1 Prolog

"Kita putus!"

Zea langsung pergi meninggalkan Zafran yang sedang kebingungan. Bagai petir di siang bolong, datang membuat semuanya hancur. Bahkan air matanya pun terus mengalir membasahi pipi. Kacau, hati Zea terasa teriris-iris. Entah yang setengahnya hilang pergi kemana. Di setiap langkah lari, ingatannya terus berjalan memutar memori lampau.

Tanpa membuang kesempatan, Zafran segera berlari mengejar Zea agar tidak terlalu jauh. Dengan sekuat tenaga dia keluarkan demi sang kekasih.

Cinta? Padahal hanya sebuah huruf, sebuah tulisan, sebuah coretan, atau bahkan hanya sekedar rasa dan ucapan. Dia bukan makhluk hidup, tapi bisa memperbudak orang tanpa dibayar. Apakah sekejam itu makna cinta? Jadi teringat di jaman penjajahan Jepang.

Jadi, Cinta bisa membuat seseorang tertawa, atau bahkan bisa membuat seseorang sampai menangis satu hari satu malam bahkan bisa lebih. Tidak semua cinta akan indah. Walaupun cinta ditakdirkan untuk bersama, akankah terus merasakan kebahagiaan? Ingat! Hidup itu tak sehalus jalan tol, tak selurus rel kereta api, dan tak seindah taman. Sebenarnya, hidup itu ibarat pendakian gunung, lika-liku jalan yang menantang harus bisa dilewati agar bisa sampai di puncak. Di sanalah kita akan tahu, bahwa puncak keberhasilan akan memiliki keindahan.

"Zea!" panggil Zafran ketika sudah berhasil mensejajarkan langkah Zea. Dia langsung memeluk tubuh wanita mungil itu untuk menyalurkan rasa kuat untuknya. Konon, jika pasangan kekasih sedang marah bisa diobati dengan cara diberi pelukan.

Zafran menciumi puncak kepala Zea agar hatinya bisa terasa tenang. Mereka berdua diguyur hujan yang membuat seragam sekolahnya menjadi basah. "Kamu kenapa, Ze?!" tanya Zafran sambil berteriak karena terhalang suara hujan.

Hujan, ada dua filosofi tentangnya. Antara sedih dan senang. Hujan seakan membawa suara teriakan hati, apalagi disertai petir yang menggelar. Banyak pepatah yang mengatakan agar kita tahu bagaimana karakter hujan, walaupun dia jatuh berkali-kali. Mungkin jatuh adalah awal dari bangkit dan semangat. Bahkan hujan juga bisa dikatakan sebagai penenang hati. Mungkin dengan hujan, masalah akan terasa mengalir dengan sendirinya, seakan menghilangkan ingatan sejenak sebagaimana ketika air hujan sudah jatuh ke bumi mengalir dengan sendirinya.

Lain dengan orang yang berpacaran, hujan akan memberikan cerita tentang kisah cinta mereka. Kenangan tentang hujan banyak. Entah itu kebahagiaan ataupun kesedihan.

"Lo itu jahat! Gue pingin putus!"

"Kenapa Ze? Apa salahku?"

"Pikir aja sendiri!"

"Kamu mau minta putus? Tanpa alasan? Jangan menjadi titik seperti yang pepatah katakan, Ze! Tak bertanya dan tak berseru tapi mengakhiri segalanya!"

"Titik? Harusnya kamu bisa sadar diri!  Apa kurangnya aku? sampai-sampai kamu milih dia? Kalau saja aku cantik, aku nggak akan milih kamu! Cinta memandang fisik tak akan bertahan lama, beberapa tahun lagi gue bakal tua. Ingat, diatas langit masih ada langit."

"Dengarkan aku dulu, Ze!"

"Kesabaran itu ada batasnya, Zaf. Gue capek, gue pergi, tolong jangan ganggu. Gue pingin sendiri."

Zea langsung pergi meninggalkan Zafran yang sedang berusaha menenangkan suasana hati. Dia terus menangis bersamaan hujan. Baju sekolah yang berwarna putih, kini sudah layaknya disebut warna krem. Rambut panjang lurus itu terlihat lepek. Dia sudah tidak peduli dengan penampilan, yang terpenting bisa lolos dari kejaran Zafran. Melihat wajah Zafran semakin membuat hati Zea terasa sakit. Disela-sela larinya, dia terjatuh karena tersandung batu. Sakit, hatinya terasa ngilu. Bahkan lututnya mengeluarkan darah. Tak hanya sakit batin saja, Zea juga merasakan sakit secara fisik.

"Tuhan, jika ini keputusan yang terbaik, kuatkanlah aku. Aku berharap takdirmu tak mengecewakanku," batin Zea menangis.

avataravatar
Next chapter