai menyukai Kak Shella setelah menjadi apoteker di sini. Katanya sih, perempuan itu tampak lebih anggun dan mempesona. Tapi aku mengerti perasaanya. Kak Shella memang tambah menawan akhir-akhir ini. Jadi, mungkin akan lebih baik jika aku memberikan Dimas kesempatan untuk mengakrabkan diri dengan gadis populer nomor satu di sekolah. Hitung-hitung sebagai balas budi padanya yang selalu menolongku setiap saat.

Bosan di ruang perawatan ini, aku melangkah keluar lorong. Takut akan bau obat menelusup ke dalam serat-serat pakaianku. Kujejakan kaki pada hamparan karpet yang tersiram cahaya rembulan di koridor terbuka. Terasa segar. Angin berhembus semilir menerpa wajah, menggelitik leherku. Hampir saja menerbangkan tudung yang menutupi kepala. Namun buru-buru aku menahannya dengan tanganku. Andai saja aku bisa bebas membiarkan surai panjang ini dikibarkan oleh angin. Aku pasti mirip dengan seorang protagonis yang melakukan debut di atas panggung drama.

Aku berjalan pelan mengikuti koridor.

Bangunan ini cukup besar dan tua. Walau baru dua bulan lalu dipugar dan dicat ulang, kesan seram dan angker masih melekat lengket. Rasanya tidak cocok apabila dijadikan klinik. Bibi Saantya yang kusebut sebelumnya adalah pemilik sekaligus ketua asosiasi dokter di kota Glafelden. Saat kubilang dokter, bukan orang yang menyembuhkan pasien dengan alat-alat medis canggih dan obat-obatan kimia. Namun dokter di sini mengobati dengan tanaman herbal atau bisa juga dengan metode-metode tradisional lainnya. Jadi kau tidak akan menemukan Paracetamol atau Decongestant di sini. Lagipula ini adalah dunia lain.

Aku bersandar pada pagar dan mendongak ke atas. Melihat langit malam berwarna biru gelap dan keunguan, sabuk debu angkasa berkilau kehijauan seperti 'Aurora' di daerah kutub, gugusan bintang yang membentuk susur sungai, juga bintang besar yang menerangi kota ini. Rubiel, atau bisa disebut "Daratan Surga", begitu para penduduk dunia ini menyebutnya. Sekilas Rubiel mirip dengan bulan yang berasal dari duniaku. Hanya saja ukurannya belasan kali lebih besar. Perpaduan semua itu menjadi pemandangan yang menyejukkan mata.

Mengamati langit malam adalah hal favorit baru sejak tiba di sini. Di duniaku sebelumnya, langit seperti ini takkan bisa ditemukan di mana pun. Makanya, aku tidak pernah bosan memandanginya tidak peduli berapa kali melakukannya.

Tapi ... langit ini benar-benar memberikan kesan dunia lain. Dunia yang bisa disebut 'Juiller'. Perasaanku entah mengapa jadi tidak enak. Aku jadi ingat pertama kali datang ke dunia ini. Jika diingat-ingat kembali terdengar lucu. Aku yang seorang laki-laki berubah menjadi perempuan. Terlebih lagi, setengah peri. Ras yang sangat langka di dunia ini dan sangat mustahil di duniaku. Kemudian aku bertemu dengan Bos dan kelompoknya.

Hal yang paling tidak kusangka-sangka adalah ... aku bergabung dengan mereka! Ah, tentu saja bukan aku yang meminta, tapi Bos Grussels.

Kendati demikian, aku tetap heran. Apa yang membuatku menerima tawaran itu?

Kalau dipikir-pikir pemburu seperti mereka tak ada ubahnya dengan pencuri atau perampok emas. Karena memburu di daerah orang lain tentunya. Pekerjaan kotor yang dihindari banyak orang. Aku yakin semua orang akan sependapat dengan itu. Saat itu mungkin aku ingin melakukan hal yang beda dari yang sebelumnya. Lagipula itu dapat dijadikan negosiasi untuk menampungku bersama teman-teman yang lain selagi menemukan jalan kembali.

Aku menghela napas setelah termenung sejenak.

Mendadak aku jadi teringat tujuanku yang sudah mulai pudar. Dulu, aku sangat ingin kembali ke dunia asal. Bukan cuma aku, tapi rekan-rekan yang lain juga. Selama itu kami saling mencari-cari informasi ke sana dan kemari. Hasilnya nihil. Tidak ada buku atau catatan sejarah yang mengatakan tentang dunia paralel. Di sini, teori itu sepenuhnya mitos. Kami akan dicap gila jika berkata datang dari dunia lain. Karena itu kami sepakat merahasiakan ini.

Pada awalnya kami masih yakin akan kembali lagi suatu hari. Namun, dengan seiring waktu berjalan, kami mulai lupa dengan tujuan awal. Kecemasan dan ketakutan kami lenyap sedikit demi sedikit. Tentu karena penduduk kota ini sangat baik dan mau menerima kami. Hingga tanpa sadar, satu tahun telah berlalu. Sebagian dari kami, bahkan sudah menganggap dunia ini sebagai rumah.

Contohnya Kak Shella. Dahulu, ia orang yang paling ketakutan bila kami tak bisa kembali. Gadis itu mengkhawatirkan sekali banyak hal sampai menangis dan menguras air matanya. Tapi lihat sekarang, dia tampak bahagia tinggal di sini. Melayani banyak pasien dengan senyum lebar dan sikap ceria. Seakan dia dan keberadaan kota ini sudah menyatu sejak lama sekali. Demikian pula denganku. Aku juga sudah pasrah. Mencoba membuat dunia ini sebagai tempat tinggalku mulai saat ini dan seterusnya.

"Hei, Anggi! Makan malam sudah hampir siap. Datanglah ke ruang makan sebentar lagi!" teriak Dimas dari ujung lorong. Aku menyatukan telunjuk dan ibu jari, memberinya pose 'OK' dengan tangan sebagai jawaban.

Pria itu kembali menghilang dari ujung koridor. Bersamaan dengan itu, aku melangkahkan kaki menuju ruang makan. Karena aku tidak mau sampai terlambat mengisi perutku yang sudah bernyanyi sejak tadi. Namun sesaat kemudian, mataku melihat secercah cahaya di halaman samping. Jauh berada di dekat pagar. Tersembunyi oleh rerumputan liar. Sekelebat kilauan yang memesona. Berwarna keemasan dan tampak sangat menarik.

Sebuah kilatan cahaya yang terasa tidak asing. Mirip dengan sebuah benda misterius dari dasar sungai di masa lalu.

"Jangan-jangan ...!!"