1 Prolog

Selamat Membaca

"Kamu bodoh kalau langsung meminta cerai dari Herman," sentak Karin kala kuceritakan niatku untuk menggugat cerai suami brengsekku.

"Lalu kamu rela melihatku makan hati melihat perselingkuhan suami bajol*-ku itu?" sanggahku tak terima. Nafasku memburu begitu teringat kembali bagaimana mesranya suamiku dan sekretarisnya siang tadi kala aku berkunjung untuk sekedar mengantarkan makan siangnya. Niat baikku untuk mengulang kembali romansa yang sudah lama tak kami lakukan karena kesibukan kami masing-masing. Dia dengan pekerjaannya dan aku dengan tugasku mengurus ketiga buah hati kami yang memang menguras pikiran dan tenagaku.

Jujur saja sudah lama aku merasa suamiku perlahan berubah. Tak ada lagi ciuman sebelum tidur, pelukan sebelum berangkat ke kantor dan hal-hal romance yang dulunya tak pernah alpa dilakukannya. Perlahan jarak kami semakin jauh. Dia bukan lagi suami yang romantis dan juga hangat. Intinya dia berubah.

Aku tak pernah mengira alasannya berubah karena orang ketiga. Dia kukenal sebagai lelaki yang setia dan bertanggung jawab, untuk itulah aku melabuhkan hatiku padanya.

Namun... Aku menyaksikan dengan mataku sendiri perselingkuhannya.

Seketika duniaku... KIAMAT!

"Pikirkan sekali lagi deh," suara Karin menyentakku dari lamunan. Aku menggeleng, menghalau segala macam visualisasi suamiku dan sekretarisnya yang menjijikkan.

"Tapi mereka nggak sekedar pegangan tangan Rin!" geramku murka.

"Mereka sudah main kuda-kudaan di ruang kerja!" sengitku lagi sambil menggebrak meja, menimbulkan suara berdebam.

"Lalu kenapa kamu lari?!" bentak Karin dengan mata memicing penuh ejekan.

"Aku shock!" cicitku menyadari kemarahanku ke Karin tak pada tempatnya. Dia benar, harusnya aku menembak pasangan itu saat itu juga. Namun aku terlalu pengecut. Kini aku malah meluapkan amarahku pada sahabat yang senantiasa menemani. Sangat keterlaluan bukan?

"Gini deh, kamu tahu suami tersayangmu itu berselingkuh?" Aku hanya mengangguk tak mengerti ke mana arah pembicaraannya.

"Suami kamu sendiri nggak sadar kalau dia sudah terciduk?" tanya Karin lagi. Kujawab dengan anggukan lagi. Masih belum bisa meraba apa maksud sahabatku itu.

"Great!" teriaknya antusias. Aku hanya bisa menatapnya ling lung. Sialan dia, bagaimana dia bisa sebahagia itu?

"Hei Nyet! Punya otak? Aku tuh lagi bersedih hati, potek hati aku kalau kamu mau tau," sinisku dengan mulut mengerucut.

"Sudah nggak usah merajuk, bibir sudah mirip kayak bibir ikan Napoleon gitu masih aja di monyongin lagi," ejeknya membuat panas telinga. Sialan!

"Heh, bibir aku ini bikin nyandu tau?" sergahku tak mau kalah.

"Oh ya? Nyandu sampai bikin mas bojo* nyosor* bibir lain," ejeknya tanpa sadar.

Ucapannya membuat mulutku kelu. Mau marah tapi apa yang diucapkannya benar semua. Suamiku sudah bosan denganku, makanya dia mencari bibir lain buat disosor* sama bibirnya yang pernah aku rindukan.

Pernah? Mungkin masih... Beberapa waktu lalu sebelum aku mengetahui perselingkuhannya.

"Eh... Maaf Run, mulutku ini emang nggak ada remnya," sesalnya sambil memukul ringan bibirnya yang bergincu merah.

Aku dan Karin sudah bersahabat sejak kami masih SMP hingga kini kami sudah sama-sama berumah tangga.

Dulu kami berdua termasuk gadis incaran para lelaki. Namun kini, penampilanku sangat berbeda dari saat aku masih gadis.

Berbeda dengan Karin, dia masih menyisakan pesonanya. Badannya masih selangsing dulu, berbeda denganku yang seperti buntelan karung beras.

Wajahnya masih cantik dengan polesan make up, sedang aku hanya puas dengan taburan bedak bayi punya anak bungsuku yang masih berusia empat tahun.

Belum lagi pakaiannya yang membungkus tubuh langsingnya pastinya dengan branded ternama, sedang aku harus puas dengan daster lusuh karena memang lebih nyaman di badanku yang big.

Hei... Big is beautiful. Right???

Namun, bukan bagi kebanyakan orang. Apalagi bagi suamiku, mungkin. Aku lupa kapan terakhir kali suami kampretku itu mengajakku pergi menemaninya ke pesta atau acara lainnya.

"Nggak papa Rin, aku sadar diri kok," sahutku mengerti.

"Aku melarang kamu minta cerai bukan karena aku mau kamu menderita," ujarnya setelah kami terdiam cukup lama.

"Aku saksi hidup bagaimana perjuangan kalian berdua sampai makmur kayak sekarang," lanjutnya lagi. Pikiranku mengingat bagaimana dulu kami mengawali kehidupan berumah tangga. Tak semulus pantat bayi tentu saja. Mulai dari restu keluargaku yang memang lumayan terpandang dibanding keluarga Mas Herman. Namun itu tak menyurutkan tekad kami sampai akhirnya Mas Herman bisa menunjukkan di hadapan keluargaku bahwa dia sanggup membiayai aku. Bertanggung jawab padaku. Akhirnya dia sanggup meluluhkan keluargaku hingga merestui hubungan kami.

Kerikil tajam yang menghadang jalan kami, tak juga menyurutkan langkah dan tekad kami untuk berumah tangga. Hingga kini rumah tangga yang sudah kami bina selama enam tahun harus ternoda. Karena hadirnya daun muda. Yang mungkin di mata suamiku lebih segalanya dariku.

Lebih muda—Karena usianya baru dua puluh tiga tahun.

Lebih langsing—tentu saja, badanku kini kian melar.

Lebih wangi—entah berapa botol parfum yang dia semprot untuk merayu suamiku. Sedang aku, bau masakan dan minyak telon.

Miris!

"Kamu tidak bisa memudahkan jalan mereka untuk bahagia. Kamu tau apa yang akan dilakukan bojo gesrekmu itu kalau kamu langsung minta cerai? Apa menurutmu dia akan sujud minta maaf sama kamu? Engga!"

Aku juga tau apa yang dikatakan Karin benar 100%. Badanku lemas karena kenyataan yang begitu pahit kini menimpaku. Kupikir hidupku sudah tenang dan bahagia setelah menikah dan dikaruniai tiga orang anak yang sehat dan lucu. Tak ada lagi yang kuminta sama Tuhan. Aku bersyukur dengan semua karunianya. Namun ternyata, hidup tak sesimple itu. Semakin banyak yang kita punya, semakin banyak pula kita akan kehilangan. Dan kini aku mengalaminya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Ingin rasanya aku mengebiri lelaki biadab itu!" geramku sambil mengepal kedua jemariku.

"Lalu kamu akan dijebloskan ke penjara?" tanyanya sarkas.

"Bermainlah dengan cantik, sayangku," usulnya.

"Caranya?" tanyaku mulai tertarik.

"Coba kamu bekaca!" perintahnya dan dengan patuh aku menuju kamarku dan berkaca.

"Lihat! Apa yang kamu lihat?" tanyanya yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Wanita gendut dengan tampang yang kucel," ejeknya.

"Bandingkan dengan fotomu di sana," perintahnya sambil menunjuk foto pernikahanku yang terpajang manis di dinding kamarku.

"Wanita cantik, langsing dan penuh kebahagiaan. Jadilah seperti itu lagi! Buat suamimu menyesal sudah berselingkuh! Buat dia merangkak memohon ampunanmu!" perintahnya penuh penekanan.

Semangatku bergelora. Aku bukan wanita lemah. Akan kubalas setiap kepedihan dan kekecewaan yang kurasakan. Benar kata Karin.

Semangat Aruna!!!

Ganbatte!!!

Fighting!!!

*bajol= buaya (bahasa jawa)

*bojo= suami (bahasa jawa)

*nyosor= kata serapan dari kata sosor, yang artinya menyerang dengan sayap. Biasanya dalam bahasa jawa kasar, diartikan serangan verbal. Seperti angsa yang suka menyerang tanpa pandang bulu. Apakah ada yang tahu lebih tepatnya?

Bersambung

avataravatar
Next chapter